London Marlondon Bagian 2
Seorang ibu muda kini duduk di samping gadis kecil. Dia merasa was-was dengan kejadian beruntun yang menimpa London. Sebuah tragedi kemanusiaan yang melewati batas nalar. Bagaimana bisa gadis-gadis kecil tak berdosa menjadi santapan pedofilia. Dan manusia laknat itu tengah mengancam kehidupan warga, mengintai mereka, bersiap menerkam siapa pun yang lengah. Alya sedang bergolek di ranjang tidurnya, setelah mengerjakan tugas sekolahnya. Wajah anak itu saat diajari ibunyi memancarkan rasa takut yang tak mungkin ditutup-tutupinya. Sudah dua orang sahabatnya di sekolahnya yang dibantai oleh seorang misterius. Ibu gurunya memberikan pesan kepada murid-muridnya untuk waspada, itupun diceritakan tanpa penjelasan lebih lanjut. Namun kabar mengerikan itu tetap saja berhasil menerobos telinga anak-anak, tak terkecuali Alya.
“Ma, salah apa teman-teman Alya? Orang-orang bilang mereka diculik orang tak dikenal.” Alya bertanya kepada ibunya yang sebenarnya sudah berniat untuk membatasi penjelasan tentang pembunuhan berantai di London.
Bibir si ibu hampir saja mengucapkan beberapa kata, namun dia menghentikan sejenak dan melepaskan lenguhannya. Dia berpikir dari mana harus menjelaskan anaknya yang baru berusia tujuh tahun. Alya masih menunggu dengan tatapan penuh harap.
“Alya, dua teman sekolahmu sedang mengalami musibah. Mereka kini sudah meninggalkan kita untuk menuju surga.”
“Tapi, Ma. Orang-orang bilang mereka dibunuh seorang lelaki bengis. Benar begitu, Ma?”
“Sudahlah, Nak. Tidurlah sekarang, mulai besok Mama akan mengantar dan menjemputmu sekolah.”
Tiba-tiba suara ketukan pintu rumah menyadarkan kembali pikiran si ibu muda. Sejenak dia berpikir apakah si penculik datang ke rumahnya, menuntut korban selanjutnya, dan kali ini anak semata wayangnya yang menjadi target.
“Sayang, bukalah pintu.” Suara yang telah akrab ditelinganya semakin memantapkan hati si ibu muda bahwa sosok itu bukanlah pembunuh berantai.
Si ibu muda itu beranjak dari ranjang tidur, menyelimuti sang anak, sedikit memberikan kecupan selamat tidur. Keluar dari kamar, dia pun menyusuri ruang tamu hingga sampailah dia di depan pintu. Diputarnya pelan pengait pintu dan suaminya tepat di hadapannya.
“Selamat malam, Sayang. Maaf Papa pulang sedikit larut. Biasa urusan kantor mendadak yang harus diselesaikan.” Sang suami, Richard, menyerahkan tasnya pada istrinya.
Richard dan Michelle sudah sepuluh tahun lamanya menikah. Alya kecil baru muncul di perut Michelle tiga tahun setelah pernikahan. Waktu yang cukup lama untuk menunggu sang buah hati. Berbagai pengobatan telah mereka lakukan saat itu, tapi berulangkali pula mereka menemui hambatan. Hingga bertemulah dia dengan seorang dokter eksentrik yang menurut mereka sangat aneh dengan segala masukannya. Awal pertemuan mereka tidak sengaja dan tanpa basa-basi. Tiba-tiba saja sang dokter, yang kala itu tidak berpakaian resmi layaknya seorang dokter, mendekati pasangan itu yang sedang mengamati karya seni di museum. Dengan senyum dinginnya, dokter yang memperkenalkan diri sebagai Dr. Andrew, menyodorkan kartu namanya. Kontan saja Richard bertanya-tanya apa yang hendak dilakukan oleh orang asing di hadapannya. Michelle menyikutkan sikunya ke lengan Richard, memberikan tanda bahwa dia ingin pula bersahabat dengan lelaki di depannya.
