Eksibisionisme Pancasila a la Tentara Nusantara
Sekadar eksibisi. Bukan menjadi yang utama. Tak masalah. Itu justru menjadikan semacam kuda liar. Yang bebas memekik, tanpa harus terikat oleh suatu norma; yang jujur sungguh menekan. Oh, bukan eksbisionisme. Yang mempertontonkan alat kemaluan kepada umum. Nah, ini sudah melenceng kepada hal tak wajar. Eksibisi para talenta, dikumpulkan di Lembah Tidar.
Kami ada dua belas orang. Berketrampilan berbeda. Ada yang pandai berpiano, berorasi tanpa jeda berpuluh puluh jam, atau diri saya mampu berlari dengan jarak tempuh yang sangat jauh. Ini sengaja tidak menerima para talenta yang sama. Karena sangat berbahaya jika itu dilakukan. Terjadi benturan yang mengancam keselamatan tim. Kami hanya butuh orang orang ahli, spesial satu orang satu, digabung menjadi 12 untuk mencipta tim super. Maafkan jika ini cenderung bermakna anti sosial, dan bersifat eksklusif, tidak meluber ke masyarakat. Tapi ini dilakukan semata mata untuk lebih memfokuskan diri kami. Barang satu bulan. Setelahnya kami akan melakukan kajian, apakah betul yang kami putuskan dan lakukan.
Di sebelah tim kami ada sekawanan tentara yang tengah berlatih. Mereka memanggul bedil, berlari ke sana kemari, berpush up, dan terkadang mereka tertunduk diumpat dimarah oleh sang Komandan. Muka mereka lebam, bekas tonjokan, atau karena memang seperti itu raut mereka? Tegas, tanpa boleh mengendur urat wajah saat bersapa dengan manusia non militer? Entahlah. Fokus saya beralih. Dan begitu pula teman teman Tim 12 kami. Ah, ini bukankah waktu beristirahat? Ya betul. Mari kita menonton aksi para militer.
Keadaan tidak genting. Negeri negeri di sekeliling kami tidak mengancam. Mereka gentar melihat Negara kami yang sangat nekat. Tak memiliki senjata, tapi percaya jika masih mampu menjadi kekuatan besar. Anda sebagai orang luar, turis katakanlah, hendaknya percaya bulat bulat. Nah, para tentara di depan kami sekarang tengah membaca keras keras. Satu per satu bergantian ke muka, yang lain duduk bersila di tengah terik matahari.
'Satu. Ketuhanan yang Maha Esa.'
Dan untuk kata Esa, tiap tiap tentara melafalkan dengan berbeda. Ada yang lembut, bercita rasa hambar, namun banyak pula yang mengucapkan dengan tegas dan cepat. Semua bergantung kepada latar belakang daerah asal.
'Dua. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.'
Adil dan Beradab? Dua kata yang sungguh berat. Adab adalah suatu perjalanan yang panjang. Dan adil tak bisa dicapai dengan sekejap. Membutuhkan kelegaan, ketulusan, untuk berbagi. Menerima sikap dan pemikiran orang lain. Nah, para tentara seperti belum bisa melaksanakan dengan baik. Begitu pun kami Tim 12. Sudahlah, dua kata ini tidak boleh terlalu larut diperdebatkan. Sambil jalan, dipelajari bersama, untuk kepentingan tidak satu orang. Bersama.
'Tiga. Persatuan Indonesia.'
Negeri kami bersatu. Pemikiran pemikiran tidaklah harus diberangus. Saling mengisi. Tapi tidak saling merongrong. Berpadu untuk lebih baik. Dan, para tentara telah menunjukkan itu. Kendali Sang Komandan yang taktis dalam berstrategi, mengarahkan anak buah untuk terus kompak. Tim 12 harus menyerap dengan cepat.
'Kerakyatan yang Dipimpin ....'
Ah terlalu panjang. Tidak bisa meneruskan karena kalimat sila keempat sangatlah multipenafsiran. Tidak mampu menjabarkan. Para tentara tampak mulai letih. Apakah harus di siang seperti ini belajar tentang Pancasila?
'Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.'
Mereka mengucap 'amin' bebarengan. Sepertinya sila kelima ini mirip dengan koor jamaah shalat menjawab tantangan sang Imam untuk berbuat baik usai sembahyang.
Tim 12 belajar dari para militer. Tidak usah menuntut para militer harus belajar dari Tim 12. Itu tidak ikhlas. Membiarkan mereka menjadi ahli perang dan menjaga kedaulatan negeri lebih baik daripada kita mengumpat meminta ini dan itu.
Tim 12 kembali ke kelas.
Post a Comment