DIGOYANG KORA KORA DUFAN
Kalau besok ada yang mengajak ke Dufan lagi, saya tolak mentah mentah. Meski tawaran itu menggiurkan dengan transportasi dibayari, hotel diberikan yang termahal, akomodasi penuh, saya ogah! Dunia Fantasi Ancol tak ubahnya wahana permainan para setan yang tertawa tawa puas karena sudah menebar kebencian berbungkus tawa lepas dan ketegangan para pengunjung tempat wisata bedebah itu.
Itu semua karena saya sudah tak percaya lagi Dufan! Selasa, 26 Januari 2016 ialah saksi jika saya memutuskan tak akan pernah lagi menjejakkan kaki di situ. Saya dibuat mabok sekaligus trauma oleh kora kora. Iya, permainan yang kata teman kerja saya membujuk seperti ini:
'Naik kora kora kaya bayi diayun ayun ibunya, Pak Danie.' katanya. 'Kita tidur terlelap dengan senyum mengembang!'
Batin saya waktu itu melonjak ketika perdana masuk Dufan. Enak juga kembali ke masa bayi yang tanpa dosa dan tak perlu memikirkan banyak masalah; utang, mahasiswa tak sopan merokok sembarangan di lingkungan kampus, dan rupa lain yang menekan otak. Saya menyanggupi tantangan pertama naik kora kora dan mengesampingkan wahana halilintar, ontang anting, tornado, dan lainnya. Kora kora pilihan tepat paling awal!
***
Duduk di bagian tengah kora kora, saya sudah mulai curiga kalau penumpang lain berbisik bisik mengeluarkan kata 'ngeri'. Teman kerja saya meyakinkan saya jika petualangan dengan kora kora bak seorang pelaut yang mengarungi samudera berbadai dengan gagahnya. Mental saya balik lagi. Siap, Pak!
'Sudah siap kalian, Bajak Laut?' operator kora kora mencorongkan suaranya.
'SIAP!' jawab seluruh penumpang termasuk saya.
Kora kora ialah wahana kapal yang digerakkan maju mundur seperti pendulum. Kalau kita lihat dari bawah sepertinya mudah dan menyenangkan. Namun, sepuluh detik kemudian perasaan aneh mulai muncul. Kepala, jantung, dan perut seperti terkoyak. Seketika saya ingat ini seperti naik kapal feri yang menyeberangkan saya ke Pulau Bali sewaktu SMA.
Saya coba menguasai tubuh dan pikiran saya. Teman saya menginstruksi dalam senyum senangnya agar saya tidak melawan gerakan pendulum kora kora. 'Ikuti iramanya!' serunya. Tetap saja saya tak bisa melakukannya. Perut mual mual parah, kepala koplak! Penumpang lain mulai berteriak teriak terutama perempuan. Ampun, saya sudah tak kuat ....
Pasrah adalah jawaban dari kora kora yang terus melaju kencang. Penumpang perempuan mulai memekikkan ucapan 'Cukup. Stop, Mas! Menyerah ....' sembari melambai lambaikan tangan mereka. Saya mengikuti mereka. Tahu kalau mental penumpangnya sudah goyah, operator kora kora menghentikan aksinya. Kora kora jahanam pun berhenti dengan perasaan saya campur aduk tak jelas sambil terbatuk batuk tanda stres berat.
Teman saya terkekeh: 'Ayo kita naik histeria, Pak Danie!'
Saya duduk lemas dengan keringat dingin sejagung jagung. 'Mending Dufan ditutup saja!'
Itu semua karena saya sudah tak percaya lagi Dufan! Selasa, 26 Januari 2016 ialah saksi jika saya memutuskan tak akan pernah lagi menjejakkan kaki di situ. Saya dibuat mabok sekaligus trauma oleh kora kora. Iya, permainan yang kata teman kerja saya membujuk seperti ini:
'Naik kora kora kaya bayi diayun ayun ibunya, Pak Danie.' katanya. 'Kita tidur terlelap dengan senyum mengembang!'
Batin saya waktu itu melonjak ketika perdana masuk Dufan. Enak juga kembali ke masa bayi yang tanpa dosa dan tak perlu memikirkan banyak masalah; utang, mahasiswa tak sopan merokok sembarangan di lingkungan kampus, dan rupa lain yang menekan otak. Saya menyanggupi tantangan pertama naik kora kora dan mengesampingkan wahana halilintar, ontang anting, tornado, dan lainnya. Kora kora pilihan tepat paling awal!
***
Duduk di bagian tengah kora kora, saya sudah mulai curiga kalau penumpang lain berbisik bisik mengeluarkan kata 'ngeri'. Teman kerja saya meyakinkan saya jika petualangan dengan kora kora bak seorang pelaut yang mengarungi samudera berbadai dengan gagahnya. Mental saya balik lagi. Siap, Pak!
'Sudah siap kalian, Bajak Laut?' operator kora kora mencorongkan suaranya.
'SIAP!' jawab seluruh penumpang termasuk saya.
Kora kora ialah wahana kapal yang digerakkan maju mundur seperti pendulum. Kalau kita lihat dari bawah sepertinya mudah dan menyenangkan. Namun, sepuluh detik kemudian perasaan aneh mulai muncul. Kepala, jantung, dan perut seperti terkoyak. Seketika saya ingat ini seperti naik kapal feri yang menyeberangkan saya ke Pulau Bali sewaktu SMA.
Saya coba menguasai tubuh dan pikiran saya. Teman saya menginstruksi dalam senyum senangnya agar saya tidak melawan gerakan pendulum kora kora. 'Ikuti iramanya!' serunya. Tetap saja saya tak bisa melakukannya. Perut mual mual parah, kepala koplak! Penumpang lain mulai berteriak teriak terutama perempuan. Ampun, saya sudah tak kuat ....
Pasrah adalah jawaban dari kora kora yang terus melaju kencang. Penumpang perempuan mulai memekikkan ucapan 'Cukup. Stop, Mas! Menyerah ....' sembari melambai lambaikan tangan mereka. Saya mengikuti mereka. Tahu kalau mental penumpangnya sudah goyah, operator kora kora menghentikan aksinya. Kora kora jahanam pun berhenti dengan perasaan saya campur aduk tak jelas sambil terbatuk batuk tanda stres berat.
Teman saya terkekeh: 'Ayo kita naik histeria, Pak Danie!'
Saya duduk lemas dengan keringat dingin sejagung jagung. 'Mending Dufan ditutup saja!'
Hahaha,, saya juga sudah kapok kak.. Mending ke istana boneka aja... XD XD XD
BalasHapusHahaha. MM, Saya juga ke istana bonekah haha lebih nyamannnn ...
BalasHapus