“Mohon maaf, kartu ini untuk apa? Sebelumnya apakah kita pernah bertemu?” tanya Richard.
“Nama lengkap saya tercantum di kartu ini. Panggil saya Andrew. Saya warga sekitar museum di sini. Karya seni yang sungguh indah dan ambisius. Coba Anda lihat lekukan-lekukan di patung sana, alangkah cermat pematungnya. Saya sering membayangkan bagaimana pematung itu bekerja; dengan model di depannya, batu keras dalam sentuhannya, dan alat pahat dan pemukulnya. Seolah dia sedang mentransfer nyawa sang model itu ke patung pahatannya. Sungguh eksotis dan merangsang.” Lelaki itu terus saja berbicara seperti telah akrab saja dengan pasangan yang baru dikenalnya.
“Anda sangat fasih menerangkan detail-detail karya seni. Sepertinya anda seorang artis?” Tanya Michelle.
“Sebenarnya saya seorang ahli kandungan dan pengagum keindahan karya seni. Hanya Londonlah tempat paling ideal bagi dokter idealis dengan cita rasa tinggi.” Dokter itu mengucapkan dengan nada angkuh diselingi gaya tertawanya yang nyinyir. Mungkin saja dia melakukan itu untuk menghangatkan suasana pertemuan awal mereka.
“Maaf, Andrew. Kami harus segera meninggalkan museum ini. Masih banyak urusan lain yang harus kami selesaikan.” Jawab Richard agak senewen.
“Tak masalah. Jika kalian membutuhkan bantuan medis, saya memberi jaminan seratus persen bahwa sayalah orang yang Anda butuhkan, Teman. Oya, kalau boleh saya tahu, nama kalian siapa?”
“Michelle ... dan ini suami saya.” Sambil melirik kartu nama yang dipegang suaminya, Michelle menawarkan tangannya kepada Dr. Andrew.
“Senang berkenalan dengan Anda, Tuan Puteri.” Dr. Andrew menjabat tangan wanita di hadapannya dan meremasnya diiringi senyumnya yang makin menyebalkan Richard.
“Sudahlah, Michelle. Kita harus segera berangkat.” Richard mengakhiri jabat tangan tak pantas itu. Dia merasa lelaki di hadapannya semakin tidak menghargai sopan santun.
“Selamat bersenang-senang, Teman baru.”
Tanpa sadar, Richard menerima kartu Dr. Andrew dan menaruhnya di saku kemejanya.
Richard kemudian melepaskan jasnya dan menyerahkan kepada Michelle. Sembari masuk dan duduk di sofa ruang tamu, dia menanyakan bagaimana kabar Alya. Sudah beberapa hari ini Richard tak pernah berjumpa dengan gadis kecilnya. Pulang malam dan berangkat kerja subuh hari adalah harga mati baginya. Bekerja sebagai dosen teknik bangunan selalu menguras fisik dan mentalnya. Berbagai macam proyek harus dia tangani dan mutlak membutuhkan campur tangannya karena obsesinya terhadap kecermatan. Kadang dia merasa tersiksa dengan keadaan ini, tapi semua ini dilakukan hanya karena dialah pemegang waris beberapa kontraktor milik mendiang ayahnya. Dia merasa sudah sepantasnya melakukan tugas berat ini agar ayahnya damai di surga. Sosok ayah bagi Richard adalah panutan tiada tara dan tak terbantahkan keberadaannya. Sedari kecil dia tidak pernah mengenal siapa ibunya, bahkan melihat wajahnya dari foto pun dia tidak pernah diizinkan ayahnya. Mendiang ayahnya memang menyimpan rahasia besar soal ibunya. Hingga dia pun tak pernah dan telah hilang keinginannya untuk sekadar menyebutkan kata “ibu”.
“Alya sudah tidur, Pa. Dia di kamar sekarang. Papa mau melihatnya? Ayo, Mama antar.”
