Header Ads

Bandung, Kuinjakkan Kakiku untuk Pertama Kalinya!



TOLAKAN AWAL


Stasiun Tugu Yogyakarta malam itu tak begitu ramai dengan para calon penumpangnya, yang terlihat mencolok hanyalah barisan para pengojek dan penarik taksi menawarkan jasa pengangkutan dengan bandrol harga tak tentu. Diantarkan oleh seorang temanku, aku mulai menjejakkan kaki memasuki stasiun yang berdekatan dengan the flowers garden alias pasar kembang. Tak begitu larut memang malam itu, tapi pijaran lampu trotoar nan redup menjadikan kalut hatiku untuk sekelumit waktu meninggalkan kota tercinta, Yogyakarta.


Tiket kuperiksa kembali apakah masih berada di dompetku yang super tipis. Masih teronggok di sana, kemudian aku sarangkan ke tempat lain yakni saku celana panjangku sebelah kiri. Maksudku agar penarik karcis memintanya di peron, maka akan dengan mudah kuacungkan. Harga tiket tersebut 150 ribu rupiah, merupakan kelas eksekutif, kupesan sebelumnya di bagian reservasi kereta api. Niat awal sebenarnya kuingin beli tiket kelas bisnis dengan harga 90 ribu, jauh di bawah harga tiket di tanganku. Tapi karena tiket seluruhnya telah terjual pada hari itu, maka dengan terpaksa aku naikkan juga taraf pembelianku. Fikirku tak apalah aku membelinya, toh ada potongan harga. Kok bisa?


Sebelumnya dari rumah sudah aku persiapkan fotokopian KTP seorang simbah berusia di atas 60 tahun. Ide ini berasal dari temanku yang mengatakan bila ingin mendapatkan potongan harga kala naik kereta api, maka bawalah salinan kartu penduduk manula. Lumayan sekali, kita akan mendapatkan 20% diskon dari harga semula. Tapi yang menjadi fikiranku, apakah pemilik kartu yang bernama Ny. Chandra Lukito dengan ikhlas meluluskan perilakuku ini. Sedangkan simbah tersebut telah lama meninggal, begitu informasi dari temanku. Kalau sewaktu-waktu ada bayangan hitam mendekatiku saat aku terlelap, maka aku akan berkata, “Mbah Chandra, ini aku kembalikan fotokopian simbah. Minta maaf ya!”. Aku berniat sebelum tidur, fotokopian KTP lainnya –kugandakan 10 lembar kala itu- dan kuletakkan di samping kasurku. Jadi aman!


Akhirnya aku putuskan membeli tiket kelas eksekutif dengan harga bersih 120 ribu rupiah setelah dipotong rabat. Jadi bila diperbandingkan dengan tiket kelas bisnis yang kurencanakan kubeli, maka selisihnya sebesar 48 ribu rupiah. Masih begitu besar selisihnya jika ditinjau dari strategi ekonomi, namun jika menilik kegiatan yang akan kulakukan di Bandung, seketika fikiran itu lenyap dengan mudahnya. Mengejar mimpi begitu pembelaanku.


 


Menunggu adalah kegiatan menjemukan


Jam dinding di atas penarik tiket kereta api menunjukkan pukul 20.30 WIB, masih sekitar satu jam lagi waktu pemberangkatan kereta api Lodaya jurusan Yogyakarta – Bandung. Dua tas yang kubawa; tas ransel dan selempang, sedikit membuat badanku sempoyongan karena beban di dalamnya. Agak membungkuk punggungku, nafas tersengal dan kaki terseret menjadikan aku pusat perhatiaan orang lain yang telah lama menunggu. Ah, kusingkapkan fikiran itu, dan aku mulai mencari bangku kosong untuk menunggu datangnya rangkaian gerbong hitam pengangkut manusia.


Bangku tak bertuan itu terletak di ujung ruang tunggu, tak begitu terlihat bila pandangan mata tak jeli. Terbuat dari kayu yang difernis warna coklat, pegangan tangan hitam dan terdapat tulisan “Milik PT. Kereta Api”. Bikin gara-gara saja perusahaan kembang kempis menempel peringatan seperti itu,  mengapa hal sepele dan tak berguna dijadikan pameran umum. “Semua orang juga mengerti, tak mungkin orang jahat sekalipun mencoba mencurinya”, gerutuku lirih. Kududukkan pantat ini yang memanas akibat boncengan temanku yang sama gemuknya denganku. Awalnya biasa saja, namun lama-kelamaan suara aneh terdengar olehku. Ternyata sekelompok keluarga sedang bercengkerama dengan bahasa sunda yang mendayu-dayu.


