Lempeng Nusantara dan Hindustan yang Bertubrukan
Nusantara bertumbukan dengan Negeri Hindustan. Dua lempeng bergeser, melesak menjadi satu. Membiarkan seluruh manusia di antara menyatu. Bergoyang bersama diiring tabuh gendang India, bersambut lengkingan ratapan anak negeri Indonesia. Dua budaya menjadi satu. Yang satu berumur jutaan, sedangkan amnesia diderita oleh adik bungsunya.
'Ini Taj Mahal, Om.' bangga seorang keling di depan saya.
'Borobudur dong. Lebih gagah. Gede.' sanggah saya. Mempermainkan tangan, menunjukkan seberapa menjulang candi kebanggaan saya.
'Mau saya ceritakan Mahabarata atau Ramayana, Kawan?' tawar India yang lain.
'Sudah fasih. Maaf. Aku tahu cerita itu di pentas wayang kulit. Semalam suntuk.' Tak mau kalah diri saya.
'Kajol, Shah Rukh Khan?' Seorang lain menyodorkan majalah bergambar dua artis tersohor Negeri Gandhi.
'Cut Tari? Luna Maya? Ariel Peterpan?' Sosor saya biar tak jadi perdebatan sengit.
'Pak, mana kalimu?' Lelaki tua bertanya kepada saya.
Mengapa saya seorang Indonesia sendiri yang berada di kerumunan India. Mana yang lain?
'Ini bukan pelajaran matematika, Pak!' gertak saya.
'Sungai.'
'Untuk apa?'
'Biasa kami berdoa di Gangga.Memohon kepada Dewa dewa.'
'Itu di sana sungai kami.' jawab saya menunjuk sembari membusungkan dada. Takabur sebentar.
'Mana?'
'Ya di sana.'
'Itu jamban Pak. Jorok sekali.'
Saya gelagapan. Malu bercampur sedih. Tapi dasar saya orang Indonesia, berkelit penting dilakukan. 'Oh yang di sana. Kali di sana lebih bersih.'
Bumi berguncang kembali. Satu negeri terpisah. India dan Nusantara tak jadi bersatu karena perbedaan cara pandang. Saya sedih ditinggalkan kerumunan India. Karena, saya ingin pergi ke sana. Bersama mereka. Tapi takdir menyuruh saya tetap di Indonesia. Selamanya.
'Ini Taj Mahal, Om.' bangga seorang keling di depan saya.
'Borobudur dong. Lebih gagah. Gede.' sanggah saya. Mempermainkan tangan, menunjukkan seberapa menjulang candi kebanggaan saya.
'Mau saya ceritakan Mahabarata atau Ramayana, Kawan?' tawar India yang lain.
'Sudah fasih. Maaf. Aku tahu cerita itu di pentas wayang kulit. Semalam suntuk.' Tak mau kalah diri saya.
'Kajol, Shah Rukh Khan?' Seorang lain menyodorkan majalah bergambar dua artis tersohor Negeri Gandhi.
'Cut Tari? Luna Maya? Ariel Peterpan?' Sosor saya biar tak jadi perdebatan sengit.
'Pak, mana kalimu?' Lelaki tua bertanya kepada saya.
Mengapa saya seorang Indonesia sendiri yang berada di kerumunan India. Mana yang lain?
'Ini bukan pelajaran matematika, Pak!' gertak saya.
'Sungai.'
'Untuk apa?'
'Biasa kami berdoa di Gangga.Memohon kepada Dewa dewa.'
'Itu di sana sungai kami.' jawab saya menunjuk sembari membusungkan dada. Takabur sebentar.
'Mana?'
'Ya di sana.'
'Itu jamban Pak. Jorok sekali.'
Saya gelagapan. Malu bercampur sedih. Tapi dasar saya orang Indonesia, berkelit penting dilakukan. 'Oh yang di sana. Kali di sana lebih bersih.'
Bumi berguncang kembali. Satu negeri terpisah. India dan Nusantara tak jadi bersatu karena perbedaan cara pandang. Saya sedih ditinggalkan kerumunan India. Karena, saya ingin pergi ke sana. Bersama mereka. Tapi takdir menyuruh saya tetap di Indonesia. Selamanya.
Post a Comment