“Aku rasa tidak perlu. Hari ini aku sangat capai. Besok aku harus berangkat pagi-pagi sekali, akan ada pertemuan dengan penanam modal dari Austria. Tender ini harus aku menangkan.”
“Luangkan waktu sedikit buat anakmu, Pa. Dia sering menanyakanmu. Aku kadang kehabisan akal untuk menjelaskan kepadanya. Anakmu sekarang telah tumbuh menjadi besar. Pa, dia butuh perhatian kita. Papa dengar tidak kejadian yang menimpa London?”
Richard terperanjat, raut mukanya mendadak memucat, jari-jarinya bergetar. Tak tahu mengapa hal ini bisa terjadi. Mungkin saja dia merasa ketakutan apabila suatu saat kehilangan puteri satu-satunya. Atau bisa jadi dia seakan ditodong dengan sebuah tanggung jawab yang selama ini diabaikannya. Tanggung jawab melindungi keluarga.
“Kejadian apa, Ma?”
Michelle meletakkan jas hitam ke lengan sofa, terdengar sebuah bunyi mirip koin yang saling bertubrukan. Richard mengambil sebuah remote, lalu menyalakan televisi. Salah satu stasiun televisi melaporkan kondisi cuaca London paling parah dalam sepuluh tahun terakhir. Suhu udara yang sangat rendah, badai topan di sebelah utara, berikut laporan ditutupnya untuk sementara beberapa sekolah di daerah selatan. Beruntung sekali rumah keluarga Richard berada di tengah kota yang saat ini tidak terlalu parah kondisinya. Namun tetap saja aroma ketakutan menyebar ke seluruh penjuru negeri. Pembawa acara, masih dengan tekanan suara yang mencerminkan ketegangan, melaporkan dari salah satu toko penuh orang yang sedang berdesak-desakan. Dia masih mencoba melaporkan secara langsung kejadian sesungguhnya. Seorang kameramen berusaha menyibak kerumunan itu, mengambil sudut pengambilan gambar paling tepat, seraya memberikan sinyal kepada si pembawa acara.
“Pemirsa, kami laporkan kepada Anda bahwa saat ini ...,” pembawa acara itu agak tercekat saat melaporkan.
Terdengar sirine mobil kepolisian semakin mendekati tempat kejadian. Keadaan di salah satu rumah warga saat itu benar-benar kacau, hingga membuat si pembawa acara berkali-kali memperbaiki posisi tubuhnya. Gesekan tubuh antar orang membuat pembawa acara itu tak mampu menjaga ritme suaranya.
“Pemirsa, kami ulangi kembali saat ini saya berada di depan rumah salah seorang warga. Banyak sekali orang di sini. Beberapa saat yang lalu kami mendapatkan laporan bahwa seorang warga kulit hitam, berumur kira-kira empat puluh tahun, ditemukan tewas di rumahnya.”
Si pembawa acara terus merangsek dan mencoba menembus kerumunan orang diikuti kameramen. Saat mereka sampai di dalam ruang tamu, sekarang nyata bahwa laporan itu benar adanya. Seorang wanita kulit hitam tampak terkapar di lantai ruang tamu dengan posisi telungkup. Darah berceceran di sekitar tubuhnya.
“Ini kejadian kesekian kali di London. Belum hilang ingatan kita tentang terbunuhnya lima belas gadis kecil oleh pembunuh pedofil, sekarang bertambah lagi daftar pembunuhan. Kali ini dilakukan terhadap seorang wanita kulit hitam. Dan diperkirakan tiga jam lalu dia dibunuh.”
Kerumunan orang itu akhirnya bubar setelah mobil polisi sampai di tempat terbunuhnya seorang warga kulit hitam. Kedatangan polisi sebenarnya agak terlambat. Sudah tiga jam berlalu sejak laporan kematian masuk ke patroli polisi. Tapi bisa dimaklumi karena hujan badai salju sedang terjadi hingga memperlambat kedatangan mereka di tempat kejadian.
Richard terkesiap dan segera mematikan televisi. Matanya nanar seakan tak percaya dengan semua kejadian ini.
