BERSAMA HAFIZ (2)
Pisau itu langsung menancap ke perut saya tembus jantung. Tubuh saya tersungkur, nyawa saya meregang, dan sakitnya luar biasa ketika ruh meninggalkan tubuh. Lima menit jelang berbuka, saya seolah melayang layang di atas raga saya yang ada di depan para santri penghafal Qur'an.
'Alloh, saya malu ....' ucap ruh saya sambil melihat para hafiz menelangkupkan tangan memanjatkan doa sebelum berbuka. Tubuh saya di bawah menatap hafiz melongo.
Takjil di bawah saya berupa piring piring kurma, gorengan, dan segelas kolak tak lagi mengundang selera makan saya. Malulah yang mengisi seluruh ruh saya di atas sini. Saya mendapati kesederhanan, kepatuhan, dan kepasrahan dari para hafiz. Itulah yang membuat takjub dan saya merasa jauh tertinggal dari mereka.
***
Bocah bocah santri aling berkelakar dalam bahasa Sunda yang sayup sayup saya mengerti. Mereka berebut takjil di depan dan santri dewasanya melerai dan menasihati mereka untuk tenang. Mana pemuda sekitar sini? Hanya dewasa dan bocah bocah yang meramaikan masjid At Tajdid ini? Apakah para remaja lebih suka hura hura ketimbang mengaji di kota santri Tasik ini?
Ruh saya semakin terisap oleh pemandangan wajah para santri yang lebih bercahaya dibanding wajah saya sendiri di bawah yang kusam. Frekuensi salat mereka lebih tinggi, wudu berkali kali, pantas saja begitu, pikir ruh saya.
Lihat baju yang mereka kenakan! Bersih, rapih, dan menguarkan wewangian surga. Geliat tubuhnya pun tak pecicilan seperti tubuh saya. Mereka anteng dalam keyakinan besar setahun lagi hapal Qur'an.
Bagaimana cara mereka menghapal Qur'an setebal itu! Kerja mereka apa, terus dapat duit dari mana?
Tubuh saya di bawah mengobrol dengan salah satu santri menanyakan itu.
'Penghapal Qur'an dijamin kehidupannya di bumi dan akherat.' jelas salah satu santri pada raga saya.
Allohu akbar! Saya iri, jelas cemburu dengan ungkapan itu. Sedangkan saya, bekerja banting tulang juga salat, tapi tak mendapat jaminan surga. Sebal!
Tapi, para hafiz punya pengorbanan yang tak terukur, ruh saya mematahkan pendapatnya sendiri. Menghapal Qur'an butuh penyerahan total dirinya pada pembuatnya yaitu Alloh. Merekalah gawang Islam yang pantas mendapat jaminan akherat.
Azan magrib berkumandang, waktu berbuka tiba. Seruan ketua santri untuk membatalkan puasa menarik kembali ruh saya masuk ke raganya. Saya menyatu kembali dan makan takjil.
'Baso daging si Mamih masih nggak, ya?' batin saya dalam mulut mengunyah ngunyah semangat.
Post a Comment