MEMBURU HARTA KARUN KAWAN
Tak ada untungnya meratapi teman kuliah yang telah sangat dekat, sudah seperti saudara, pulang kampung. Jika dia lulus kuliah, itulah saatnya minta harta gono gini. Kedengarannya seperti suami istri yang bercerai. Tapi memang benar, persaudaraan antara kami sudah melebihi takaran orang umum. Kami keluarga besar.
'Danie, jadi nggak beli lemari sama kasurku?' tanya Ridwan.
Saya memasang muka lusuh. Kemarin Ridwan bilang mau kasih ke saya cuma cuma, sekarang? Dia berbalik arah berniat menjual harta warisan kosnya. Alasannya, teman teman lainnya minta juga. Saking banyaknya, ia berinisiatif untuk melelangnya.
'Kau pendusta, Wan!' seru saya.
Ridwan malah tertawa. 'Bukan begitu, Dan. Kalau aku kasih ke kau gratis, aku mendidikmu jadi pengemis selamanya.'
'Ah, alasan!' gerutu saya.
'Beneran nih nggak mau?' Ridwan mengangkat tubuhnya dari kursi mulai beranjak meninggalkan saya. Kami di ruang tamu kos.
'Eh, sebentar sebentar, Wan .... Kemarilah, sebentar .... Urusan kita belum rampung!'
'Nah, kau nggak mau kehilangan barang yang kau pengini kan?'
Saya memang sedang membutuhkan kasur terutama. Sial, Minggu kemarin pas saya jemur kasur, tiba tiba hujan turun. Saya sedang beli celana dalam karena kehabisan stok. Walhasil, kasur saya jadi bubur. Untungnya, Ridwan yang sudah lulus mendahului saya, BRENGSEK dia, pulang kampung dan menawari saya kasur.
Kalau lemari sih sebetulnya tidak mendesak buat saya incar. Baju saya tidak seberapa. Bagi saya, baju cuma hiasan tubuh. Toh kalau bercinta, kita melepas, membuang, dan mencampakkannya. Jadi, lemari saya anggap bonus saja.
'Berani berapa kau, Dan?' tanya Ridwan.
'Maksudmu?' tanya saya ke Ridwan karena konsentrasi saya terpecah oleh deru knalpot Harley di luar kos.
'Kau tawar satu kasur dua lemari plastik berapa?'
'Gratis!'
'Empat ratus!' seru Ridwan.
'Edan .... ini perampokan! Buat kenang kenangan lah, Wan ....' rengek saya.
Kami berdebat sengit. Hampir saja Ridwan saya sobek mulutnya karena persaudaraan kami nyaris putus di injury time ini. Bukannya memberi kesan baik, malah Ridwan meletupkan emosi saya.
'Tenang, tenang, Dan.' Ridwan menyela celoteh saya yang tak henti hentinya. 'Kasur sama lemari aku kasih! Sesuai janjiku.'
Mata saya berbinar. Cuping hidung saya mekar. Ridwan di depan saya bak seorang pangeran gagah yang banyak cewek mengidolainya.
'Kau teman terbaikku. Sebetulnya, aku nggak pengin kasih kau barang bekas. Aku bisa kasih kau lebih dari itu!' kata Ridwan.
'Apa itu?' Saya sudah membayangkan DVD player, TV 16 inchi, atau jaket kesayangan Ridwan.
Ridwan menyipitkan matanya, tersenyum: 'Saya kasih .... persaudaraan kita terus berlanjut sampai ajal!'
Post a Comment