Menulis Surat Buat Ibu Peri
Suratmu kupegang, kuhirup wangi melatinya, kusetubuhi kelembutan kertasnya. Mengalir sejuta rasa dari tulis tanganmu yang berantai. Lekukan indah dengan titik-titik yang menghias, aku tak mampu menahan untuk segera meresapi.
Salam pertemuan setelah terpisah ruang, dia bertanya kabar diriku. Serasa mulutnya berada dekat di hatiku, meniupkan aroma percintaan yang dalam. Kulanjutkan, kubuka rasaku untuk menerima asupan kasih yang terpenggal. Sehat dalam naungan Tuhan, begitu kabar dirinya. Kulontarkan syukur berharap keberuntungan ini selalu bernaung. Sederet perasaan kangen, ingin bersanding, buntu saat berkarya, mengalir deras. Aku mendengarnya, aku memahaminya. Andai aku berada di dekatnya, pasti jalan tengah akan kami rundingkan. Sulutan masalah hampir pasti redup, sejalan kesatuan hati kami. Alangkah mimpi selalu berasa manis.
Bulan kedua tahun depan, pertemuan sesungguhnya. Merpatiku akan kembali ke sangkar, beradu tubuh denganku. Aku merindukan dan tak kuasa menahan gejolak ini. Goresan tanda hati di akhir surat membuatku mantap jika dia sama denganku, ingin segera bertemu. Merasai hari bersama dalam lingkupan fajar yang dingin, ditutup oleh selimut kesabaran yang menyatu.
Kulipat surat indah ini. Esok kubuka kembali, kuingin tahu apakah rasa yang ditimbulkan serupa. Ataukah hatiku kembali memanas oleh karya, menguapkan gairah semalam.
Menanti dalam kelam, hati puas oleh kesendirian. Entah siapa yang mampu mengguyuri kebun gersang ini. Menanam satu pohon kerinduan yang teramat teduh, tempat menutupi terik mentari untuk tidur. Membelai rambutku yang beruban, otakku yang melambat, hatiku yang berkarat oleh waktu, dan kakiku yang lunglai tak berotot. Peri datanglah ke mari, aku ingin berbagi cerita. Sebelum kekasihku datang, cukup kau peri.
Salam pertemuan setelah terpisah ruang, dia bertanya kabar diriku. Serasa mulutnya berada dekat di hatiku, meniupkan aroma percintaan yang dalam. Kulanjutkan, kubuka rasaku untuk menerima asupan kasih yang terpenggal. Sehat dalam naungan Tuhan, begitu kabar dirinya. Kulontarkan syukur berharap keberuntungan ini selalu bernaung. Sederet perasaan kangen, ingin bersanding, buntu saat berkarya, mengalir deras. Aku mendengarnya, aku memahaminya. Andai aku berada di dekatnya, pasti jalan tengah akan kami rundingkan. Sulutan masalah hampir pasti redup, sejalan kesatuan hati kami. Alangkah mimpi selalu berasa manis.
Bulan kedua tahun depan, pertemuan sesungguhnya. Merpatiku akan kembali ke sangkar, beradu tubuh denganku. Aku merindukan dan tak kuasa menahan gejolak ini. Goresan tanda hati di akhir surat membuatku mantap jika dia sama denganku, ingin segera bertemu. Merasai hari bersama dalam lingkupan fajar yang dingin, ditutup oleh selimut kesabaran yang menyatu.
Kulipat surat indah ini. Esok kubuka kembali, kuingin tahu apakah rasa yang ditimbulkan serupa. Ataukah hatiku kembali memanas oleh karya, menguapkan gairah semalam.
Menanti dalam kelam, hati puas oleh kesendirian. Entah siapa yang mampu mengguyuri kebun gersang ini. Menanam satu pohon kerinduan yang teramat teduh, tempat menutupi terik mentari untuk tidur. Membelai rambutku yang beruban, otakku yang melambat, hatiku yang berkarat oleh waktu, dan kakiku yang lunglai tak berotot. Peri datanglah ke mari, aku ingin berbagi cerita. Sebelum kekasihku datang, cukup kau peri.
ga ngerti
BalasHapus