Dewa Langit (yang Ternyata) Bukan Sang Hyang
Dewa Langit bosan. Turun ke bumi. Menyamar sebagai orang biasa. Berkeliling kampung, dengan baju compang camping. Ia sebenarnya bebas untuk mendandani dirinya. Dengan sekali ucap, ia bisa berubah ujud menjadi seorang ksatria gagah. Berkuda, memegang tombak berujung emas, dengan pakaian besi perang yang mengilat jika ditimpa cahaya mentari. Tapi, Dewa Langit memilih menjadi seorang gembel. Dengan harapan, ingin mendengar langsung keluhan warga biasa. Lalu, ia nanti akan mendekati dan masuk istana kerajaan. Mengecek langsung apakah raja dan aparatnya telah lalim. Jauh dari kebenaran yang sudah diteken kontrak beberapa tahun yang lalu. Antara Sang Raja dan Dewa Langit.
Ini bulan Desember. Akhir tahun, bulan yang di dalamnya ada perayaan besar; Tahun Baru Jawa, Islam, dan di awal tahun berikutnya Tahun Baru Kalender Masehi yang dianut sebagian besar penduduk dunia. Dewa Langit sangat paham, ia tengah berada di sebuah negeri yang penuh dengan keragaman. Di situ tak hanya orang Islam, Jawa, tapi juga di dalamnya ada penganut Kristen, sisa sisa peradaban Hindu dan Budha di Nusantara, juga orang tak beragama. Betapa komplek negeri ini. Hingga si Dewa Langit harus berhati hati untuk mengurai setiap permasalahan dan kemungkinan letupan akibat gesekan kepentingan.
'Aku Rembes!' Dewa Langit yang gembel memekik, di antara manusia di pasar. Sesak, berbau uar got dan bau keringat pengunjung, suara sang Dewa tenggelam tak terdengar.
'Aku Rembes! Perhatikan aku. Aku Rembes!' Sekali lagi sang Dewa berteriak. Meminta perhatian.
Oh, tidak. Si Dewa lupa, jika ia bukan lagi Dewa. Ia sudah sama dengan para manusia yang bergelut dengan pagi dan siang mereka untuk berlomba memperebutkan sekadar uang untuk makan.
Seorang tua mendekat dan bertanya. 'Kau siapa Kisanak?'
'Aku Rembes, Mbah!' jawab Dewa Langit gagah.
'Apa itu Rembes?' tanya si tua sembari menyodorkan telinga sebelah kanannya mendekat tubuh si Dewa.
'Rembes, aku. Gelandangan.'
'Gelandangan? Kenapa kau kotor sekali?'
'Loh. Memangnya kenapa Mbah?'
Si Tua terkekeh, lama tawanya seperti melecehkan. 'Gelandangan di sini rapih rapih. Pakai dasi, bajunya bagus bagus. Tidak kaya kamu, Mbes!'
Si Dewa yang menyamar kebingungan. Dari informasi yang ia dapat dari pengawal pengawalnya di langit, ia tahu gelandangan adalah berbaju tak pantas pakai.
'Ah, Anda bohong Mbah!'
'Tidak Kisanak. Aku ndak pernah bohong sepanjang hidupku. Pantang bagiku.'
Semakin kelimpungan sang Dewa Langit. Ingin rasanya ia langsung pergi dan melesat ke langit, merasa dipermalukan dan mengurung diri di kamar selama satu minggu. Tanpa makan dan minum, karena keteledoran menyesuaikan diri di lingkungan yang tak pernah ia kuasai. Di bumi, tempat para manusia berserakah atau berbuat baik.
Langit menjadi gelap. Mengikuti suasana hati si Dewa Langit.
'Bagaimana bisa gelandangan di sini berpakaian bagus, Mbah?'
Si Tua mengambil napas dalam dalam, menatap wajah Dewa Gelandangan lekat lekat.
'Begini Kisanak. Kami di negeri ini sudah sepakat ....'
'Sepakat apa Mbah,' potong si Dewa.
'Jangan kau potong dulu ucapanku Kisanak. Kau harus belajar sopan santun.'
Si Dewa Langit seakaan disengat. Ditampar dengan amat telak. Tak mampu berkata lagi, ia mengangguk, menunggu kalimat selanjutnya ke luar dari bibir Si Mbah Tua.
'Sepakat untuk berganti laku. Kau tahu laku?'
'Ndak Mbah. Apa itu?'
'Kisanak, kau harus belajar banyak dari orang orang pendahulumu. Jangan pernah menganggap benar apa yang kau yakini. Itu berbahaya bagi dirimu sendiri.'
'Ya Mbah. Lalu ...,'
Simbah berganti memotong perkataan si Dewa, 'Tahan pertanyaanmu. Akan kuberikan waktu yang tepat untuk kau bertanya.'
Sekali lagi si Dewa Langit mengangguk.
'Laku itu peran. Kami giliran merasakan teman lain. Paham yang aku maksud, Kisanak?'
'Tahu Mbah.'
'Nah, itu dengan syarat. Hanya satu syarat. Asal tidak menyinggung syariat agama. Penarik kereta bisa menjadi carik, guru bisa berlaku jadi pengemis. Semua berhak. Tapi, satu. Tidak boleh mencampur campurkan akidah. Itu dilarang sang Hyang.'
Si Dewa Langit makin kebingungan. Panik. Ia merasa dirinyalah yang merupakan Atas Segalanya. Dan Simbah di hadapannya mengatakan ada sang Hyang yang lebih berkuasa.
'Sang Hyang bagaimana yang Simbah maksud?' Si Dewa Langit bertanya.
'Aku tidak tahu Kisanak. Ia tidak berwujud seperti kita. Bukan manusia. Dan nalar kita ndak bisa njangkau.'
Perasaan berkecamuk di dalam diri si Dewa Langit.
'Kisanak, aku harus pergi dari sini.'
'Menemui siapa Mbah?'
'Aku tidak akan menyebutkannya Nak. Nikmatilah tempat ini. Jangan sibuk bertanya kepada orang orang. Mereka semua sibuk mencari rezeki. Kamu seharusnya malu. Aku tinggal Nak.'
'Sampai jumpa lagi Mbah.'
Dewa dewa langit yang runtuh oleh orang tak dikenal.
Post a Comment