Kemunafikan sang Penggemar Fanatik Teh Panas
Kehangatan dan ketenangan jiwa kutemukan di secangkir teh panas. Bukan kopi yang ditemani sepuntung rokok. Aku menemukan kebebasan saat menikmati aliran menggetarkan irama teh. Masuk ke mulut, menembus kerongkongan, menyegarkan usus, dan semua keriaan terutama hati. Teh sungguh berbaik hati kepadaku.
Masih belum turun temperaturnya, aku menunggu teh panas itu menghangat. Menanti cemas dengan emosi yang semakin naik. Kutak sabar lagi menunggu. Tak kuat menahan amarah. Meletakkan impian untuk mereguk kehangatan hati. Emosi membawaku kepada ketidakwarasan. Dan itu karena teh. Menyengsarakan jika tak mengolahnya dengan baik. Panas itu mengalir menembus hatiku. Membara karena menunggu sesuatu yang sebenarnya dekat sekali. Waktu kini menjadi musuhku. Aku menjadi munafik dan menyalahkan siapa saja. Yang ada di dekatku, semua ingin kusantap.
Hati bebalku karena teh. Menganggapnya sebagai satu-satunya minuman layak bagi kesehatan. Dari mulut orang-orang yang dianggap terpercaya. Bahwa teh adalah minuman terbaik dan jauh dari akibat buruk. Aku tak pernah mengenal kopi sebagai minuman pengganti. Salah siapa sebenarnya; diriku sendiri atau insan yang membisikkan sesuatu bernada minor bercitarasa lepas dari tanggungjawab intelektualitas?
Jangan-jangan, aku telah menjadi hamba teh? Hingga aku menjadi orang yang picik bahwa sesungguhnya kenikmatan Tuhan terbentang luas di sekitar kita. Menderita persangkaan angkuh terhadap benda lain. Aku harus memberangus pikiran buruk ini. Dan hanya aku yang mempunyai kelainan ini. Bukan orang lain.
Post a Comment