Untung saja aku membawa buku bacaan untuk mengalihkan perhatianku agar tak begitu terpancing emosi akan suasana stasiun. Pedoman praktis memilih dan menggunakan obat begitu judul buku bergenre kesehatan. Buku ini sebenarnya sudah lama aku pinjam tatkala aku bertandang ke apotek untuk membeli obat gatal. Nah, ternyata pengelola apotek itu tak lain dan tak bukan adalah teman kos lamaku. Silaturahmi menjadi panjang lebar, berawal dari menanyakan kondisi teranyar dari masing-masing tubuh, hingga berapa anak yang telah diproduksi. Untuk pertanyaan terakhir, aku cuma berucap “Belum ada komentar!”.


Aku jadi ingat mas Fauzi, adik sang apoteker, yang kebetulan juga satu kamar dengan kakaknya. Kuteringat budi baiknya saat aku sakit dan waktu itu belum marak jaringan telepon genggam menjamahi pedesaan, dia dengan tulusnya mengabari orang tuaku di rumah. Semoga kebaikan selalu terlimpah kepadanya setiap saat. Walaupun kami sudah jarang bertemu, namun berkas kecahayaannya masih menjadi galauku. Tak lupa aku meminta nomor teleponnya, barangkali ada waktu luang kami bisa bersilaturahmi kembali.


Apoteker berjuluk Mas Widodo, harusnya nama ini disandang oleh orang yang berbadan besar kenyataannya tak begitu besar, sudah lama berkecimpung di dunia perobatan. Terang saja ia adalah lulusan fakultas farmasi. Jujur aku sangat memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepadanya, berkaitan dengan dedikasinya terhadap ilmu yang ditekuninya. Berbeda halnya dengan diriku, sebagai sarjana teknik sipil namun tak begitu meresapi dasar ilmu yang kuperoleh. Malah seiring dengan pencarian bakat nan tak terputus, kelihatannya profesiku ke depan akan bersinar jika aku menjadi seorang penulis. Tapi aku tak mengerti mengapa ini bisa terjadi, hanyalah usaha mencari yang mutlak kulakukan. Jalani bak air mengalir, begitu orang bijak menampilkan.


Sebuah keberaniannya untuk menulis sebuah buku didasarkan pada pengalaman merengkuh ilmu maupun cerita hidupnya, sangat menarik perhatianku saat itu. Dalam selembaran yang terserak di atas pemajang obat-obatan, tertulis jelas selain dia mampu memberikan konsultasi pemilihan obat, ia juga telah menulis dua buku. Salah satunya berada tepat di depanku. Awalnya agak ragu dengan perwajahan bukunya yang tak menjual dan pemilihan huruf-huruf di dalam buku juga tak menarik. Berulangkali aku maju mundur untuk sekedar membacanya, tapi kali ini adalah waktu yang tepat untuk memulai percobaan masuk ke bacaan kesehatan. Menunggu dengan peraupan ilmu.


 


Keretapun datang!


Setengah sepuluh belum juga terlewati, namun kereta api sudah memasuki stasiun. Sebuah tanda perbaikan kelakuan perusahaan, setelah lama terpolakan sebagai institusi jam karet. Selalu molor dalam segala hal. Akupun mantap memasuki gerbong nomor 2 yang terdaftar di tiket. Dalam bayanganku, kelas eksekutif setidaknya mendekati suasana kerete argo bromo. Ya, memang tak sebagus kereta monorail khas negeri matahari terbit Jepang. Tapi pada kenyataannya, tak ubahnya kereta api kelas bisnis, sangat jauh fasilitasnya bila membandingkan dengan argo anggrek, argo lawu atau argo-argo lainnya. Padahal harganya tak begitu jauh. Barangkali ini sebuah pembayangan yang tak adil, ataukah mungkin aku sudah naik jenjang keinginan? Semoga aku tetap menjadi orang yang biasa dengan mimpi yang luar biasa. Entah kapan, aku hanya berusaha…


Langkah mantapku seketika buyar ketika melihat bahwa bangku yang kudapat bersebelahan dengan toilet kereta. Waduh, sudah tiga kali aku menemui hal seperti ini. Tapi berulangkali hatiku mengajak untuk berdamai dengan otakku yang memanas. Salahku sendiri ketika memesan tiket tak meminta jangan ditaruh di sekitar seruapan tak berkenan. Akupun makfum sekali lagi. Lumayan sebagai pelajaran kesabaran yang tak putus-putusnya. Mungkin pelajaran hidupku masih berkutat pada pembelajaran diri dan pengasahan untuk mengenal siapakah aku sesungguhnya. Tak apalah.


