Polisi Bunuh Diri: Kesalahan Sistem?
YK, 28/3/07
Sebut saja Arnold, ia berumur 18 tahun sebentar lagi lulus dari bangku SMA. Mei depan ia akan mengikuti ujian akhir nasional yang dikatakan gurunya relatif tak mudah untuk ukuran remaja saat ini. Bu Guru tak melebih-lebihkan keadaan, karena ditunjukkan fenomena sosial yang mengatakan banyak ABG (Anak Baru Gede) tak suka belajar. Dalam satu kilo otaknya sebesar 90% hanya berisi trend HP terbaru, MP3, DVD dan sinetron, begitulah hasil survei sebuah lembaga Peduli Bangsa. Ujaran sang pembimbing kontan menusuk jantung Arnold seketika dengan amat dalamnya.
Dalam keseharian Arnold terkenal sebagai anak urakan dengan julukan codhot bengi, kelelawar malam. Walaupun usianya masih sangat belia, namun soal kehidupan malam dialah jagonya. Tak ada satu malampun yang lepas darinya, bercengkerama dengan sebaya, bermain gitar bahkan pesta minum-minuman keras pernah dilakoninya. Semua itu dilakukannya tanpa rasa bersalah sedikitpun, padahal ibunya hanyalah seorang penjual nasi keliling menjajakan makanan penyambung rasa lapar. Dibilang tak peka bisa jadi, dilayangkan anak durhaka amat pantas. Namun tunjukkan tersebut tertutupi karena dia adalah anak semata wayang Bu Warjo –nama ibunya.
Selama bertahun-tahun ia berfoya-foya mengumbar uang hasil perasan keringat sang ibu. Berulang kali sang ibu menegur anaknya dengan sangat perhatian, namun toh hati Arnold terus menerus meningkat ketebalannya karena terimpus rayuan teman-teman malamnya. Karena masukan berupa lisan tak diperhatikan sepenuhnya oleh anaknya, Bu Warjo berfikir bahwa tindakan yang tepat agar anaknya sadar adalah memberi contoh kelakuan baik. Siang malam ia bekerja tanpa rontaan, berharap suatu saat sang anak mendapatkan secercah harapan untuk kembali ke jalan yang lurus.
Sebulan mendekati hari-H ujian nasional, dengan langkah terhuyung dan mata memerah karena kurang tidur, ia menapaki gang-gang kelas mencoba meraih simpati gadis pujaan sekolah. Tepat di depan ruangan TU, ia melihat pengumuman tentang syarat kelulusan ujian nasional tahun 2007. Bunyi tempelan tersebut seperti ini:
Syarat Lulus: Peserta ujian dinyatakan lulus, bila 3 mata pelajaran yang diujikan mendapat nilai minimal 4.25 dan rata-rata ketiganya adalah 5.0.
Menurut pengalaman pengajar di sekolahnya untuk ujian beberapa tahun silam, dengan sistem kelulusan terbaru, syarat yang diajukan relatif sangat sulit dicapai. Sebagai contoh dua tahun berturut-turut sekolah mereka menyandang predikat tidak lulus 100% dan terpaksa mengulang pada ujian ulangan biarpun mereka lulus dengan amat terpaksa. Tapi apakah dengan informasi ini menjadikan anak didik patah semangat dan menganggap ujian sebagai makhluk mengerikan? Tak ubahnya seekor cacing yang menggeliat kepanasan, justru keadaan ini mendorong para guru dan murid agar terpacu untuk mencari lahan subur tempat bereproduksi.
Ujian telah dilakukan….Arnold belajar seadanya tanpa keterpaksaan
Seperti telah dapat diprediksi, hasil ujian benar-benar bisa membuat seorang nenek mati kelejotan melihat hasil yang terpampang di papan pengumuman. Para jawara sekolah yang biasanya merajai jagad akademik sekolah terlihat tak menjadi pemuncak singgasana penghasil pundit-pundi angka ujian. Bahkan ada salah satu murid yang digadang-gadang menjadi the best student malah tak lolos saringan yang oleh sebagian pengamat dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Dalam laporan pengamat, sangatlah tidak adil jika melihat kelulusan anak didik hanya didasarkan pada nilai ujian akhir. Lantas bagaimana kiprah sehari-hari murid di sekolah?
Coba tebak siapa yang menjadi pengunggul! Bagai bom teroris yang meledak, dialah Arnold! Seketika suasana sekolah menjadi gempar dengan fenomena gentayangan seperti ini. Bagaimana bisa seorang anak malam, tak pernah belajar, lulus dengan nilai yang memuaskan. Yah, begitulah kondisi teraktual pendidikan di tanah air. Anak tak berpotensi menjadi gagah, sedangkan orang yang ulet belajar menjadi terseok-seok dengan sistem yang tak memihak rakyat. Pemerintah yang korup!
