Gadis Ompong, Bergigi Palsu
Teman saya bergigi palsu. Karena setahun lalu ia jatuh dari sepeda, merontokkan 4 gigi atas dan 6 bawah. Ini gara gara Dian, begitu ia bernama, main sepeda sepedaan dengan keponakannya. Waktu jalan menurun, sepeda yang dinaiki berdua oleng. Wajah Dian membentur aspal. "Ini kutukan buatku", ia sering berumpat kepada dirinya sendiri. Tak jarang ia mengeluh, tak percaya diri, jika gigi palsu membuatnya tak cantik lagi.
Sejujurnya, ia tak rupawan. Biasa saja. Jika dibandingkan dengan Miss Indonesia, ia tak ada apa apanya. Yang membuat saya terkesan sebagai sahabat adalah pekertinya yang sangat elok. Bersama dirinya, serasa memiliki teman mengobrol yang mengasyikkan. Suasana sangat cair, segala permasalahan dipastikan ada solusi. Tak ada hal yang tak mungkin bersama sahabat saya yang kini memakai gigi palsu. Untuk membantu dirinya mengunyah makanan, begitu alasan sang dokter menganjurkan sahabat saya memasang gigi palsu.
Dan siang ini Dian tampak murung. Sejak pagi saya perhatikan ia gelisah. Setiap ditanya tentang di mana letak dokumen ini atau itu selalulah ia menjawab dengan salah. Belum lagi kejadian memalukan yang tak pernah ia lakukan: Menelepon orang yang salah. Ia bermaksud menelpon Ibu Asih, tapi ia dengan tanpa berdosa menekan nomor Tukang Las.
Saya mendekatinya.
'Ada masalah apa, Yan?' tanya saya.
'Ndak ada apa apa, Jon.'
'Ah, kau ga bisa nutupin masalahmu. Dari pagi kau kikuk.' saya menembus pertahanan Dian. 'Apa karena si Aak yang kau ceritakan kemarin?'
'Kok kamu tahu?' Dian kaget.
'Kita bersahabat sudah lama Yan. Apa yang kau pikirkan, selalu aku tahu.'
'Tapi kau bukan cenayang kan, Jon?'
'Sedikit lah.'
Kami tertawa hampir bersamaan. Nada dasar pun sudah kami sepakati sama jika kami merasa ada hal yang lucu untuk ditertawakan. Padahal untuk saat ini, tidak ada yang lucu dengan obrolan kami.
Meja kerja kami tinggalkan. Menuju kantin. Ini masalah serius yang harus dipecahkan, pekik saya di dalam hati. Dian murung, berarti ia sudah tidak mampu mengurai masalah. Karena sifat dirinya yang saya kenal sebagai pribadi yang ceria, suka membanyol, dan ia sangat menjauhi mengeluh kepada teman temannya, termasuk saya.
'Aak gimana kabar?' Saya memulai lagi pembicaraan, sembari memberi kode sang pelayan kantin, memanggil dan memesan sesuatu, 'Aku pesan nasi lodeh plus telor. Minum es teh. Kau apa, Yan? Aku traktir deh.'
'Asyik. Makasih Jon.' Masih saja nada bicara Dian datar. 'Aku nasi soto. Minum teh panas.'
Nah, satu lagi yang ganjil. Dian sangat tidak suka dengan teh panas. Dia berpendapat, teh panas adalah minuman para nenek kakek. Salah pesan dia.
'Kau ga minum es?'
'Ndak Jon. Aku pengin minum teh panas biar ndak stres.'
'Stres? Kau bisa stres?' tanya saya tak percaya.
'Aku bingung Jon.'
'Ceritalah. Aku dengerin.'
'Ini tentang Aak. Dia belum tahu aku ompong Jon.'
'Emang kenapa dengan cewek ompong? Kalau dia ga mau nerima kamu, ya putusin aja.' Emosi saya saat mendengar pacar si Dian memperlakukan semena mena. Pasti dia laki laki tak bertanggungjawab. Belum belum sudah mempermasalahkan gigi sahabat saya.
'Aku ndak pede, Jon. Gimana kalau ntar Aak tahu aku ompong. Pakai gigi palsu. Trus kalau nanti kami sudah nikah, dia cium aku trus gigi palsuku copot gimana?'