Tepat di hadapanku duduk seorang bapak berkulit hitam dengan celana yang tak menutup penuh juntaian kakinya. Awalnya aku menjaga jarak dengannya, siapa tahu dia adalah seorang pembunuh berdarah dingin dengan beberapa senjata yang terselip di punggungnya. Lama kelamaan jengah juga dengan kekakuan ini, entah siapa yang memulai percakapan itu. Tapi aku yakin dari cara bicaranya dia adalah orang baik. Dia berasal dari Klaten, karena memang kereta ini melewati juga kota dengan maskot andalan Candi Prambanan.


Masih terselip perasaan was-was, aku tahan untuk tak berkata “Saya baru pertama kali ke Bandung, Pak”. Dalam opiniku hal ini tak baik untuk mengawali sebuah percakapan, siapa tahu dia menjebloskanku ke jurusan yang tak tentu. Akhirnya kata yang ke luar adalah “Saya bekerja di Penerbit M, Pak”, ujarku agak tak percaya diri. Memang sulit jikalau jalinan mesra antara mulut, hati dan otak tak berjalan semestinya. Terasa kelu memang. Tapi gimana lagi, sebuah keputusan berbohong untuk menamengi diri dari kebiadaban dunia. Wah, terlalu mengada-ada sekali.


Suasana mulai kacau ketika sang bapak menyatakan bahwa dirinya bekerja di sebuah institusi pendidikan di Bandung. “Di penerbit mas, mencetak buku-buku LKS –lembar kerja siswa- dan buku sekolah?”, selidiknya kaku. Air peluhku mulai terhasilkan tatkala kondisi emosionalku berantakan, maka aku menjawab sekenanya namun tak begitu meleset dari tebakan dia. “Kami menerbitkan berbagai macam buku, Pak”, jawabku rada jaga gengsi. Padahal kenyataannya aku baru akan melakukan tes wawancara kerja lusa hari. Selamatlah diriku dengan segenap kepalsuan lisanku.


Kebetulan penumpang Lodaya malam itu tak begitu sesak, tak seramai jika kita memilih kelas bisnis bahkan kelas ekonomi. Semarak para penjaja makanan malam di atas kereta tak begitu membuncah. Hanya di stasiun besar saja, rangsekan orang-orang tegar pencari sesuap nasi mereka berani masuk ke dalam kereta. Sungguh tak wajar semangat mereka mengais uang, dibandingkan jalan hidup kita maka kita masih sangat beruntung. Seketika rasa syukurku meninggi melihat keadaan ini. Berulang-ulang kupuja Allah Sang Maha Pemberi rezeki kepada semua insan yang mau berusaha.


Kursi di sebelahku tak berpenghuni, begitu juga sang bapak yang telah mengecil matanya akibat kelelahan. Akupun tertarik pada layanan kereta yaitu penawaran bantal. Belum pernah aku mencobanya barang sekali, alasannya adalah kereta yang tak menawarkan bangku kosong. Kupanggil sang penawar berjarak 30 meter dariku, iapun dengan cerdas merespon lambaianku dengan segera menyerahkan bantal. Dua ribu rupiah tanpa transaksi tawar-menawar lagi.


Bolak-balik berganti posisi, menjulur ke kanan atau ke kiri, menegakkan kepala kadang juga mendudukkannya, tak nyaman memang posisi yang aku coba pilih. Maklum saja jika kita mengambil meteran sepanjang 100 meteran, dijamin tubuhku bisa mencapai dua kali dibandingkan panjang bangku. Jadi kuputuskan untuk meringkuk, atau tepatnya melingkarkan badan bak seekor ular kobra. Awas patukan ajaibku berupa orokan tak bertepi!