Jalan hidup usai SMA
Berbekal ijazah dengan nilai fantastis, ia mulai berfikir akan diapakan selembar surat kelulusan tersebut. Hingar bingar suara di luar dimana banyak temannya meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi tak menarik perhatiannya. Bisa saja ia memaksa ibunya untuk membiayainya untuk sekolah lagi, tapi dia sadar diri karena otaknya tak mampu untuk berfikir keras. Pelan-pelan dia merasa iba keadaan ibunya yang mulai ringkih setiap pagi buta harus bangun pagi mempersiapkan dagangan. Saat itu entah malaikat mana yang membisikinya sehingga ia sedikit tidak gila.
Seperti kata ungkapan lama “Lingkungan membentuk diri”, perkumpulan yang sering menjadi tempat mangkalnya menjadikan ia bertambah parah. Olokan dan pengaruh teman-teman agar ia mendaftar untuk menjadi polisi membuat naik pitam. Dalam keadaan mabuk ia mengancam ibunya agar mau tak mau harus menyediakan uang masuk kepolisian. Betapa malangnya nasib ibunda yang telah menjanda saat Arnold berusia 2 tahun ini. Ia tak pernah menyangka cerita Malin Kundang benar-benar terjadi di keluarga kecilnya.
Sawah setengah hektar yang menjadi peninggalan ayahanda Arnold terpaksa dijualnya kepada rentenir dengan harga sangat murah. Mengingat pada saat itu juga harus menyediakan uang sekitar 50 juta, maka tak sempat lagi nalar jernih menjadi pijakan dalam memutuskan. Akhirnya harta warisan yang diharapkan menjadi simpanan untuk Arnold sendiri menjadi raib.
Arnold masuk kepolisian dengan uang sogokan
Sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk memasuki instutisi kepolisian di tanah air mutlak dibutuhkan uang dan hubungan yang tepat. Mafia percaloan telah menggurita di masyarakat dan anehnya keberadaannya dimakfumi malah didambakan sekali. Di daerah Arnold saja pasaran untuk menjadi Bintara berkisar 50 – 60 juta, itupun bisa bertambah tatkala ada salah satu anggota tubuh yang “kurang mantap”. Gigi yang kurang bagus musti ditembel, kaki dengan varices menjulur harus direparasi dulu, mata minus karena polisi tak diperbolehkan memakai kaca mata –alasannya seperti kuda- dapat digantikan oleh uang kontan.
Pada prinsipnya seorang polisi harus mencitrakan dirinya sebagai individu yang tampan, gagah dan lepas dari kekurangan. Jadi sogokan dapat diartikan sebagai anggota tubuh artificial penambah kepercayaan diri dan kejumawaan mereka selepas pendidikan keprajuritan. Susuk barangkali di Jawa.
Sungguh tak masuk di akal bila semua keluarga mendambakan anaknya menjadi seorang polisi. Sebenarnya pendapat mereka dangkal saja, supaya mereka segera bekerja menghasilkan uang –walaupun uang gaji itu adalah uang sendiri- dengan cepat. Kedua adalah masalah kebanggaan mempunyai anak berpangkat daripada memiliki anak berkutat dengan angka-angka lebih bisa dilihat mencolok polisi. Begitu alasan mereka.
Arnold, anak janda penjual makanan keliling, menjalani pendidikan di barak dengan prestasi yang buruk. Perilaku dia saat masih di SMA masih kental dibawakannya dalam lingkungan displin. Berulang kali akibat keteledorannya, ia mendapat berbagai sanksi dari ringan sampai dengan berat menyebabkan ia frustasi. Cerita orang bahwa hidup di asrama kepolisian sangatlah enak, benar-benar di luar perkiraannya. Ditambah dengan IQ jongkoknya, menjadikan dia sebagai subyek pembantaian koleganya.
Karir seorang Arnold memang di bawah standar, terseok-seok juga ia mencoba meluluskan diri dari pendidikan selama 3 tahun. Walaupun berhasil di akhir cerita, tapi ia masih menyimpan dendam kesumat bagi orang-orang yang meremehkannya. Bertepatan dengan penyematan lencana kepolisian, diiringi tangis ibunda, pemberian senjata pribadi, saat berbahagia itu ia ditemukan bunuh diri di kamar. Tragis.
Sebuah potret nyata Pak POLISI, kapan engkau menjadi milik kami?