“Sebenarnya itulah yang ingin aku katakan kepadamu, Pa. Tapi pembawa acara itu telah menjelaskan semuanya. London saat ini sudah tidak aman lagi. Berulangkali kejadian mengerikan terjadi. Sebaiknya kita perlu mempertimbangkan rencana kita beberapa tahun lalu untuk pindah rumah.”
“Ya, nanti kita bicarakan lagi. Untuk sementara kita lihat kondisi paling memungkinkan untuk kita pindah rumah. Aku mandi dulu, Ma.”
“Ma, salah apa teman-teman Alya? Orang-orang bilang mereka diculik orang tak dikenal.” Alya bertanya kepada ibunya yang sebenarnya sudah berniat untuk membatasi penjelasan tentang pembunuhan berantai di London.
Bibir si ibu hampir saja mengucapkan beberapa kata, namun dia menghentikan sejenak dan melepaskan lenguhannya. Dia berpikir dari mana harus menjelaskan anaknya yang baru berusia tujuh tahun. Alya masih menunggu dengan tatapan penuh harap.
“Alya, dua teman sekolahmu sedang mengalami musibah. Mereka kini sudah meninggalkan kita untuk menuju surga.”
“Tapi, Ma. Orang-orang bilang mereka dibunuh seorang lelaki bengis. Benar begitu, Ma?”
“Sudahlah, Nak. Tidurlah sekarang, mulai besok Mama akan mengantar dan menjemputmu sekolah.”
Tiba-tiba suara ketukan pintu rumah menyadarkan kembali pikiran si ibu muda. Sejenak dia berpikir apakah si penculik datang ke rumahnya, menuntut korban selanjutnya, dan kali ini anak semata wayangnya yang menjadi target.
“Sayang, bukalah pintu.” Suara yang telah akrab ditelinganya semakin memantapkan hati si ibu muda bahwa sosok itu bukanlah pembunuh berantai.
Si ibu muda itu beranjak dari ranjang tidur, menyelimuti sang anak, sedikit memberikan kecupan selamat tidur. Keluar dari kamar, dia pun menyusuri ruang tamu hingga sampailah dia di depan pintu. Diputarnya pelan pengait pintu dan suaminya tepat di hadapannya.
“Selamat malam, Sayang. Maaf Papa pulang sedikit larut. Biasa urusan kantor mendadak yang harus diselesaikan.” Sang suami, Richard, menyerahkan tasnya pada istrinya.
Richard dan Michelle sudah sepuluh tahun lamanya menikah. Alya kecil baru muncul di perut Michelle tiga tahun setelah pernikahan. Waktu yang cukup lama untuk menunggu sang buah hati. Berbagai pengobatan telah mereka lakukan saat itu, tapi berulangkali pula mereka menemui hambatan. Hingga bertemulah dia dengan seorang dokter eksentrik yang menurut mereka sangat aneh dengan segala masukannya. Awal pertemuan mereka tidak sengaja dan tanpa basa-basi. Tiba-tiba saja sang dokter, yang kala itu tidak berpakaian resmi layaknya seorang dokter, mendekati pasangan itu yang sedang mengamati karya seni di museum. Dengan senyum dinginnya, dokter yang memperkenalkan diri sebagai Dr. Andrew, menyodorkan kartu namanya. Kontan saja Richard bertanya-tanya apa yang hendak dilakukan oleh orang asing di hadapannya. Michelle menyikutkan sikunya ke lengan Richard, memberikan tanda bahwa dia ingin pula bersahabat dengan lelaki di depannya.
“Mohon maaf, kartu ini untuk apa? Sebelumnya apakah kita pernah bertemu?” tanya Richard.
“Nama lengkap saya tercantum di kartu ini. Panggil saya Andrew. Saya warga sekitar museum di sini. Karya seni yang sungguh indah dan ambisius. Coba Anda lihat lekukan-lekukan di patung sana, alangkah cermat pematungnya. Saya sering membayangkan bagaimana pematung itu bekerja; dengan model di depannya, batu keras dalam sentuhannya, dan alat pahat dan pemukulnya. Seolah dia sedang mentransfer nyawa sang model itu ke patung pahatannya. Sungguh eksotis dan merangsang.” Lelaki itu terus saja berbicara seperti telah akrab saja dengan pasangan yang baru dikenalnya.
