Header Ads

Segulung Tisu WC di Resto Kita


Perbincangan antara aku dan sahabat akrabku, Roni, bergeser ke bahasan tisu WC. Entah apa yang membuat kami tertarik dengan itu. Sebelumnya, kami mengupas tentang isu politik aktual; Anas Urbaningrum yang sakit hati, kemungkinan Surya Paloh rontok brewoknya saat musim gugur, Abu Rizal Bakrie yang kami sangka seorang kakek sihir karena janggutnya yang super ciamik, atau Ibas Yudhoyono yang kami pikir pikir kaya penari gogo di pub yang pernah kami kunjungi di Thailand.

'Politik bikin kita mencret, Dan!' seru Roni.

Aku mengerang, melotot, dan bersiap mencabik wajah sahabatku itu. Bagaimana tidak, wong Roni mahasiswa pascasarjana jurusan ISIPOL, kenapa ia
sampai antipati pada politik yang jadi ranah hidupnya kelak?

'Jadi kau kuliah sampai tinggi buat apa, Ron?' dengusku. 'Ayolah, kau bisa kasih andil di politik nanti!'

Roni melempar senyum kecut padaku. Ia lalu mengambil tisu di meja, menyobeknya, dan mengelapkannya ke mulut. Aku teriak!

'Kau ... menyamakan pantat dengan mulut!'

Terkekeh aku dibuat Roni. Seumur umur, aku tak pernah pakai gulungan tisu WC sebagai ritual penutup makan di resto. Selalu kuselidiki, kalau tisu makan yang tampil di atas meja, barulah aku mau menggunakannya. Tisu WC? Oh, betapa nistanya aku jika itu terjadi.

'Eit ...,' Roni bersiap meluncurkan alibinya. 'Kertas ini bersih, Dan .... Masalah kau merasa mulutku sama dengan pantat, itu hakmu! Aku pikir, mulut dan pantat sama kualitasnya akhir akhir ini. Badut badut politik Senayan tuh!'

'Kan, politik lagi .... Senayan lagi ....' cibirku.


***

Pertemuan awalku dengan Roni menurutku sangat keren. Di Rumah Khitan di pinggiran Kota Yogyakarta. Waktu itu, aku mengantar adikku untuk sebagaian penisnya ditebas oleh si mantri di situ. Adikku, Halim namanya, sudah pucat pasi wajahnya, dan merengek rengek minta pulang takut kalau ia jadi cewek kalau kalau si mantri bablas memotong burungnya. Kutenangkan dirinya dan kuceritai ayah kami yang sebulan lagi pulang dari Pyongyang, urusan bisnis nuklir, ya ayah kami pemasok uranium ke Negeri Komunis itu, akan memberi Halim hadiah bagus. Halim pun tenang.


Saat mengantre, kuamati ruang tunggu rumah praktik sunat itu. Dan, Roni yang sekarang jadi sahabatku tengah tertunduk lesu seorang diri. Kupikir, ia akan menyunatkan dirinya. Alamak, waktu itu aku berpikir negatip sambil cekikan sendiri. Roni yang sudah besar alias tua baru sekarang khitan. Pasti si mantri kelabakan mencari cara mengiris kulitnya, begitu bayanganku dulu.

Kudekati Roni dan ternyata ia di Rumah Khitan hanya numpang istirahat. Ia seorang penulis yang memburu ide di manapun ia berada. Mengobrol ringan, kamipun cocok satu sama lain; Roni suka makan jengkol, aku pete. Dua kombinasi yang menalikan hati kami.

***

'Apa yang ada di bayanganmu tentang tisu ini, Dan?' Roni menunjukkan selembar tisu sobekannya ke arahku. 'Tentu selain pantat dan mulutku!'

Otakku seperti disambar. Roni memang tipe orang yang mengejutkan. Ia selalu memancingku untuk terus berpikir kritis. Dan itulah yang unik darinya. Selalu ada cara menarik untuk mendapatkan ide dari hal hal kecil.

'Apa, ya?' tanyaku balik. 'JK. Rowling dapat ide tujuh novelnya setelah makan dua gulung tisu!'

'Kau mengada ngada ....' Roni mengibaskan tangannya.

Aku memutar otak, mengerutkannya berharap memori masa laluku tentang tisu toilet muncul, dan kuungkapkan pada Roni. Lima menit, tidak aku dapat. Kuangkat kepalaku, wajah Roni menampilkan ia tengah menunggu ideku. Macet!

'Oke, kamu belum dapat?' tanya Roni.

'Pass!' aku menjawab.

'Baiklah aku akan bercerita padamu, Danie ....'

'He em ....'

***

'Satu pohon di rimba menangis. Ia tak punya kawan karena hutan sudah habis. Hanya ia yang tersisa. Tingginya, sekitar lima meter. Cukup tinggi. Kulit batangnya sayang sudah berkerut kerut. Sepertinya ia tua dan mengalami masa menopouse. Menopouse? Ia perempuan? Ya, dari suara tangisannya yang merdu dan menyayat, ia perempuan yang tengah dirundung malang.' Roni memulai ceritanya.

'Waktuku habis!' seru si pohon. Ia meraung keras. 'Kematianku telah dekat. Selamat tinggal Bumi. Terima kasih telah kasih tempat buatku untuk hidup dan mengambil hikmahnya!'

Roni menerawang, mengambil napas dalam dalam, dan melanjutkan kisanya.

'Lalu hadir seorang lelaki berkapak, berbadan gempal berkulit hitam, menyeringai bengis, dan mendekati si pohon. "Ha ha ha ...." Ia tertawa lebar dan mengayunkan kapaknya membunuh si pohon.'

'Kejam!' aku mendramatisir cerita Roni.

'Hutan habis.' Roni menambahi.

'Banjir, ozon menipis, Bumi semakin panas, semua!'

'Iya.'

Kami pun tertunduk bersama di resto meresapi cerita Roni.

'Dan, pohon perempuan yang binasa itu menjadi tisu WC di meja kita, Dan.' ujar Roni.

'Benarkah?' kagetku.

_______________________

Mengobrol teduhlah kita di www.rumahdanie.blogspot.com

Sumber gambar: http://www.armyproperty.com


Tidak ada komentar