Header Ads

Kratingdaeng, Kuku Bima Energi, dan Rusuhnya Barak Pengungsian Merapi

Setres jadi pengungsi, saya teguk Kratingdaeng. 2 botol. Hasil memohon ke satu relawan cantik.
'Mbak, tolong saya,' rayu saya sembari memasang muka memelas. 'Saya pengin minum segeran.
Mbak Relawan bertanya, 'Minuman energi Pak? Buat apa Pak? Kami ndak sedia.'
'Tolong Mbak. Saya haus.' Gaya saya menjadi kekanak kanakan, manja.
'Oke Pak. Saya belikan. Kukubima Rosa kan?'
'Ndak mau Mbak?' seru saya.
'Kenapa Pak?'
Saya liat wajahnya mengerut, menahan marah. Diampet.
'Saya beli di warung sebentar Pak.'
'Jangan Kukubima Mbak.' tawar saya. 'Kratingdaeng.'
'Sebentar Pak.'
Tampak si Mbak melenggang menuju ketua koordinasi. Mereka berbincang serius. Dan datang lagi ke posisi saya.
'Pak saya sudah bertanya Pak Ketua. Beliau membolehkan. Tapi kami mau tanya ....'
'Tanya apa lagi Mbak?' kalap saya.
'Alasan Bapak apa meminta Kratingdaeng? Bukan apa apa. Apakah makanan dan minuman dari kami tidak berkenan di hati Bapak?'
'Cerewet! Kukubima Rosa, mbah Maridjan sudah mati. Apa mau saya kaya DIA! Minum, mati!'
Sontak dia meninggalkan saya. Setengah jam kemudian, 2 botol kratingdaeng.
'Maaf Pak. Kali ini saja ya minta yang aneh aneh.'
Saya tak menggubris. Menikmati minuman segeran, membuat saya lupa diri.

Tidak ada komentar