Kembali, Sastra Vs. Teknik
Belum mampu menemukan benang merah keserasian antara sastra dan teknik sipil, saya merenung. Merenung untuk waktu yang lama. Apakah ini obsesi yang terlalu berlebihan yang saya kabarkan. Mungkin saja, tak ada hubungan antara dua bidang ilmu itu. Tapi, saya dulu pernah mencoba, jika mata kuliah analisis analisis struktur di dunia sipil, sangat membantu bahkan memperkuat tata bahasa di dunia sastra. Atau, teknik sipil dengan banyak hitungan, dan dunia realisasinya yang kejam, layak untuk ditulis menjadi novel atau jurnal yang memukau. Entahlah.
Waktu sangat tersita oleh pekerjaan berbau sipil. Tak ada lagi kesempatan untuk mencerna kembali karya pemikiran pemikiran sastra indah. Saya tidak menyesal, karena teman saya menyarankan, hendaklah saya beristirahat membuat syair atau kisah kisah kacau. Rintislah usaha yang mengembalikan kejayaan ekonomi saya, atau menghindarkan saya dari perkelanaan tanpa batas berbungkus kemiskinan. Itu memang tepat, saran yang sangat baik. Tapi, saya menganggap dunia sastra yang pernah saya tekuni, amatlah rugi jika dihindari secara mendadak. Tak baik, sementara saya haus dengan hiburan. Sastra sekarang melalui tulisan saya. Untuk membaca buku, novel, atau bertebal tebal halaman lain, sebaiknya ditunda terlebih dahulu. Saatnya fokus memperdalam dunia ketekniksipilan.
Pasti ada hubungan. Harmonis pastinya. Tapi masih belum bisa saya membelah otak ini secara bergantian. Tombol on off, ganti side A ke B, belum sepenuhnya sempurna. Karena itu butuh perjuangan yang tak main main. Karena mereka berbeda, tapi melengkapi.
Tak perlu bersedih meninggalkan salah satu bidang itu. Tak akan pernah terjadi. Karena ini adalah dunia saya. Sastra dan Teknik Sipil. Seberapa niat untuk menahannya, tak mampu menjauhkan saya dengan dunia ini. Kutukan, kutukan, atau berkah, berkah?
Perlu ditelusuri lebih lanjut.
Post a Comment