Ketakutan, itulah yang saya tangkap dari obrolan Dian. Saya harus hati hati memberikan masukan kepadanya. Sungguh, saya menyadari bagi perempuan memakai gigi palsu adalah aib yang ia tanggung seumur hidup. Pesonanya akan pudar, pelan pelan akan membunuhnya.
'Mmm ... gini Yan.' Saya menatap kedua matanya. Menyalurkan energi positip kepada Dian, sahabat saya. 'Kau lihat ....'
Omongan saya terputus saat sang pelayan kantin menyuguhkan pesanan kami.
'Makasih Mas.' ucap saya.
'Terima kasih ya Mas.' Dian berganti berucap kepada sang pelayan.
'Oh ya. Kau ngefans ama Aa Gym kan?'
'Ya. Kenapa Jon?'
Saya mencoba mengalihkan perhatian Dian ke lain hal, selanjutnya mengembalikan permasalahan untuk menyusupkan solusi yang saya tawarkan.
'Aa Gym dicemooh banyak orang karena berpoligami kan?'
'Ya. Saya kasihan Aa.'
'Ga perlu kau kasih iba ama Aa Gym, Yan. Itu sudah pilihan Aa. Keputusan dia. Kita harus hargai.'
'Apa hubungannya dengan gigiku?' tanya Dian kebingungan.
'Kau ga meminta gigimu ompong kan?'
'Ndak lah. Tapi kadang aku berpikir ini ndak adil buatku, Jon.'
'Ga boleh bilang gitu. Allah kasih ujian padamu. Barangkali gigimu yang ini paling baik dikasih ke kamu. Pasti kau dulu jarang sikat gigi kan?'
'Ah ngaco.'
'Beneran ga?'
'Iya sih ....' Sebetulnya saya cuma menebak saja. Beruntung terawang kali ini jitu.
'Nah, ga usah minder. Tinggal ceritakan ke Aak. Dengan baik. Pasti dia menerima. Kalau bijak, pasti dia akan nerima kau apa adanya.'
'Mmm ... okelah. Akan aku coba.'
'Itu baru sobatku. Semoga ada jalan keluar. Yang baik.'
'Amin.' Dian menjawab dengan mantap sekarang.
Kami pun makan dengan lahap. Bercerita lain hal yang membuat kami terus bergelak.
Sejujurnya, ia tak rupawan. Biasa saja. Jika dibandingkan dengan Miss Indonesia, ia tak ada apa apanya. Yang membuat saya terkesan sebagai sahabat adalah pekertinya yang sangat elok. Bersama dirinya, serasa memiliki teman mengobrol yang mengasyikkan. Suasana sangat cair, segala permasalahan dipastikan ada solusi. Tak ada hal yang tak mungkin bersama sahabat saya yang kini memakai gigi palsu. Untuk membantu dirinya mengunyah makanan, begitu alasan sang dokter menganjurkan sahabat saya memasang gigi palsu.
Dan siang ini Dian tampak murung. Sejak pagi saya perhatikan ia gelisah. Setiap ditanya tentang di mana letak dokumen ini atau itu selalulah ia menjawab dengan salah. Belum lagi kejadian memalukan yang tak pernah ia lakukan: Menelepon orang yang salah. Ia bermaksud menelpon Ibu Asih, tapi ia dengan tanpa berdosa menekan nomor Tukang Las.
Saya mendekatinya.
'Ada masalah apa, Yan?' tanya saya.
'Ndak ada apa apa, Jon.'
'Ah, kau ga bisa nutupin masalahmu. Dari pagi kau kikuk.' saya menembus pertahanan Dian. 'Apa karena si Aak yang kau ceritakan kemarin?'
'Kok kamu tahu?' Dian kaget.
'Kita bersahabat sudah lama Yan. Apa yang kau pikirkan, selalu aku tahu.'
'Tapi kau bukan cenayang kan, Jon?'
'Sedikit lah.'
Kami tertawa hampir bersamaan. Nada dasar pun sudah kami sepakati sama jika kami merasa ada hal yang lucu untuk ditertawakan. Padahal untuk saat ini, tidak ada yang lucu dengan obrolan kami.
