Header Ads

Bagaimana Jika Orang Kampung Makan di Restoran Jepang?

Makan malam termewah dalam sepanjang perjalanan hidupku. Sama situasinya dengan waktu pertama kali makan pizza, saat bekerja di PT. X, kali ini aku merasakan sensasi menyantap hidangan super istimewa. Sebuah kesempatan langka dan membuat adrenalinku serasa terpacu kembali. Bersama PT. Y, aku kembali mengingat masa kelam sekaligus terindahku.

            Aku sudah curiga salah satu rekanku sepanjang perjalanan menelpon kolega bisnisnya di Jakarta. Terucap kata-kata sandi: ada lima personil, mohon dipersiapkan, kami siap sedia, diselingi obrolan yang sungguh akrab dan renyah. Seketika insting detektifku menyeruak, dan menyimpulkan bahwa kami akan dijamu oleh pengusaha elit yang royal dalam hal jamu-menjamu. Aku pun menata perut dan sepertinya ada konspirasi antara sang pengemudi dengan rekanku, sengaja tidak memberikan waktu untuk sarapan. Terus melaju menuju ibu kota tercinta, sambil menahan lapar. Berharap nanti malam semua makanan yang dihidangkan akan dibabat habis oleh mulut tradisional kami. Tapi setelah dipikir-pikir, kesengajaan atau pun tidak karena tidak sarapan, memberikan keuntungan yang baru dirasa setelah menuliskan catatan ini.

            Usai berkeliling mengitari perusahaan multinasional yang begitu profesional itu, dengan sedikit berbasa-basi khas budaya Timur ditambah mulut berbusa yang menggelembung, kami pun mulai lapar oleh terpaan angin malam. Memang benar kami tidak sarapan, namun setidaknya kami masih makan siang yang lumayan untuk ukuran perutku sebagai salah satu personil termiskin. Tetap saja makan siang berupa gule kambing, tidak menyurutkan semangat perutku untuk melakukan gaya peristaltik saat kejutan itu terjadi. Memang benar, kami dijamu makanan lezat di restoran Jepang!

            Intuisi dan pelajaran detektifku secara otodidak berhasil! Teriakku dalam hati.

            Aku tak mau mengucapkannya, karena tertutup rasa malu yang sebenarnya memang memalukan, akhirnya aku hanya memendamnya dalam sebuah gumpalan kebingungan. Makanan macam apa yang akan kumakan? Apakah dorayaki yang sering kulihat di film kartun populer matahari terbit, ataukah makanan layaknya di film Oshin yang sering kutonton di masa kecil? Tak sampai meledak, dan perasaan itu terus saja kukubur layaknya seorang bapak yang mengubur kaleng tak berguna agar tak dijadikan sarang nyamuk demam berdarah di musim hujan. Padahal kaleng itu bisa jadi masih berguna, apakah bisa dijadikan mainan anak-anak atau barang berguna lain. Akhirnya aku bungkam dengan sekaleng perasaan ganjil.

            Beberapa pelayan bermuka lokal dengan pakaian yang dimirip-miripkan pendekar samurai mendekati kami yang telah bersiap di meja makan. Aku pura-pura memegang daftar makanan dan minuman yang bertuliskan aksara kanji dengan terjemahan Inggris di bawahnya. Namun tetap saja aku tak mengerti jenis makanan apakah di daftar menu ini. Aku semakin tenggelam dalam aksi sinertonis-ku, mengeja menu secara perlahan sembari mengomat-ngamitkan bibir. Tindakan profesional coba aku tunjukkan.

            Rekan sebelahku juga terlihat bingung, tapi dia pandai sekali menyembunyikan ekspresinya, jadi kesan kampungan masih tetap aku sandang sebagai pemain baru di tengah mereka. Sementara itu, rekan kerja di depanku aku lihat berkali-kali melemparkan senyum ke arahku, menyadari aku mulai gugup menentukan pilihan. Saat pelayan mendekatiku, aku menjawab dengan lirih sepelan mungkin agar gaya kampung nan belel-ku tak terlihat oleh jajaran elit para penikmat lain. Setidaknya bisa dibilang seperti itu.

            “Mbak, makanan yang enak apa?” pelan dan hampir saja telinga sang pelayan menyentuh bibirku.

            “Maaf, Pak. Kurang terdengar, mohon diulangi pesanannya!”

            “Mmm ....”

            “Mas Dhany, pesan apa? Beef, salmon, ayam, atau nasi saja.” Sang bos dari perusahaan yang kami kunjungi berusaha membantuku. Sepertinya dia tahu bahwa aku dalam situasi menegangkan seperti seorang pengungsi Palestina yang sedang ditodong popor tentara Israel.

            Kata beef aku tahu, sama dengan daging sapi. Entah dibakar atau digoreng, aku tak begitu memedulikan. Salmon, mmm ... aku ingin mencobanya tapi aku tak yakin apakah ikan itu dalam keadaan segar sampai di negeri kita. Silakan membayangkan jarak Jepang dan Rindunesia, jika dihitung dengan meteran tukang jahit terkenal macam desainer batik kenamaan Rudi Hadisuwarno, dijamin akan sepanjang susunan keseluruhan rambut model yang dirangkai-rangkai. Aku pun tak jadi menetapkan pilihan salmon. Belum lagi bayangan kandungan merkuri di dalam ikan salmon itu.

            Ayam, sepertinya ini menu yang aman di perut dan pikiranku. Tapi apa bedanya makan di restoran Jepang dengan makan di Mbok Berex pakai akhiran “X” atau Nyonya Suharti istri pak Suharto? Ketakutan akan flu burung yang tak bisa diberantas oleh warga dunia, dan rasanya isu ini hanyalah permainan negara Barat untuk uji tes obat-obatan terbaru mereka, mengiang di kepalaku. Pilihan ini akhirnya kandas.

            Akhirnya aku memilih beef. Penyakit kaki dan mulut yang melanda negara Eropa tempo hari, tak sempat bertandang dan mengisi otakku.

            “Beef, Pak.”

            “OK, untuk mas Dhany kita pesan Japanese Beef Kopanyaku.”

            Aku aman dalam memilih menu.

            “Pak, pesan minum apa?” pelayan itu kembali menanyaiku.

            Aku kembali bingung dan membuka halaman daftar minuman. Asal tunjuk saja, aku akhirnya memilih jus wortel.

            “Jus wortel, Mbak. Hangat, ya!”

            Ya Tuhan, maafkan aku yang memang tetap menjaga rasa tradisionalku, hingga berada di restoran serasa berada di hadapan beribu-ribu penonton konser menyanyi. Tak terasa butiran keringat meleleh di wajahku. Aku menyekanya dengan telapak tanganku, tak ada sapu tangan.

            Kami pun makan bersama.

 

(Ada cerita menarik dan lucu lainnya)

Bersambung saja, ya. Lagi kebelet sih.

 

 

2 komentar:

  1. Hahaha... Di restoran Jepang ada sambel trasi dan ikan asinkah? Hikz... Kikikikik..

    BalasHapus
  2. Maksud loooo ... hahaha
    Serius mending makanan Rindunesia deh ...
    Jangan ketawain diriku dong ... tengsin aku sebagai anak bangsa

    BalasHapus