MEREKA BERCERITA di HARI TUA
Pertemuan saya dengan kembar perempuan tua tidak disengaja. Santi dan Sante. Rada aneh nama yang kedua. Sante mirip sate atau santai. Dua perempuan bertongkat yang menyangga tubuh mereka ada di tempat praktik dokter gigi. Di dekat Malioboro, Jogja.
'Saya Santi dan saudara saya Sante. Mau apa kamu, Nak?' tanya Santi yang berada di samping saya sambil menunjukkan nomor antreannya 69. Saya 170.
Padahal di ruangan ini hanya kami bertiga yang menunggu dokter gigi datang. Cuma tiga, kenapa nomor antrean bisa sampai 170? Saya pun berpikir jika ini trik pemasaran si dokter untuk meyakinkan pasien jika dirinya banyak yang membutuhkan jasanya.
Saya belum menjawab pertanyaan Nenek Santi. Enaknya saya menyebut dengan 'nenek'. Karena kalau memanggilnya 'tante', saya takut menyinggung perasaannya secara payudaranya sudah turun tak kencang lagi. Nenek Santi malah sibuk dengan obrolannya dengan saudara kembar di sampingnya. Di jarak yang jauh dari saya.
'Nte, kamu mau pakai behel warna apa?' tanya Nenek Santi yang sudah tak tertarik lagi pada saya.
'Pink, Nti!' Nenek Sante tertawa meringkik sambil menutupi mulutnya. 'Pasti cucu cucu kita suka ....'
'Kalau aku warna tanah kuburan. Hitam cokelat gimana gitu .... Biar kita ingat kematian kita sudah dekat!' Santi balas tertawa malah lebih kencang.
Nenek gaul. Saya perhatikan mereka bukan tipe nenek kere dengan anaknya yang tak mampu membelikan mereka baju. Mereka orang kaya tampak dari telinganya yang bergiwang emas berkilau besar. Baju mereka semarak warna warni dan harum. Parfum badan mereka seperti bius yang membuat saya sesak napas.
'Nak, Anda ke sini mau apa?' Nenek Santi ingat kalau dia belum dapat jawaban dari saya.
Nenek Sante melongok pada saya, mengedipkan mata kirinya, dan bertanya, 'Mau pasang susuk ya, Anak Muda .....'
'Sakit gigi, Nek. Gigi saya kerowak!' jawab saya.
***
Jam menunjukkan pukul lima sore. Buka puasa sebentar lagi. Gigi saya sudah sakit banget. Rasanya pengin teriak! Ditambah lagi dengan sindiran si Nenek Sante kalau saya akan pasang susuk, sakit gigi saya menjadi jadi.
'Nak, namamu siapa?' tanya Nenek Santi.
Nenek Sante menambahi, 'Thomas, ya? Kaya nama anjing kami! Bulldog!'
Alamak .... Si Sante memang bikin kesal. Pengin banting dia. Tapi saya ingat wajah Dokter Boyke dan seperangkat alat kontrasepsi hingga kalap saya bisa saya tekan.
'Danie, Nek!' jawab saya.
'NENEN?!' Santi dan Sante berteriak bersamaan. 'KAU SALAH ORANG! CARI YANG LEBIH MUDA!'
Ya, Tuhan .... Saya bilang 'nenek'! Saya tahu kalau mereka tidak memproduksi ASI lagi.
'Nak Danie, aku hanya pengin bilang: Anak sekarang kurang menghargai manula. Manusia Usia Lanjut kaya kami.' Sante berkata.
'Maksud Anda?' tanya saya memakai 'Anda' untuk mengurangi risiko salah dengar.
'Dulu kami punya tata krama, sekarang hmmm .... Anak anak muda pada brengsek!' Sante emosi. 'Kau tahu kami apa, Nak Danie?'
Saya menggelengkan kepala. Nenek Santi mengangguk ngangguk memberi kode agar saya mencermati omongan nenek Sante kembarannya.
'Kami pelatih aerobik! Nggak percaya kan?' Sante tertawa keras. 'Mata anak anak muda mudah dibohongi. Kalian berbadan oke, tapi mental BUSUK ....'
'Antrean nomor 69?' seorang perawat memanggil.
'Cap cus dulu ya, Nak .... Kami mau pasang behel biar cantik ....' Nenek Santi pamit sambil mengangkat badannya.
'Ingat, tongkat ini tipuan kami!' Sante membuang tongkat dan berjalan tegak seperti peragawati. Saya menganga dan berpikir bertemu dengan siapa sore ini.
________________________
Follow my twitter @AndhyRomdani
Please come to my home: www.rumahdanie.blogspot.com
Post a Comment