Pertemuan yang Ganjil
Meja bundar, penuh makanan lezat. Nasi, sayur, juga minum yang di sana tampak susu dicampur madu. Piring piring tertata rapi, disebelahi sendok mengilat dan garpu yang tajam. Lilin disusun layaknya trisula menambah suasana menjadi seperti sekumpulan bangsawan akan berbincang penting. Menyelesaikan persoalan bersama, pada malam yang di luar rumah salju turun dengan deras bersama badai.
Membayangkan makanan Eropa, tak ada guna. Justru masakan Nusantara beraroma rempah, dengan cabai yang siap menyerang usus bagi mereka yang tak tahan pedas. Gulai kambing penuh kolesterol, urap sayur campur campur, atau daging sapi bistek asal Bali, semua tersaji apik. Tinggal disantap.
Jam dinding berdentang, menunjukkan pukul 8 malam. Tuan rumah gelisah, apakah tamu bertandang sesuai kesepakatan. Janji harus dipenuhi. Jika tidak, di lain waktu ia akan memukul balik bernama: Karma. Tegang, suasana hati tak keruan si Tuan rumah mendekat meja dengan telepon kuno di atasnya. Memutar mutar angka, menghubungi dua sobat.
Namun, panggilan tak tersambungkan. Apakah ini pertanda tiang tiang listrik roboh, atau kabel listrik dikerat oleh tikus tikus yang giginya berkeretak karena dingin, dan mengunyah kabel sebagai pelampiasannya?
Dicoba kembali, dan di ujung sana suara perempuan terdengar.
'Halo. Aku sedang di terminal. Salju menahanku.' jawab perempuan tadi.
Tuan rumah mendesah, menahan emosi, 'Ya sudah. Semoga salju segera berhenti.'
'Tunggu saja Gus. Aku tetap akan ke rumahmu.' nada suara serius dari si perempuan. Suara angin badai terdengar pula di ujung telepon si Tuang rumah.
'Oke.'
Dan ingin menghubungi tamu yang kedua. Namun, kesimpulan sudah dibuat, sama saja badai menahan kehadiran tamu yang satunya.
Sang Tuan rumah bergerak ke ruang hangat. Memastikan posisi kayu bakar agar kobaran tetap terjaga, ia merebahkan diri di atas sofa. Diambilnya sebuah majalah metropolitan yang berisi kabar para sosialita. Tak fokus karena tak begitu tertarik, ia membuka buka membolak balik, tanpa memasukkan beritanya ke dalam otak. Pikiran si Tuan masih mengarah ke kapan 2 tamu segera tiba ke rumahnya.
Membayangkan makanan Eropa, tak ada guna. Justru masakan Nusantara beraroma rempah, dengan cabai yang siap menyerang usus bagi mereka yang tak tahan pedas. Gulai kambing penuh kolesterol, urap sayur campur campur, atau daging sapi bistek asal Bali, semua tersaji apik. Tinggal disantap.
Jam dinding berdentang, menunjukkan pukul 8 malam. Tuan rumah gelisah, apakah tamu bertandang sesuai kesepakatan. Janji harus dipenuhi. Jika tidak, di lain waktu ia akan memukul balik bernama: Karma. Tegang, suasana hati tak keruan si Tuan rumah mendekat meja dengan telepon kuno di atasnya. Memutar mutar angka, menghubungi dua sobat.
Namun, panggilan tak tersambungkan. Apakah ini pertanda tiang tiang listrik roboh, atau kabel listrik dikerat oleh tikus tikus yang giginya berkeretak karena dingin, dan mengunyah kabel sebagai pelampiasannya?
Dicoba kembali, dan di ujung sana suara perempuan terdengar.
'Halo. Aku sedang di terminal. Salju menahanku.' jawab perempuan tadi.
Tuan rumah mendesah, menahan emosi, 'Ya sudah. Semoga salju segera berhenti.'
'Tunggu saja Gus. Aku tetap akan ke rumahmu.' nada suara serius dari si perempuan. Suara angin badai terdengar pula di ujung telepon si Tuang rumah.
'Oke.'
Dan ingin menghubungi tamu yang kedua. Namun, kesimpulan sudah dibuat, sama saja badai menahan kehadiran tamu yang satunya.
Sang Tuan rumah bergerak ke ruang hangat. Memastikan posisi kayu bakar agar kobaran tetap terjaga, ia merebahkan diri di atas sofa. Diambilnya sebuah majalah metropolitan yang berisi kabar para sosialita. Tak fokus karena tak begitu tertarik, ia membuka buka membolak balik, tanpa memasukkan beritanya ke dalam otak. Pikiran si Tuan masih mengarah ke kapan 2 tamu segera tiba ke rumahnya.
Post a Comment