Merapi menjadikan saya sebagai Dokter Bermasker
Masker hijau adalah seorang dokter. Dan, secara ajaib saya menjadi dokter untuk beberapa hari mendatang. Saat ini, dan entah sampai abu vulkanik Merapi hilang. Ya, profesi dokter yang tiba tiba akibat amukan Gunung Merapi yang meletus. Marah kepada kami, warga yang berlaku tak bersahabat padanya. Atau, ya memang itulah siklus kehidupan Merapi.
Lupakan cerita menyayat yang diberi oleh seorang diri Maridjan. Ia sudah kembali ke Gusti. Sekarang tiba menatap masa depan. Dengan membersihkan abu yang melekat di plester depan kos, mencuci piring dan gelas yang pula abu menempel satu senti. Tentu dengan masker yang ditutupkan ke mulut, digantungkan melalui karet ke telinga. Alangkah saya seperti dokter kali ini.
Tak tertutup rapat, saya sangsi abu abu akan masuk ke mulut lalu kerongkongan saya. Mengganggu pernapasan, dan menjadi ISPA hingga batuk semalam suntuk. Merapi, saya menyukai dirimu, tapi tidak untuk saat ini. Serasa tertekan dada ini. Lalu, menghirup udara seakan sulit. Butuh perjuangan. Tak harus berlebihan memang. Tapi, pengalaman hidup bersama Merapi harus seperti ini. Sekadar mengamati dari jarak jauh di pagi hari, menerka nerka kedigdayaan Merapi, seperti kurang berkesan. Dan yang mendalam memang saat Merapi Muntah; lahar, abu, pasir, batu. Dimulai dua hari kemarin.
Yogyakarta, Merapi, dan diri saya. Sungguh harmonisasi yang baik. Bermula dari saya. Tak menuntut banyak dari Merapi. Aktif dari diri saya. Untuk besok besok saya bercerita 'Oh, Merapi sungguh indah!'
Bermaskerlah saya, Bunda! Melengkapi mimpi mimpimu mempunyai ananda yang berprofesi sebagai dokter. Inilah saya dokter. Karena Merapi.
Bukan masker bengkoang.
Post a Comment