“Anda sangat fasih menerangkan detail-detail karya seni. Sepertinya anda seorang artis?” Tanya Michelle.
“Sebenarnya saya seorang ahli kandungan dan pengagum keindahan karya seni. Hanya Londonlah tempat paling ideal bagi dokter idealis dengan cita rasa tinggi.” Dokter itu mengucapkan dengan nada angkuh diselingi gaya tertawanya yang nyinyir. Mungkin saja dia melakukan itu untuk menghangatkan suasana pertemuan awal mereka.
“Maaf, Andrew. Kami harus segera meninggalkan museum ini. Masih banyak urusan lain yang harus kami selesaikan.” Jawab Richard agak senewen.
“Tak masalah. Jika kalian membutuhkan bantuan medis, saya memberi jaminan seratus persen bahwa sayalah orang yang Anda butuhkan, Teman. Oya, kalau boleh saya tahu, nama kalian siapa?”
“Michelle ... dan ini suami saya.” Sambil melirik kartu nama yang dipegang suaminya, Michelle menawarkan tangannya kepada Dr. Andrew.
“Senang berkenalan dengan Anda, Tuan Puteri.” Dr. Andrew menjabat tangan wanita di hadapannya dan meremasnya diiringi senyumnya yang makin menyebalkan Richard.
“Sudahlah, Michelle. Kita harus segera berangkat.” Richard mengakhiri jabat tangan tak pantas itu. Dia merasa lelaki di hadapannya semakin tidak menghargai sopan santun.
“Selamat bersenang-senang, Teman baru.”
Tanpa sadar, Richard menerima kartu Dr. Andrew dan menaruhnya di saku kemejanya.
Richard kemudian melepaskan jasnya dan menyerahkan kepada Michelle. Sembari masuk dan duduk di sofa ruang tamu, dia menanyakan bagaimana kabar Alya. Sudah beberapa hari ini Richard tak pernah berjumpa dengan gadis kecilnya. Pulang malam dan berangkat kerja subuh hari adalah harga mati baginya. Bekerja sebagai dosen teknik bangunan selalu menguras fisik dan mentalnya. Berbagai macam proyek harus dia tangani dan mutlak membutuhkan campur tangannya karena obsesinya terhadap kecermatan. Kadang dia merasa tersiksa dengan keadaan ini, tapi semua ini dilakukan hanya karena dialah pemegang waris beberapa kontraktor milik mendiang ayahnya. Dia merasa sudah sepantasnya melakukan tugas berat ini agar ayahnya damai di surga. Sosok ayah bagi Richard adalah panutan tiada tara dan tak terbantahkan keberadaannya. Sedari kecil dia tidak pernah mengenal siapa ibunya, bahkan melihat wajahnya dari foto pun dia tidak pernah diizinkan ayahnya. Mendiang ayahnya memang menyimpan rahasia besar soal ibunya. Hingga dia pun tak pernah dan telah hilang keinginannya untuk sekadar menyebutkan kata “ibu”.
“Alya sudah tidur, Pa. Dia di kamar sekarang. Papa mau melihatnya? Ayo, Mama antar.”
“Aku rasa tidak perlu. Hari ini aku sangat capai. Besok aku harus berangkat pagi-pagi sekali, akan ada pertemuan dengan penanam modal dari Austria. Tender ini harus aku menangkan.”
“Luangkan waktu sedikit buat anakmu, Pa. Dia sering menanyakanmu. Aku kadang kehabisan akal untuk menjelaskan kepadanya. Anakmu sekarang telah tumbuh menjadi besar. Pa, dia butuh perhatian kita. Papa dengar tidak kejadian yang menimpa London?”
