Tamak itu Tampak Jamak
Saya berkaca pada ia, mungkin saya dahulu seperti itu. Berangas, meski tanpa kumis, sepertinya tak beda jauh dengan sifat saya. Memalukan jika itu terjadi. Setelah di posisi ini, saya bisa melihat karakter lain. Yang mungkin sama dengan saya. Dahulu. Yang tak diterima oleh khalayak, dengan emosi yang meledak ledak, yang kadang tak bernalar, sehingga membuat bumerang, dan hampir saja membunuh diri. Saya seperti dirinya? Semoga takarannya tidak sama persis. Hanya menyerupai. Dan itu tak bagus.
Meninggalkan dirinya yang saya beri tanda tanya besar, sebetulnya saya muak. Karena sikap yang seolah ingin ia tunjukkan jika menang sendiri. Selalu mematahkan setiap argumen orang di hadapannya. Tak memberi ampun bagi jawaban yang tak sesuai dengan keinginannya. Itu arogan. Terus terang, ada bibit bibit arogan dalam diri saya, tapi tak seperti itu. Selalu mendengar dahulu, saya menjalani, untuk beberapa lama, tidaklah singkat, saya mengambil keputusan apakah layak terus dijalani atau berhenti. Tidak mungkin saya mempecundangi orang lain, tak ada niat sedikit pun dalam diri saya. Dia, ah sudahlah, sepertinya saya tak akan peduli. Biarlah ia dengan segala yang dilakukan. Karena watak sukar diubah. Ia dengan kegundahannya. Dengan seikat pertanyaan, yang diberikan kepada saya.
Membuat tim solid itu tak mudah.
Entah jalan apa yang akan saya lakukan.
Tidak ada ide untuk saat ini. Percayalah.
Post a Comment