Aku teringat akan kebiasaanku sebelum berangkat ke ranjang mimpi yakni menenggak minuman terlezat sepanjang masa SUSU. Entah ini susu yang mana; susu kambing, sapi, kuda liar atau susu yang lain? Tak jelas berkecamuk dalam sanubariku. Wah, jadi bias lama-kelamaan dan sendu seperti lagu Betharia Sonata ciptaan Pance Pondaag. Sebenarnya sudah kupersiapkan berbagai makanan pengiring perjalananku. Ada sekotak susu berlabel tinggi kalsium, termos kecil berisi air panas, sepotong kue donat bertabur kismis dan sedikit camilan. Lebih mengherankan adalah ibu asrama yang selama ini mengasuh anak-anak berandal juga memberikan bingkisan pengiring perjalananku. Sebuah toples dengan anggota berupa dua centong nasi, ayam goreng kremes, keripik teri medan dan saus sambal. Terasa nikmat hidup ini!


Sebelum terlelap dan kuyakin bertemu dengan makhluk bervarietas ganjil di awan mimpi, kusempatkan memandang di sebalik luar jendela kereta. Di samping kananku. Gelap dan tak ada kehidupan. Dua minggu yang lalu aku bertandang ke griya Bu Endang untuk menemui putrinya –Dhani, teman sesama bloggers. Dia bekerja di Bandung sebagai karyawan di salah satu media massa terkenal. Obrolan ringan hingga berbeban terlontar dengan amat mulusnya dari mulut kami. Aku sudah begitu akrab dengan sang mama karena beliau teman sekaligus ibu sambung terbaikku, sedangkan dengan sang anak aku belum begitu mengenalnya. Baru kali itu aku melihat wajahnya. Sang mama bercerita jikalau perjalanan Yogyakarta – Bandung menggunakan kereta api akan disuguhi pemandangan eksotis di kanan kiri kereta. Jurang, terowongan dan tawaran keindahan alam begitu menyita imajinasiku. Impianku untuk membuktikan kebenaran cerita itu belum sempat aku nyatakan. “Tak apalah mungkin di kemudian hari!”, gumamku tak jelas.


Duniapun terasa kelam, tak berbintang, tak ada nyanyian jengkerik dan celotehan ibu asrama juga tak bergema. Aku tidur dalam gerbong kereta mengalir ke Paris van Java. Besok aku dijemput Dhani.


 

14 komentar:

  1. sik salah ngirim, belum di editttt....Bhay

    BalasHapus
  2. awal perjuanganmu penuh dengan keculasan dan kebohongan...maka, tempat duduk di deket toilet KA hanyalah sebagian kecil dari balasan yang patut kamu terima...hueheheheee.dan waspadalah, mungkin sang nenek akan segera menghantuimu...hiiiyyy...

    BalasHapus
  3. cerdik dan cerdas kali Nik! Bukan bohong yeeee.....besok berangkat ke Bandung, dijamin pake salinan KTP lagi....ada stok banyak!. Bandung menantiku......awas kalau ketemu, aku traktir mampus luuuu.....

    BalasHapus
  4. Ke Bandung mau ketemu Dwi Astuti si puteri gunung dari Wonosari...
    Kayaknya kami pernah ketemu di Beringharjo deh...dia lagi jualan batik....hehehehe

    BalasHapus
  5. ooooh ...
    jangan lupa:
    senin: kotak-kotak
    selasa: bebas
    rabu: hitam
    kamis: batik
    jumat: koko/putih (paginya olahraga dulu)

    BalasHapus
  6. emang km mau traktir apaan? bom? ih..ogahhhhh...mending makan sendiri!!

    BalasHapus
  7. 2kelas ajaib: Ribet banget, Bhay. Baru beli baju kotak-kotak, putih, batik ni...yang item baru dicuci..ntar sampai Bandung deh, aku borong tuh baju di factory outlet. Tapi dijamin masih masuk tradisi Mizan utuk sementara..OK

    2Dwi astuti: Yeh, emang ni puteri gunung satu ini ga pernah percaya ama aku. Mau apa? Bakpia, Geplak atau apa lagi? Coba kamu luangkan sedikit hatiku untuk melihat kebaikanku, dijamin ga rugiiiii...hehehehehehe....

    BalasHapus
  8. geplak dan bakpia dah amat sangat biasa.... nyaris bosan. jangan harap dengan sogokan seperti itu trus aku balik menganggapmu baik...wekkks...

    BalasHapus
  9. Ya wis lah, aku memang jelek, memang jahat, ga baik hati, sangat sombong...hik32x (Narsisku melayang entah ke mana?)

    BalasHapus
  10. mutuuunggg...!! mana pembelaan dirimu???

    BalasHapus
  11. Malas membela diri...lagi sakit ni perutku...Di sini dingin dan maemnya masih perlu adaptasi lagi...Ini aja diapet dah habis 3 kaplet. Mengerikan!

    BalasHapus