Sebut saja Arnold, ia berumur 18 tahun sebentar lagi lulus dari bangku SMA. Mei depan ia akan mengikuti ujian akhir nasional yang dikatakan gurunya relatif tak mudah untuk ukuran remaja saat ini. Bu Guru tak melebih-lebihkan keadaan, karena ditunjukkan fenomena sosial yang mengatakan banyak ABG (Anak Baru Gede) tak suka belajar. Dalam satu kilo otaknya sebesar 90% hanya berisi trend HP terbaru, MP3, DVD dan sinetron, begitulah hasil survei sebuah lembaga Peduli Bangsa. Ujaran sang pembimbing kontan menusuk jantung Arnold seketika dengan amat dalamnya.
Dalam keseharian Arnold terkenal sebagai anak urakan dengan julukan codhot bengi, kelelawar malam. Walaupun usianya masih sangat belia, namun soal kehidupan malam dialah jagonya. Tak ada satu malampun yang lepas darinya, bercengkerama dengan sebaya, bermain gitar bahkan pesta minum-minuman keras pernah dilakoninya. Semua itu dilakukannya tanpa rasa bersalah sedikitpun, padahal ibunya hanyalah seorang penjual nasi keliling menjajakan makanan penyambung rasa lapar. Dibilang tak peka bisa jadi, dilayangkan anak durhaka amat pantas. Namun tunjukkan tersebut tertutupi karena dia adalah anak semata wayang Bu Warjo –nama ibunya.
Selama bertahun-tahun ia berfoya-foya mengumbar uang hasil perasan keringat sang ibu. Berulang kali sang ibu menegur anaknya dengan sangat perhatian, namun toh hati Arnold terus menerus meningkat ketebalannya karena terimpus rayuan teman-teman malamnya. Karena masukan berupa lisan tak diperhatikan sepenuhnya oleh anaknya, Bu Warjo berfikir bahwa tindakan yang tepat agar anaknya sadar adalah memberi contoh kelakuan baik. Siang malam ia bekerja tanpa rontaan, berharap suatu saat sang anak mendapatkan secercah harapan untuk kembali ke jalan yang lurus.
Sebulan mendekati hari-H ujian nasional, dengan langkah terhuyung dan mata memerah karena kurang tidur, ia menapaki gang-gang kelas mencoba meraih simpati gadis pujaan sekolah. Tepat di depan ruangan TU, ia melihat pengumuman tentang syarat kelulusan ujian nasional tahun 2007. Bunyi tempelan tersebut seperti ini:
Syarat Lulus: Peserta ujian dinyatakan lulus, bila 3 mata pelajaran yang diujikan mendapat nilai minimal 4.25 dan rata-rata ketiganya adalah 5.0.
Menurut pengalaman pengajar di sekolahnya untuk ujian beberapa tahun silam, dengan sistem kelulusan terbaru, syarat yang diajukan relatif sangat sulit dicapai. Sebagai contoh dua tahun berturut-turut sekolah mereka menyandang predikat tidak lulus 100% dan terpaksa mengulang pada ujian ulangan biarpun mereka lulus dengan amat terpaksa. Tapi apakah dengan informasi ini menjadikan anak didik patah semangat dan menganggap ujian sebagai makhluk mengerikan? Tak ubahnya seekor cacing yang menggeliat kepanasan, justru keadaan ini mendorong para guru dan murid agar terpacu untuk mencari lahan subur tempat bereproduksi.
Ujian telah dilakukan….Arnold belajar seadanya tanpa keterpaksaan
Seperti telah dapat diprediksi, hasil ujian benar-benar bisa membuat seorang nenek mati kelejotan melihat hasil yang terpampang di papan pengumuman. Para jawara sekolah yang biasanya merajai jagad akademik sekolah terlihat tak menjadi pemuncak singgasana penghasil pundit-pundi angka ujian. Bahkan ada salah satu murid yang digadang-gadang menjadi the best student malah tak lolos saringan yang oleh sebagian pengamat dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Dalam laporan pengamat, sangatlah tidak adil jika melihat kelulusan anak didik hanya didasarkan pada nilai ujian akhir. Lantas bagaimana kiprah sehari-hari murid di sekolah?
Coba tebak siapa yang menjadi pengunggul! Bagai bom teroris yang meledak, dialah Arnold! Seketika suasana sekolah menjadi gempar dengan fenomena gentayangan seperti ini. Bagaimana bisa seorang anak malam, tak pernah belajar, lulus dengan nilai yang memuaskan. Yah, begitulah kondisi teraktual pendidikan di tanah air. Anak tak berpotensi menjadi gagah, sedangkan orang yang ulet belajar menjadi terseok-seok dengan sistem yang tak memihak rakyat. Pemerintah yang korup!
