Ngayogjazz 2012: Payung Payung Berkah
Meluncur ke Taman Kuliner, perutku berkukuruyuk. Ia sudah kosong dan menuntut haknya untuk sekadar sang Tuannya memberi asupan. Ialah diriku. Mau dikasih ayam bersyukur, sayuran alhamdulillah. Dalam tunggangan motor Beat kepunyaan adikkku, setelah merayunya habis habisan untuk bertukar motor China dengan Beat Honda miliknya, kubayangkan menu lotek.
'Sudah tiga hari nggak makan sayur, berak susah! Jancuk ....' gerutuku dalam kecepatan 60 km/jam yang menurut Tejo temanku seperti manula naik sepeda. Sekarang aku sudah fasih mengumpat a la Jawa Timuran hasil bergaul dengan temanku yang bernama Sutejo Tejo itu. Kadang menyesal, tapi kalau diucapkan kok ya asyik!
Waktu itu aku sangat kesal pada Tejo. Bagaimana bisa ia mengatakan manula seolah tak punya daya untuk berbuat? Kuingat ingat, saat usiaku sembilan tahun, aku membaca buku yang entah judulnya lupa, oh ya! Ensikopledia Dunia, seorang nenek berumur delapan puluh tahun terjun dari apartemen enam puluh tahun tanpa parasut. Mati, remuk badannya. Jelas mati, kalau saya bilang ia mendarat cantik dengan ujung jempol seperti balerina dijebloskan penjaralah diriku karena pembohongan publik.
Mulut Tejo memang terkenal setajam silet yang sering tak pernah mengenal isi hatiku. Sedihpun ia dengan sangat arogan menancapkan kuku kuku vampirnya tepat ke jantungku. Tidak kepadaku saja, semua yang ada di sekelilingnya ia babat habis. Tak berkutik. Ah, kenapa aku memikirkan Sutejo Tejo yang sekarang sangat sibuk dan sukses di Jakarta? Kami sudah jarang berkomunikasi. Besok aku telepon dia.
Jogja kembali mendung. Awan seolah mencemburuiku yang akan bersorak, melompat, dan berjoget bersama teman teman Capoeira di pentas Ngayogjazz di Desa Wisata Brayut, Pandowoharjo, Sleman. Kudongakkan kepalaku sebentar ke langit karena takut motor Beat ku menubruk seorang kakek tua atau siapa saja di pinggir jalan.
'Hujan, janganlah kau turun dulu. Kumohon biarkan kami bersenang senang di Minggu ini.' bujukku pada hujan. Aku sebetulnya sadar jika hujan tidak akan menggubrisku dan ia akan besar besaran a.k.a jor jora alias bengis menghantam bumi. Hujan menghentikan pergerakanku. Awas!
Sekilat otakku menyuruh tanganku mengegas kuat. 80 km/jam! Pencapaian yang sangat fantastis menurutku. Tapi untuk geng motor, aku tetap dikata seorang nenek osteoporosis. Kuumpat mereka dan kuacungkan jari tengah, kaki yang bersepatu maksudku, pada mereka.
CIT ... kurem motor mendadak. Hampir saja lampu merah kuterabas. Untung saja si polisi yang jaga di pos polisi sedang menunduk dan cengar cengir bermain HP. Kalau tidak, lima puluh ribu melayang untuk menyumpal mulutnya. Kumundurkan Beat ku sedikit, kutunggu giliran lampu hijau untuk ruas jalanku. 60 detik.
***
'Hai, Mas Danie! Cepat kemari ....' teriak Lusi yang kusebut sebelumnya bawel. Ia memakai kostum yang tak lazim. Baju Naruto. Agak janggal dengan acara Ngayogjazz, tapi biarkan saja ketimbang dia marah dan epilepsi yang akan menyusahkan seluruh jagat.
Kustandarkan Beat ku, kuberjalan menghampiri dirinya lantas berTos gampangnya. Tapi salam kami berbeda: Kami mengadu jidat, kedua tangan saling menjewer, dan meludah tepat di mata. Sadis kedengarannya, tapi itulah kami. Sarkastik kadang diperbolehkan dalam hal tertentu.
'Gimana sudah siap?' Lusi berkata sambil matanya berkedip kedip.
'Kenapa matamu, Lus?' tanyaku.
'Tren Syahrini akan amblas olehku. Ini baru pemanasan kukedipin mataku, besok tunggu saja!'
'Alah, kau itu artis yang nggak tahu kapan pentas!'
Lusi menendang tepat di rusukku yang diriku lengah tak membikin pertahanan. Sudahlah, tendangan Lusi kuanggap bentuk perhatian atau kasih sayang sebagai teman. Sahabat. Berduyun duyun teman lain mengumpul di meja bulat di Taman Kuliner ini.
'Berangkat sekarang?' tanya Boy, temanku yang lain. Ia berbadan tinggi besar dengan dandanan baruya a la Korea. Perutku geli namun itu sudah jadi pilihan Boy maka hargailah.
'Perutku belum keisi lotek, Boy!' seruku sambil memukul perut bagaikan petani menumbuk padi di lesung.
'Di Brayut ada lah, Mas Danie ....'
'Laparku sekarang, Boy!'
Semua seorang menyerangku dan tak ingin aku makan di Taman Kuliner ini karena mereka pun belum makan. Lusi berkata kalau kita akan makan di dekat Brayut sekalian memberi rezeki pada warga desa situ.
'Kita berbagi rezeki. Jangan orang kota saja yang dapat.' ucapnya. Aku takluk karena ide itu sangat masuk akal dan bernilai menurutku.
'Ayo kita berangkat ke TKP!' sorakku.
'Mari kita kemon!'
________________________
Sumber gambar: solopos.com
Meribut di www.rumahdanie.blogspot.com
Post a Comment