ROAD TO GARUT (2)
Apa kesan pertama saya pada Kota Garut? Dingin alias tiis. Hawanya sejuk segar dengan jalan naik turun menuju kampung tempat Kang Dedi dan keluarga bermukim. Ingatan saya tertarik ke belakang waktu KKN ke Banjarsari, Kulonprogo, sama jalannya naik naik ke puncak gunung. Medan di Kota Garut ke Desa Suci, Kecamatan Karangpawitan lebih bersahabat ketimbang Banjarsari dulu yang mengerikan dengan sesekali memerosotkan motor butut kami.
'Assalamualaikum.' saya menguluk salam waktu melangkah masuk rumah Kang Dedi sembari mendoakan orang orang yang menghuni rumah ini panjang usia, berlimpah rezeki, dan selalu menebar kebaikan kepada setiap tamunya.
Di situ, saya berkenalan dengan istri Kang Dedi yang asli Palembang. Langsung saja mulut saya tak bisa terkontrol bilang kalau saya fans fanatik pempek. Walhasil, kamipun nyambung. Ini sebenarnya sekadar trik untuk mendekatkan hati antara tamu dan empunya rumah. Anak Kang Dedi perempuan bernama Yumna. Saya pikir Yumna nama laki laki atau nama yang diambil dari gabungan suku kata orang tuanya. Ternyata tebakan saya meleset.
'Oh, ibu ada, Kang?' tanya saya.
'Aya. Ada.' jawabnya.
Ibu Kang Dedi sedang tidur di ranjangnya. Kabarnya kecapaian karena kemarin malam ada acara rajaban sampai malam hari melek. Saya mengulurkan tangan dan memperkenalkan diri.
'Danie, Bu. Dari Jogja!' kata saya. Saya lalu meralat jika asal saya Purwodadi, namun biar cepat diterima si Emak, panggilan untuk Ibu Kang Dedi, saya menyebut saja Jogja.
Emak bicara bahasa Sunda. Saya plonga plongo saja dan memberi kode ke Kang Dedi untuk menerjemahkannya. Baik, perkenalan ke Emak cukup dan saya balik ke ruang tamu sambil mendoakan Emak cepat sembuh.
Kembali lagi, obrolan kami lanjutkan. Entah apa yang sudah kami telorkan dari perbincangan di saat udara sejuk menjelajahi muka saya. Saya lupa, tapi yakinlah jika yang kami perbincangkan asyik punya.
'Lapar, Mas Dan?' tanya Kang Dedi.
'Nanti saja, Kang. Masih kenyang sama air kelapa tadi!' jawab saya polos.
Ngobrol lagi, diskusi lagi. Pun perut saya lapar. Karena saya mendadak ke Garut, Kang Dedi tak mempersiapkan hidangan istimewa bagi saya. Dia memohon maaf pada saya. Kalau saya jahat, saya akan marahi Kang Dedi karena khilaf tidak memberi makanan hebat. Namun, Kang Dedi yang bervokal halus, saya tak bisa melakukan kekerasan verbal padanya bukan?
'Teu nanaon, Kang Ded. Nggak apa apa, Kang Ded. Salah saya kok tiba tiba.' saya beralasan.
Kang Dedi menawari saya untuk cari makanan di warung dekat rumah. Saya mengangguk. Kami dapat ayam serundeng, tahu, dan kerupuk. Kenyang, deh. Nuhun, Kang Dedi.
'Assalamualaikum.' saya menguluk salam waktu melangkah masuk rumah Kang Dedi sembari mendoakan orang orang yang menghuni rumah ini panjang usia, berlimpah rezeki, dan selalu menebar kebaikan kepada setiap tamunya.
Di situ, saya berkenalan dengan istri Kang Dedi yang asli Palembang. Langsung saja mulut saya tak bisa terkontrol bilang kalau saya fans fanatik pempek. Walhasil, kamipun nyambung. Ini sebenarnya sekadar trik untuk mendekatkan hati antara tamu dan empunya rumah. Anak Kang Dedi perempuan bernama Yumna. Saya pikir Yumna nama laki laki atau nama yang diambil dari gabungan suku kata orang tuanya. Ternyata tebakan saya meleset.
'Oh, ibu ada, Kang?' tanya saya.
'Aya. Ada.' jawabnya.
Ibu Kang Dedi sedang tidur di ranjangnya. Kabarnya kecapaian karena kemarin malam ada acara rajaban sampai malam hari melek. Saya mengulurkan tangan dan memperkenalkan diri.
'Danie, Bu. Dari Jogja!' kata saya. Saya lalu meralat jika asal saya Purwodadi, namun biar cepat diterima si Emak, panggilan untuk Ibu Kang Dedi, saya menyebut saja Jogja.
Emak bicara bahasa Sunda. Saya plonga plongo saja dan memberi kode ke Kang Dedi untuk menerjemahkannya. Baik, perkenalan ke Emak cukup dan saya balik ke ruang tamu sambil mendoakan Emak cepat sembuh.
Kembali lagi, obrolan kami lanjutkan. Entah apa yang sudah kami telorkan dari perbincangan di saat udara sejuk menjelajahi muka saya. Saya lupa, tapi yakinlah jika yang kami perbincangkan asyik punya.
'Lapar, Mas Dan?' tanya Kang Dedi.
'Nanti saja, Kang. Masih kenyang sama air kelapa tadi!' jawab saya polos.
Ngobrol lagi, diskusi lagi. Pun perut saya lapar. Karena saya mendadak ke Garut, Kang Dedi tak mempersiapkan hidangan istimewa bagi saya. Dia memohon maaf pada saya. Kalau saya jahat, saya akan marahi Kang Dedi karena khilaf tidak memberi makanan hebat. Namun, Kang Dedi yang bervokal halus, saya tak bisa melakukan kekerasan verbal padanya bukan?
'Teu nanaon, Kang Ded. Nggak apa apa, Kang Ded. Salah saya kok tiba tiba.' saya beralasan.
Kang Dedi menawari saya untuk cari makanan di warung dekat rumah. Saya mengangguk. Kami dapat ayam serundeng, tahu, dan kerupuk. Kenyang, deh. Nuhun, Kang Dedi.
Post a Comment