Jalan hidup usai SMA
Berbekal ijazah dengan nilai fantastis, ia mulai berfikir akan diapakan selembar surat kelulusan tersebut. Hingar bingar suara di luar dimana banyak temannya meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi tak menarik perhatiannya. Bisa saja ia memaksa ibunya untuk membiayainya untuk sekolah lagi, tapi dia sadar diri karena otaknya tak mampu untuk berfikir keras. Pelan-pelan dia merasa iba keadaan ibunya yang mulai ringkih setiap pagi buta harus bangun pagi mempersiapkan dagangan. Saat itu entah malaikat mana yang membisikinya sehingga ia sedikit tidak gila.
Seperti kata ungkapan lama “Lingkungan membentuk diri”, perkumpulan yang sering menjadi tempat mangkalnya menjadikan ia bertambah parah. Olokan dan pengaruh teman-teman agar ia mendaftar untuk menjadi polisi membuat naik pitam. Dalam keadaan mabuk ia mengancam ibunya agar mau tak mau harus menyediakan uang masuk kepolisian. Betapa malangnya nasib ibunda yang telah menjanda saat Arnold berusia 2 tahun ini. Ia tak pernah menyangka cerita Malin Kundang benar-benar terjadi di keluarga kecilnya.
Sawah setengah hektar yang menjadi peninggalan ayahanda Arnold terpaksa dijualnya kepada rentenir dengan harga sangat murah. Mengingat pada saat itu juga harus menyediakan uang sekitar 50 juta, maka tak sempat lagi nalar jernih menjadi pijakan dalam memutuskan. Akhirnya harta warisan yang diharapkan menjadi simpanan untuk Arnold sendiri menjadi raib.
Arnold masuk kepolisian dengan uang sogokan
Sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk memasuki instutisi kepolisian di tanah air mutlak dibutuhkan uang dan hubungan yang tepat. Mafia percaloan telah menggurita di masyarakat dan anehnya keberadaannya dimakfumi malah didambakan sekali. Di daerah Arnold saja pasaran untuk menjadi Bintara berkisar 50 – 60 juta, itupun bisa bertambah tatkala ada salah satu anggota tubuh yang “kurang mantap”. Gigi yang kurang bagus musti ditembel, kaki dengan varices menjulur harus direparasi dulu, mata minus karena polisi tak diperbolehkan memakai kaca mata –alasannya seperti kuda- dapat digantikan oleh uang kontan.
Pada prinsipnya seorang polisi harus mencitrakan dirinya sebagai individu yang tampan, gagah dan lepas dari kekurangan. Jadi sogokan dapat diartikan sebagai anggota tubuh artificial penambah kepercayaan diri dan kejumawaan mereka selepas pendidikan keprajuritan. Susuk barangkali di Jawa.
Sungguh tak masuk di akal bila semua keluarga mendambakan anaknya menjadi seorang polisi. Sebenarnya pendapat mereka dangkal saja, supaya mereka segera bekerja menghasilkan uang –walaupun uang gaji itu adalah uang sendiri- dengan cepat. Kedua adalah masalah kebanggaan mempunyai anak berpangkat daripada memiliki anak berkutat dengan angka-angka lebih bisa dilihat mencolok polisi. Begitu alasan mereka.
Arnold, anak janda penjual makanan keliling, menjalani pendidikan di barak dengan prestasi yang buruk. Perilaku dia saat masih di SMA masih kental dibawakannya dalam lingkungan displin. Berulang kali akibat keteledorannya, ia mendapat berbagai sanksi dari ringan sampai dengan berat menyebabkan ia frustasi. Cerita orang bahwa hidup di asrama kepolisian sangatlah enak, benar-benar di luar perkiraannya. Ditambah dengan IQ jongkoknya, menjadikan dia sebagai subyek pembantaian koleganya.
Karir seorang Arnold memang di bawah standar, terseok-seok juga ia mencoba meluluskan diri dari pendidikan selama 3 tahun. Walaupun berhasil di akhir cerita, tapi ia masih menyimpan dendam kesumat bagi orang-orang yang meremehkannya. Bertepatan dengan penyematan lencana kepolisian, diiringi tangis ibunda, pemberian senjata pribadi, saat berbahagia itu ia ditemukan bunuh diri di kamar. Tragis.
Sebuah potret nyata Pak POLISI, kapan engkau menjadi milik kami?
obat mahal, banyak orang sakit yang ga sembuh2 akhirnya memilih menyembuhkan dgn cara bunuh diri.
BalasHapusAda obat lain ga ya, biar kita ga apatis sebagai bangsa?
BalasHapuskalo posting edit space kosong. biar ga buang byte.
BalasHapusAku pikir web ini bebas sebebas-bebasnya...Masih belum nyanthel, aku praktikkan dulu.Thanks
BalasHapuspolisi sahabat anak-anak... du du du *lagu jaman dulu*
BalasHapuslagu siapa tuh?? kokbelum pernah dengar ya...
BalasHapus