Alladin dan Jin Lampu Wasiat (Bagian 2): The Last Eruption
Jinny ia bernama. Jin perempuan, berbedak seinchi, ganjen kemayu penuh dengki. Mulutnya nyonyor, bibir tebal berganti ganti warna, kadang ditambah hiasan kerlip kerlip pengisap perhatian. Rambutnya panjang, seringnya dikepang. Postur tubuhnya semampai, dengan baju yang mengumbar pusarnya yang bodong. Bersepatu jinjit sangat tinggi, namun ia masih mampu menjaga keseimbangan jalannya dengan sangat mantap.
Tinggal di botol, ia selalu bersolek. Jika sang Tuan Putri memanggilnya, dengan membuka penutup botol, Jinny selalu siap sedia.
'Jinny, pel lantai kotor itu!' perintah Tuan Putri dengan mata melotot.
'Baik Nyah. Siap laksanakan.' jawab semangat si Jinny.
Jinny sangat rajin. Meski badannya mirip artis, tak membuatnya lepas dari tanggungjawab. Segala yang diperintahkan kepadanya, ia dengan sigap menuntaskannya. Namun sayang, itu semua tertutup saat ia bergabung dengan perkumpulan para Jin cewek setiap bulan di tanggal 15. Arisan para Jin cewek. Ia lantas menyombongkan segala yang telah dilakukan.
'Aku tak lupa memotong kuku. Memotong rambut menurut tren sekarang. Kosmetikku dari luar negeri semua. Aduh, aku sangat suka hidup ini!' sumbarnya kepada perkumpulan jin cewek.
Ucapan bengong dari anggota lain seperti 'Oh iya ya?' atau 'Hebat banget kamu Jinny!', dan segala kekaguman terlontar kepada Jinny seorang.
Jinny bak artis pada acara itu. Ini tak lain karena budi baik Tuan Putrinya. Meski sangat bawel, ia memberi dispensasi kepada si Jinny tiap bulannya untuk bercengkerama dengan sesama seprofesi Jinny.
'Kau harus bersosialisasi dengan teman temanmu, Jin. Aku tak bisa mengursuskanmu. Sekolah salon, jahit. Ndak perlu itu. Kau cuma harus bekerja membantu keluargaku. Tapi, aku beri kebebasan tiap bulan. Ikutlah arisan.'
Beda sekali dengan Juragan Arab Arab lain. Tuan Putri cukup bijaksana, mendidik si Jinny. Membuatnya menjadi anak yang baik. Memang, yang tak bisa dideteksi adalah kesombongan si Jinny yang kadang meletup.
***
Arab mendung. Pohon kurma bergentiyang gentiyung. Suara azan lamat lamat terdengar. Dinyaringkan oleh lelaki santun penuh dengan ridlo Tuhan Yang Maha Kuasa. Jinny tak harus menutup telinga. Ia tak akan terbakar oleh ayat ayat suci. Karena ia jin yang baik hati. Tidak pernah membujuk manusia untuk berbuat jahat. Ia hanya abdi seorang manusia, Tuan Putri, yang menyelamatkan dirinya di pantai.
Saat itu, Jinny diombang ambingkan badai. Ia dulu mengabdi kepada Juragan jahat di Indonesia. Lalu Jinny dibuang ke Pantai Selatan. Tiga bulan tiga hari, ia berada di Samudera. Dan Tuhan Maha Penyelamat, Jinny terdampar di Laut Hitam. Ditemukan oleh Tuan Putrinya yang sekarang. Untung seribu untung. Jika lebih dari tiga menit, Jinny sudah mati.
Jinny sekarang sedang mengelap sofa. Oh ya. Ada yang terlupa. Jam kerja Jinny sangat rahasia. Dirahasiakan. Agar tak terendus oleh Juragan Laki, suami Tuan Putri. Tak boleh si Juragan Laki mengetahui Jinny bekerja di rumah mereka. Berbahaya. Bisa ngiler itu Juragan, dan menyantap si Jinny mentah mentah. Jadi, ia bekerja di saat Juragan Laki tengah sibuk di kantor. Atau jika tiba tiba Juragan Laki tiba di rumah, tidak sesuai jadwal, sirine pengamanan akan meraung raung. Menandakan tindak gawat darurat segera dilakukan oleh Tuan Putri.
Di meja tamu tampak sebuah majalah. Jinny yang berposisi memantati meja, berbalik cepat.
'Apa ini? Majalah apa ini!'
Jinny mengamati. Membacanya terbata bata. Karena ia tak tamat SD semasa di Indonesia.
'A - A - La - Din. Aladin. Aladin. Apa lagi ini ya?'
Mengeja lagi.
'Da - Dan. Jin. Eh, eh eh, kok ada Jin?'Tersentak si Jinny.
***
Jinny terus memperhatikan majalah itu. Ia tak tertarik dengan paras si Aladdin. Meski rupawan, si Jinny tak tergoda. Lebih tertariklah dirinya dengan sosok Jin yang berada di belakang. Menjadi latar belakang Aladdin.
'Wah, ini cowok idolaku. Kulitnya ungu. Aku suka!' girang si Jinny.
Didekap erat majalah itu oleh Jinny.
'Aku harus bertemu dengan dirinya,' seakan si Jinny tersihir oleh pesona Jin. 'Tapi di mana ya si Jin ini. Oh, aku ingin berjumpa!'
Si Jin menuju bifet lemari besar. Gagang telpon ia angkat.
'Aku telpon bagian pemasaran majalah ini. Mau aku tanya alamat rumah si Jin. Barangkali dikasih nomor telponnya. Jadi lebih sip.' Genit, Jinny yakin ia akan bertemu dengan idola barunya.
***
Post a Comment