BADMINTON TASIKMALAYA: Si Asep
Asep berbulu lebat. Tangannya, kakinya, dan badannya banyak bulu keriting yang mengerikan. Itu sejalan dengan tabiatnya yang kurang menarik simpati kami segrup badminton. Awalnya, kami membatin buruknya perangai si Asep seorang diri. Namun karena sudah tak betah, ungkap kekesalan anggota tim meledak.
Si Fulan mengatakan kalau Asep sok pintar dan menganggap pasangan mainnya tidak cakap menepak kok, si Kabayan meluapkan ketidaksenangannya pada Asep karena tak bisa menyatu dalam tim. Pun saya demikian karena sering terganggu dengan gerutuan Asep yang pasangannya tak mampu mengembalikan kok ke arah saya dan pasangan.
'A Asep, kalau tidak marah bisa tidak?!' seru saya melepaskan ketidaknyamanan saya main lawan Asep. Saya selalu menghindar berpasangan dengan Asep.
Satu yang tak pernah dipahami oleh Asep: kami bukan atlet! Kami sebagian besar sudah bekerja dan membutuhkan badminton untuk menyegarkan pikiran dan hati setelah seharian bekerja keras. Kemenangan tidak melulu yang kami kejar melainkan silaturahim, persahabatan, dan kegembiraan. Menang syukur, kalah lumrah!
Usai saya mendaratkan semprotan, Asep tampak kaku jika berdekatan dengan saya. Sepertinya, ia berpikir akibat kritik saya. Tak ingin berlarut larut, saya menyapa dia bolak balik meski wajah Asep masih kecut. Pasti hubungan saya dengannya akan cair. Ini saya lakukan berkali kali tiap jadwal badminton. Syukur alhamdulillah, Asep mulai berkurang kadar emosinya, tak lagi tampak arogan di lapangan.
Ya, saya tak menganggap diri saya lebih bijaksana ketimbang Asep. Setidaknya, saya merangkum keluh kesah anggota tim lain dan mengambil putusan untuk menampar Asep secara langsung!
Si Fulan mengatakan kalau Asep sok pintar dan menganggap pasangan mainnya tidak cakap menepak kok, si Kabayan meluapkan ketidaksenangannya pada Asep karena tak bisa menyatu dalam tim. Pun saya demikian karena sering terganggu dengan gerutuan Asep yang pasangannya tak mampu mengembalikan kok ke arah saya dan pasangan.
'A Asep, kalau tidak marah bisa tidak?!' seru saya melepaskan ketidaknyamanan saya main lawan Asep. Saya selalu menghindar berpasangan dengan Asep.
Satu yang tak pernah dipahami oleh Asep: kami bukan atlet! Kami sebagian besar sudah bekerja dan membutuhkan badminton untuk menyegarkan pikiran dan hati setelah seharian bekerja keras. Kemenangan tidak melulu yang kami kejar melainkan silaturahim, persahabatan, dan kegembiraan. Menang syukur, kalah lumrah!
Usai saya mendaratkan semprotan, Asep tampak kaku jika berdekatan dengan saya. Sepertinya, ia berpikir akibat kritik saya. Tak ingin berlarut larut, saya menyapa dia bolak balik meski wajah Asep masih kecut. Pasti hubungan saya dengannya akan cair. Ini saya lakukan berkali kali tiap jadwal badminton. Syukur alhamdulillah, Asep mulai berkurang kadar emosinya, tak lagi tampak arogan di lapangan.
Ya, saya tak menganggap diri saya lebih bijaksana ketimbang Asep. Setidaknya, saya merangkum keluh kesah anggota tim lain dan mengambil putusan untuk menampar Asep secara langsung!
Post a Comment