Header Ads

Seni Lawak Tanah Air yang Mati Suri: Menciptakan Tontonan Lucu, tapi Cerdas.

Olga Syahputra tak bisa dipungkiri telah menggeser arah dunia hiburan tanah air. Setelah meredupnya popularitas Tukul Arwana, Olga yang mengedepankan humor centil taktis seakan memesona berjuta juta penonton. Lawak Indonesia memasuki babak baru.

Masih ingat Srimulat pada era 80-an? Panggung yang diset ruang tamu, dua pembantu beserta konflik mereka dengan sang juragan, juga lemparan hadiah berupa rokok dari penonton--sudah ditinggalkan oleh para penggemarnya.

Trio Warung Kopi. Dono, Kasino dan Indro, berhasil menciptakan tren guyonan paling sensasional. Melalui layar bioskop, film film mereka penuh berisi para gadis cantik yang hampir telanjang, Warkop menyihir publik. Sampai saat ini, dan hanya Indro yang masih bertahan menahan serangan maut, belum ada grup lawan yang bisa menandingi.

Bagaimana dengan Benyamin Suaeb?
Jika dicermati, seniman asli Betawi ini sebenarnya yang paling komplit. Maestro seni, sebuah gelar yang patut disandangkan kepadanya. Tak hanya lihat mengocok perut pemirsa, intelektualitas dan idealismenya dalam berseni bisa dikatakan mendekati sempurna. Namun sayang, model lawakan seperti Bang Ben kurang diminati khalayak. Ia hanya bisa meraih simpati secara nasional melalui sinetron serial 'Si Doel Anak Sekolahan'.

Seni lawak memiliki pangsa pasar sendiri dan bersifat tak lekang oleh zaman. Semua orang butuh hiburan yang mampu mengendurkan tingkat stres. Ini disadari benar oleh pelaku seni sebagai lumbung paling empuk meraih popularitas dan uang.

Olga Syahputra. Gaya lawakan yang ia tampilkan sebetulnya tidak berbeda dengan para pendahulunya. Aming semisal. Bergaya centil, berdandan menor layaknya perempuan, mudah memancing tawa pemirsa. Tapi keunggulan Olga terletak pada mudahnya ia mengisi kekosongan dialog. Taktis, celetukan yang ia lontarkan cenderung mengejutkan. Namun diantara kelebihan itu masih ada beberapa hal yang terasa mengganjal. Gaya kebanci banciannya terlalu diekspos dan menjurus seronok.

Lalu pertanyaan selanjutnya adalah dunia seni lawak seperti apa yang bagus? Memang selera pasar amat variatif dan memiliki genre tersendiri. Masalah utamanya terletak pada bagaimana menciptakan lawak sebagai hiburan yang memikat, lucu, cerdas, dan mendidik. Tak mudah memang. Jika format lelucon terlalu kaku, jatuhnya pasti tidak diterima khalayak. Sungguh tantangan besar untuk menciptakan karya seni lawak yang bermutu di Negeri Indonesia, yang lebih menerima seni visual dibanding seni ujaran.

Bravo dunia lawak tanah air!

6 komentar:


  1. Lha, kupikir duet lawak kita selama ini telah cukup memukau?
    Memangnya mau bagaimana lagi? Terlalu banyak syarat, kau itu.

    BalasHapus
  2. Kita cuma kurang akta nikah saja. Selebihnya sudah Oke MarOke

    BalasHapus

  3. Ah, genit kau, Ndhy.
    *bersemu merah*

    Terlalu kau hayati, Olga itu.

    BalasHapus
  4. Kesuksesan orang harus diapresiasi dengan baik. Asal jangan ikut2an pake sepatu jinjit

    BalasHapus

  5. Nah, yang terakhir itu yang kutakutkan.

    BalasHapus
  6. Ya sudah pakai bakiak aja. Biar datar datar aja. Oke

    BalasHapus