Richard terperanjat, raut mukanya mendadak memucat, jari-jarinya bergetar. Tak tahu mengapa hal ini bisa terjadi. Mungkin saja dia merasa ketakutan apabila suatu saat kehilangan puteri satu-satunya. Atau bisa jadi dia seakan ditodong dengan sebuah tanggung jawab yang selama ini diabaikannya. Tanggung jawab melindungi keluarga.
“Kejadian apa, Ma?”
Michelle meletakkan jas hitam ke lengan sofa, terdengar sebuah bunyi mirip koin yang saling bertubrukan. Richard mengambil sebuah remote, lalu menyalakan televisi. Salah satu stasiun televisi melaporkan kondisi cuaca London paling parah dalam sepuluh tahun terakhir. Suhu udara yang sangat rendah, badai topan di sebelah utara, berikut laporan ditutupnya untuk sementara beberapa sekolah di daerah selatan. Beruntung sekali rumah keluarga Richard berada di tengah kota yang saat ini tidak terlalu parah kondisinya. Namun tetap saja aroma ketakutan menyebar ke seluruh penjuru negeri. Pembawa acara, masih dengan tekanan suara yang mencerminkan ketegangan, melaporkan dari salah satu toko penuh orang yang sedang berdesak-desakan. Dia masih mencoba melaporkan secara langsung kejadian sesungguhnya. Seorang kameramen berusaha menyibak kerumunan itu, mengambil sudut pengambilan gambar paling tepat, seraya memberikan sinyal kepada si pembawa acara.
“Pemirsa, kami laporkan kepada Anda bahwa saat ini ...,” pembawa acara itu agak tercekat saat melaporkan.
Terdengar sirine mobil kepolisian semakin mendekati tempat kejadian. Keadaan di salah satu rumah warga saat itu benar-benar kacau, hingga membuat si pembawa acara berkali-kali memperbaiki posisi tubuhnya. Gesekan tubuh antar orang membuat pembawa acara itu tak mampu menjaga ritme suaranya.
“Pemirsa, kami ulangi kembali saat ini saya berada di depan rumah salah seorang warga. Banyak sekali orang di sini. Beberapa saat yang lalu kami mendapatkan laporan bahwa seorang warga kulit hitam, berumur kira-kira empat puluh tahun, ditemukan tewas di rumahnya.”
Si pembawa acara terus merangsek dan mencoba menembus kerumunan orang diikuti kameramen. Saat mereka sampai di dalam ruang tamu, sekarang nyata bahwa laporan itu benar adanya. Seorang wanita kulit hitam tampak terkapar di lantai ruang tamu dengan posisi telungkup. Darah berceceran di sekitar tubuhnya.
“Ini kejadian kesekian kali di London. Belum hilang ingatan kita tentang terbunuhnya lima belas gadis kecil oleh pembunuh pedofil, sekarang bertambah lagi daftar pembunuhan. Kali ini dilakukan terhadap seorang wanita kulit hitam. Dan diperkirakan tiga jam lalu dia dibunuh.”
Kerumunan orang itu akhirnya bubar setelah mobil polisi sampai di tempat terbunuhnya seorang warga kulit hitam. Kedatangan polisi sebenarnya agak terlambat. Sudah tiga jam berlalu sejak laporan kematian masuk ke patroli polisi. Tapi bisa dimaklumi karena hujan badai salju sedang terjadi hingga memperlambat kedatangan mereka di tempat kejadian.
Richard terkesiap dan segera mematikan televisi. Matanya nanar seakan tak percaya dengan semua kejadian ini.
“Sebenarnya itulah yang ingin aku katakan kepadamu, Pa. Tapi pembawa acara itu telah menjelaskan semuanya. London saat ini sudah tidak aman lagi. Berulangkali kejadian mengerikan terjadi. Sebaiknya kita perlu mempertimbangkan rencana kita beberapa tahun lalu untuk pindah rumah.”
“Ya, nanti kita bicarakan lagi. Untuk sementara kita lihat kondisi paling memungkinkan untuk kita pindah rumah. Aku mandi dulu, Ma.”
Post a Comment