PELATIH SAYA, CINTA SAYA
'Aku kesal seribu kesal?!' teriak Bela histeris.
Bela merutuk sambil mencekik lehernya kuat kuat. Saya menahannya berusaha mengotrol emosinya sembari melepaskan jampi jampi yang saya tahu. Namun Bela tak mampu mengendalikan dirinya hingga tangannya menjotos saya sampai tersungkur. Saya melompat berjuang agar nyawa Bela tak meregang.
'Sebut nama Tuhanmu, Bel!' perintah saya. 'Atau nama kuda kesayanganmu! Guru favoritmu! Nasi goreng Jawa kesukaanmu! Asal kau nggak mati!'
Kali ini, Bela kerasukan total. Matanya melotot, mukanya memerah bak tomat busuk, dan keluar buih dari mulutnya. Saya sebagai sahabatnya di kelas capoeira tak tega sambil menarik tangannya dan menguncinya. Syukur, Bela bisa saya kendalikan.
'Rambutan, duren, manggis ....' Bela menyebut aneka buah.
'Kok nggak nama Tuhan, Bel?' tanya saya. 'Kau ateis?'
'BUKAN?! AKU VEGETARIAN?!'
'Oh maafkan, maafkan aku ....'
Saya menenangkan Bela dan menekannya untuk duduk. Tangan saya masih membekuk Bela agar lebih relaks tak bunuh diri. Ia mulai terendapkan emosinya.
'Cerita sini padaku, Bel!' bujuk saya.
'Percuma ... dia sudah sama yang lain!' Bela menangis sejadi jadinya. Tangan saya basah oleh air matanya.
'Siapa?'
'Pelatih Berengsek ....'
***
Tak dinyana, Bela menyimpan rasa cinta yang mendalam pada pelatih kami. Ia memupuk perasaan dari seringnya bertemu, berjogo, dan mengobrol. Pelatih kami memang berjiwa kebapakan, memberi pencerahan terhadap apapun masalah anak anak didiknya.
'Terus aku harus gimana, Bel?' tanya saya.
Bela berdiri, tenaga kuatnya mampu melepaskan dirinya dari saya. Ia berteriak:
'Kau diam saja! Aku akan bunuh dia si BANGSAT pelatih KAMPRET dengan tanganku sendiri!'
Saya mengejar Bela seperti dua artis film Bollywood. Terus saya harus bagaimana?
Bela merutuk sambil mencekik lehernya kuat kuat. Saya menahannya berusaha mengotrol emosinya sembari melepaskan jampi jampi yang saya tahu. Namun Bela tak mampu mengendalikan dirinya hingga tangannya menjotos saya sampai tersungkur. Saya melompat berjuang agar nyawa Bela tak meregang.
'Sebut nama Tuhanmu, Bel!' perintah saya. 'Atau nama kuda kesayanganmu! Guru favoritmu! Nasi goreng Jawa kesukaanmu! Asal kau nggak mati!'
Kali ini, Bela kerasukan total. Matanya melotot, mukanya memerah bak tomat busuk, dan keluar buih dari mulutnya. Saya sebagai sahabatnya di kelas capoeira tak tega sambil menarik tangannya dan menguncinya. Syukur, Bela bisa saya kendalikan.
'Rambutan, duren, manggis ....' Bela menyebut aneka buah.
'Kok nggak nama Tuhan, Bel?' tanya saya. 'Kau ateis?'
'BUKAN?! AKU VEGETARIAN?!'
'Oh maafkan, maafkan aku ....'
Saya menenangkan Bela dan menekannya untuk duduk. Tangan saya masih membekuk Bela agar lebih relaks tak bunuh diri. Ia mulai terendapkan emosinya.
'Cerita sini padaku, Bel!' bujuk saya.
'Percuma ... dia sudah sama yang lain!' Bela menangis sejadi jadinya. Tangan saya basah oleh air matanya.
'Siapa?'
'Pelatih Berengsek ....'
***
Tak dinyana, Bela menyimpan rasa cinta yang mendalam pada pelatih kami. Ia memupuk perasaan dari seringnya bertemu, berjogo, dan mengobrol. Pelatih kami memang berjiwa kebapakan, memberi pencerahan terhadap apapun masalah anak anak didiknya.
'Terus aku harus gimana, Bel?' tanya saya.
Bela berdiri, tenaga kuatnya mampu melepaskan dirinya dari saya. Ia berteriak:
'Kau diam saja! Aku akan bunuh dia si BANGSAT pelatih KAMPRET dengan tanganku sendiri!'
Saya mengejar Bela seperti dua artis film Bollywood. Terus saya harus bagaimana?
Post a Comment