SHALAT JUMAT TERBURUK
Kemenangan Persib semakin melengkapi Jumat kemarin hari tertidak-enak bagi saya. Sudah ada di otak saya tim Persipura jejingkrakan, mengulas senyum lebar bergigi putih cemerlangnya, sembari mengangkat trofi. Mimpi itu hancur saat si Pangeran Biru menang dengan tidak elegan karena adu penalti. Menyesakkan dan saya beranggapan dukun Persib lebih jeli cari posisi lowong untuk mengarahkan kaki kaki pemain Persib penjeblos gawang Dede Sulaeman. Saya sebenarnya menelan ludah saya sendiri yang pahit mengingat Dede Sulaeman urang Bandung yang takluk oleh tim Bandung!
Sekira delapan jam sebelumnya, saya kesal sangat saat mengikuti shalat Jumat. Rasanya pengin ngepruk itu kepala jamaah yang ada di samping saya. Waktu shalat, ia membaca surat Al Fatihah dengan nyaring melebihi suara imam. Sudah saya sikut dirinya, eh ... malah dia semakin ribut. Saya menceritakan ini memang mengaku shalat saya tidak khusyuk. Tapi bagaimana lagi, saya berkisah agar kita shalat secara tumakninah. Dan tidak mengganggu orang lain. Itu pesan buat saya sendiri. Kalau berguna bagi yang lain, alhamdulillah ....
Belum lagi waktu si Mas di samping kiri saya waktu rukuk badannya condong ke kanan hingga semampir ke tubuh saya. Kesal saya semakin menumpuk. Ibarat saya tembok apa jadi senderan? Rambutnya poni panjang menutupi wajahnya dalam kondisi basah menciprati baju koko saya. Sedikit kena wajah saya. Konsentrasi saya buyar!
Anda tahu wangi parfumnya? Bukannya menggunjing. Memang benar kalau shalat dianjurkan pakai wewangian. Tapi ini bikin kliyengan kepala saya. Belum lagi seorang di depan saya memakai kaos yang bergambar Jogja dengan tulisannya menyebutkan sejarah berdirinya Jogja.
"Keraton Jogja berdiri pada .... bla bla bla .... bla bla ...."
Imajinasi saya ke mana mana. Ke Sarkem, ke Pakem, ke kampus Sipil UGM waktu saya dapat nilai E. Semua campur aduk. Dua rakaat shalat Jumat kemarin saya pikir gagal total.
Rampung shalat saya bersimpuh memohon ampun pada Alloh atas keluputan saya shalat tidak bagus. Saya berjanji minggu depan memilih shaf terdepan agar gangguan jamaah seperti di sebelah kiri saya yang membaca surat nyaring, berparfum pekat hanya menyan yang bisa menyainginya, dan rambut basahnya menciprat ke wajah saya. Kalau saya shalat di barisan depan, samping saya paling aki aki yang mereka pasti khusyuknya luar biasa. Dan tidak ada gangguan kaos bertuliskan Jogja. Pastilah di depan saya tembok masjid. Oke, minggu depan lebih baik!
'Mas, salaman!'
Aduh, si Mas di samping kiri saya minta jabat tangan. Ragu ragu sih saya karena masih gonduk. Hati saya maju mundur, tapi saya paksa untuk menyalaminya dalam wajah kecut.
Post a Comment