SIRIH untuk Si KERINGAT BERDARAH
Sirih di depan rumah saya tumbuh lebat. Hujan telah membuatnya subur dan saya ingat nenek saya. Waktu itu saya umur lima tahun berlari lari dari lapangan sepakbola dengan hidung saya meleleh darah. Saya menangis sejadi jadinya karena panik sembari mengelap darah dengan punggung tangan saya. Dan nenek saya menyambut dengan wajah tersenyum. Saya heran waktu itu, kenapa nenek tidak menampakkan kekhawatiran oleh cucunya yakni saya yang kesakitan.
'Danie, kemari!' Nenek memanggil saya dalam jarit batik khasnya. Sepanjang hidupnya, tidak pernah saya temui nenek memakai rok atau daster. Ia kukuh memakai pakaian Jawa sebab dengan pakaian itu ia nyaman.
'Nenek ....' saya meronta.
'Hush, jadi anak laki jangan cengeng! Tunggu di situ!'
Nenek ke belakang dan kembali dengan tangan kanannya memegang daun yang saya tahu nanti ialah sirih. Ia menyentuh pundak saya, membalikkan tubuh saya, dan merapatkan tubuhnya ke diri saya.
'Dongakkan kepalamu!' Nenek menyuruh saya. Daun sirih yang sudah ia gulung dimasukkan ke lubang hidung saya. 'Napaslah biasa! Kalau kamu gerak, malah tambah sakit!'
Syukur, darah berhenti ke luar dari hidung saya bersama pesan nenek jika saya harus bersahabat dengan daun sirih. Saya berpikir kenapa nenek berkata seperti itu? Bertahun tahun pertanyaan itu terendapkan, kini muncul jawabannya!
***
Akan saya ceritakan tentang Rosan teman akrab saya di kursus menyetir. Ia tinggi besar, rambutnya poni, dengan tindik di lidahnya. Awalnya saya tidak menyukainya karena tindiknya itu. Batin saya, ia seperti tidak menghargai Tuhan memberinya lidah malah merusaknya. Apa dia nggak kesusahan kalau makan? Gimana kalau tindiknya itu berkarat?
Sebulan kami mengambil kursus setir mobil. Ada selusin orang yang mengikuti kelas ini yang alasannya macam macam. Ada yang mau jadi sopir TKI di Arab, buat bergaya saja, atau kalau saya untuk menunjung pekerjaan saya yang setiap saat ke sana kesini. Rosan ikut karena pengin jadi aktor laga kaya di Fast n Furious.
'Yakin kamu bisa masuk Hollywood, San?' tanya saya.
Rosan terbahak memamerkan gigi kuningnya. 'Hollywood buat para pemimpi. Aku pemimpi ulung! Amerika bisa aku gulung sekali kedip!'
Semangat Rosan luar biasa. Tampak dari obrolan dia yang selalu menggelora. Namun, itu semua habis oleh satu kelemahan dirinya yang membuat orang di sekelilingnya nyaris muntah bahkan mati kejang kejang: bau badan. Gusti Allah yang Maha Wangi, mengapa bisa tubuh seorang Rosan yang cakep bisa seperti mesin pembuat kompos?
Di kelas, ia dijauhi para peserta kursus setir. Saya tahu mereka tidak tahan dengan bau badan Rosan yang mengerikan. Mereka tidak enak untuk sekadar mengatakan "Rosan, tolong bau badanmu diperbaiki, ya!". Pun saya begitu namun saya beranikan diri untuk melakukan tindakan bukan ucapan.
Di hari ke tujuh kursus, saya teringat pesan nenek saya untuk bersahabat dengan sirih. Setelah saya cari informasi tentang manfaat daun sirih menghilangkan bau badan, saya rebus sirih yang saya ambil di pekarangan rumah. Saya tunggu sampai dingin dan masukkan ke botol air mineral.
'Ini buatmu, Rosan!' saya mengulurkan botol air sirih.
'Apa ini?' Rosan bertanya.
'Minuman ajaib sekelas Zam zam Mekkah! Ini dari Mesir!' bual saya.
Rosan selalu takluk oleh kata Arab. Apapun tentang Arab, ia selalu mau dan tak ada komentar apapun. Baginya, Arab adalah Allah.
'Kok pesing?' Rosan memprotes saat minum air sirih.
'Itu nggak pesing. Sengir! Kata orang Arab, minum ini akan masuk surga karena badanmu wangi.' jawab saya.
Rosan mengangguk dan menghabiskan air sirih dalam botol itu. Saya berjanji untuk membawakan dia terus air sirih agar ia menjelma menjadi lelaki wangi yang tidak jadi bulan bulanan obrolan teman lain. Omongan nenek tempo lalu terjawab sudah.
___________________________
Mari merapat di www.rumahdanie.blogspot.com
Post a Comment