Header Ads

MEMBELALAK di NEGERI MATA SIPIT (1)


Pernahkah kamu baca novel "Sam Poo Kong" karya Remy Silado? Saya sudah tamat sekira sepuluh tahun lalu dan puas banget menikmati racikan penulis ekstrentik itu. Silado yang mahir berbahasa Latin, satu satunya bahasa yang tak lagi mengalami perkembangan, mampu menyihir saya dengan kisah Laksamana Ceng Ho ketika melakukan perjalanan muhibah ke Nusantara. Detail bahasanya sungguh elok dan memikat hingga buku yang super tebal itu tak bisa tidak untuk selembar saya tinggal. Jika kamu belum baca, jangan merengek kalau suatu waktu ibu guru bahasa Indonesia mu memintamu mereviunya, ya!

Laksamana Ceng Ho ialah fenomena negeri Timur. Ceritanya membentang tak hanya dari Tiongkok ke sisi timur bahkan barat kini mengakuinya jika ialah pelaut hebat melebihi Christopher Columbus penemu benua Amerika itu. Ceng Ho mampu menerobos sekat sekat negara dan menawarkan humanitas abadi di negeri negeri ia singgah dan meninggalkan jejak yang mendalam dan lekat di hati siapa saja yang mau mengenalnya. Kemanusiaan itu dihadirkan oleh Tuhan dalam wujud sosok Laksamana Ceng Ho.

***


'Tak usah jauh jauh kau mau ke Negeri Tiongkok. Di Semarang, kau bisa menikmatinya!' ujar Rafa teman kuliah saya.

Terkejut sekali, namun tak sampai pingsan, saya ingat kalau Kota Semarang punya destinasi wisata beraroma negeri tirai bambu yang belum saya kunjungi. Sam Poo Kong,orang orang bisa menyebutnya Gedung Batu Temple, pada 13 Maret 2015 menjadi incaran saya untuk piknik. Jarak Purwodadi ke Semarang yang dekat yaitu 60 kilo mendorong saya untuk meluncur ke TKP alias tempat kejadian pariwisata.

'Mumpung sudah resign. Ke luar dari kantor proyek yang sudah tak bikin nyaman ada untungnya juga. Ayo kita plesir ke Sam Poo Kong, Raf!'

Rafa menyanggupi saya dan menjemput saya di Stasiun Semarang Poncol. Waktu itu, tabungan masih tebal karena gaji terakhir proyek hingga bisa beli makan ini dan itu. Pun Kota Lumpia kami jelajahi mulai dari Simpang Lima, Masjid Agung Jawa Tengah, dan tak lupa tempat kuliner khasnya. Ajib saat itu! Sekarang, memble .... duit sudah menguap ke angkasa biru.

***



Terus terang, saya tak menyukai udara di Kota Semarang. Bukan kecentilan, sih. Karena Semarang ialah kota pelabuhan, tak ayal hawanya panas menyengat yang bikin kulit saya semakin gosong. Belum lagi polusi dari kendaraan yang banyak berseliweran bikin bulu bulu hidung saya rontok, bulu bulu mata saya tanggal, dan bulu bulu tangan saya merinding disko. Halah, itu ucapan sesat saya sebetulnya. Apapun kondisi Kota Semarang, tetap saya menyukai keramahan para pengendaranya yang banyak mengulas senyum terarah pada saya. Oya, saya tetap bangga dengan kulit cokelat saya, lho ....Tak ada sedikitpun niat saya untuk melakukan suntik pigmen kulit agar seperti mendiang Michael Jackson. Ogah berat!

Lanjut ke Sam Poo Kong. Saya dan Rafa sampai sekira jam satu siang dan banyak turis lokal yang berkunjung ke sini. Anak anak SMA ramai sambil melakukan sesi pemotretan selfie. Beberapa guru mengawasi mereka dalam pandangan serius tapi santai.


'Dari SMA mana, Dik?' saya bertanya ke salah satu siswa perempuan berhijab. Semua siswi berkerudung.

Ia menjawab dari salah satu madrasah aliyah di Kota Semarang. Saya lupa nama MAnya, maafkan. Tampak sekumpulan ibu, berhijab pula, duduk di bawah pohon rindang sembari mengipasi badan mereka. Ajaib, batin saya, objek wisata yang di sini ada kelenteng yakni tempat ibadah agama Konghucu, malah banyak pengunjung berkerudung. Pun saya mengambil simpulan jika toleransi warga Semarang tak patut dipertanyakan lagi. Sayuk rukun.

***

Celaka dua belas, tab saya habis baterainya! Bagaimana saya memotret keindahan panorama di sini? Panik menyerang saya namun tak saya ceritakan pada Rafa yang entah di mana berada. Untung seribu untung, saya ada hape Samsung mini yang masih penuh amunisinya. Oke, kita kemon!



Tidak ada komentar