Meja kerja kami tinggalkan. Menuju kantin. Ini masalah serius yang harus dipecahkan, pekik saya di dalam hati. Dian murung, berarti ia sudah tidak mampu mengurai masalah. Karena sifat dirinya yang saya kenal sebagai pribadi yang ceria, suka membanyol, dan ia sangat menjauhi mengeluh kepada teman temannya, termasuk saya.
'Aak gimana kabar?' Saya memulai lagi pembicaraan, sembari memberi kode sang pelayan kantin, memanggil dan memesan sesuatu, 'Aku pesan nasi lodeh plus telor. Minum es teh. Kau apa, Yan? Aku traktir deh.'
'Asyik. Makasih Jon.' Masih saja nada bicara Dian datar. 'Aku nasi soto. Minum teh panas.'
Nah, satu lagi yang ganjil. Dian sangat tidak suka dengan teh panas. Dia berpendapat, teh panas adalah minuman para nenek kakek. Salah pesan dia.
'Kau ga minum es?'
'Ndak Jon. Aku pengin minum teh panas biar ndak stres.'
'Stres? Kau bisa stres?' tanya saya tak percaya.
'Aku bingung Jon.'
'Ceritalah. Aku dengerin.'
'Ini tentang Aak. Dia belum tahu aku ompong Jon.'
'Emang kenapa dengan cewek ompong? Kalau dia ga mau nerima kamu, ya putusin aja.' Emosi saya saat mendengar pacar si Dian memperlakukan semena mena. Pasti dia laki laki tak bertanggungjawab. Belum belum sudah mempermasalahkan gigi sahabat saya.
'Aku ndak pede, Jon. Gimana kalau ntar Aak tahu aku ompong. Pakai gigi palsu. Trus kalau nanti kami sudah nikah, dia cium aku trus gigi palsuku copot gimana?'
Ketakutan, itulah yang saya tangkap dari obrolan Dian. Saya harus hati hati memberikan masukan kepadanya. Sungguh, saya menyadari bagi perempuan memakai gigi palsu adalah aib yang ia tanggung seumur hidup. Pesonanya akan pudar, pelan pelan akan membunuhnya.
'Mmm ... gini Yan.' Saya menatap kedua matanya. Menyalurkan energi positip kepada Dian, sahabat saya. 'Kau lihat ....'
Omongan saya terputus saat sang pelayan kantin menyuguhkan pesanan kami.
'Makasih Mas.' ucap saya.
'Terima kasih ya Mas.' Dian berganti berucap kepada sang pelayan.
'Oh ya. Kau ngefans ama Aa Gym kan?'
'Ya. Kenapa Jon?'
Saya mencoba mengalihkan perhatian Dian ke lain hal, selanjutnya mengembalikan permasalahan untuk menyusupkan solusi yang saya tawarkan.
'Aa Gym dicemooh banyak orang karena berpoligami kan?'
'Ya. Saya kasihan Aa.'
'Ga perlu kau kasih iba ama Aa Gym, Yan. Itu sudah pilihan Aa. Keputusan dia. Kita harus hargai.'
'Apa hubungannya dengan gigiku?' tanya Dian kebingungan.
'Kau ga meminta gigimu ompong kan?'
'Ndak lah. Tapi kadang aku berpikir ini ndak adil buatku, Jon.'
'Ga boleh bilang gitu. Allah kasih ujian padamu. Barangkali gigimu yang ini paling baik dikasih ke kamu. Pasti kau dulu jarang sikat gigi kan?'
'Ah ngaco.'
'Beneran ga?'
'Iya sih ....' Sebetulnya saya cuma menebak saja. Beruntung terawang kali ini jitu.
'Nah, ga usah minder. Tinggal ceritakan ke Aak. Dengan baik. Pasti dia menerima. Kalau bijak, pasti dia akan nerima kau apa adanya.'
'Mmm ... okelah. Akan aku coba.'
'Itu baru sobatku. Semoga ada jalan keluar. Yang baik.'
'Amin.' Dian menjawab dengan mantap sekarang.
Kami pun makan dengan lahap. Bercerita lain hal yang membuat kami terus bergelak.
Post a Comment