Menanti Kebangkitan Perfilman Nasional
Film adalah salah satu elemen penting berdirinya sebuah bangsa. Jika para politisi saling mencakar dan berdebat bagaimana Negeri Rindunesia menjemput masa depannya, sineas juga sibuk membahas tema penting: Karakter Film Rindunesia!
Tak bisa disangkal, film Rindunesia sebetulnya belum mempunyai ciri khas yang bisa ditawarkan. Alih-alih menembus festival internasional, menjadi tuan rumah di negeri sendiri saja sepertinya kesulitan. Memang ada beberapa film yang berhasil di pasar luar negeri, besutan sutradara idealis yang tak diakui keberadaannya. Tapi jika digelontorkan di dalam negeri, sudah pasti hasilnya akan mengecewakan.
Banyak persoalan yang melatarbelakangi keterpurukan perfilman nasional. Sineas sebagai pelaku utama, tak patut dipersalahkan sepenuhnya akan kegagalan ini. Kita coba urai satu persatu permasalahan ini sehingga kita bisa memandang jernih dan menghasilkan solusi yang baik.
1. Kurangnya daya imajinasi
Modal kuat untuk membuat film bermutu adalah imajinasi. Mustahil jika film-film sekelas Hollywood, katakanlah, bertahan hingga sekarang tanpa adanya imajinasi. Tapi apa yang terjadi dengan perfilman Nusantara? Para pelaku perfilman di negeri ini kurang bisa membedakan antara imajinasi dan melantur. Seni yang dipertontonkan sekarang cenderung berbau 'melantur'. Hasilnya bisa ditebak, standar dan tidak membumi.
Salah satu hal yang bisa mendorong para penulis skenario kuat secara imajinasi adalah adanya kerjasama dengan penerbit. Penerbit yang menjadi institusi penghasil naskah-naskah berkualitas harus digandeng sehingga sineas tidak akan kehilangan inspirasi. Idealnya, belajar dari Venezuela yang memiliki sekolah kecantikan penghasil Miss Universe, Rindunesia selayaknya membuat sekolah imajinasi.
2. Eksplorasi tema yang seakan di permukaan saja
Kita tidak akan bisa mengungguli film-film Mandarin yang sangat kaya tema. Harus kita akui karena budaya mereka sudah tua dan pernah menguasai dunia. Tapi ini bukanlah harga mati. Banyak tema Nusantara yang bisa diangkat. Keanekaragaman budaya lokal dengan kompleksitas permasalah negeri jika diolah secara apik akan menghasilkan karya besar. Masalahnya, para penulis yang juga termarginalkan secara profesi enggan untuk mengembangkan sayap imajinasinya. Mereka lebih cenderung menghamba kepada sebuah nilai kebendaan, uang menjadi cermin mereka.
3. Dukungan pemerintah yang minim.
Agak apatis jika mengandalkan dukungan pemerintah untuk memajukan perfilman di tanah air. Dari waktu ke waktu, peran pemerintah agaknya hanya menjadi semacam simbol. Ucapan mereka selalu retoris dan tak pernah menjadi kenyataan. Campur tangan yang tidak sehat sering kali dilakukan, contohnya adanya Badan Sensor Film. Gunting mereka sangat diskriminatif dan membabi buta. Ini menjadi permasalahan serius dan kadang saling berbenturan. Film Rindunesia menjadi tumpul secara intelektualitas.
Solusi terbaik, jika benar-benar pemerintah terlalu sibuk dengan permasalahan bangsa, adalah membekukan Badan Sensor Film. Biarkanlah sineas muda lebih bebas untuk mengeksplorasi dirinya secara bebas dan independen tanpa takut terkaman singa dalam bentuk BSF.
4. Pengaruh komersialisme di segala lini kehidupan negeri.
Tak hanya proses politik saja, perfilman nasional juga telah dikendalikan oleh pihak kapitalis. Terpusatnya modal pada lingkungan pengusaha a la Bollywood menjadikan laju perfilman mandeg. Idealnya seluruh elemen masyarakat yang mencintai film diajak serta dan mewadahi ide-ide mereka.
5. Tidak kuatnya budaya teater di tanah air.
Teater seakan menjadi cabang seni yang dianaktirikan. Cikal bakal para aktor berkarakter dimulai dari tempat ini. Kita ambil contoh Australia dengan Opera Sydney-nya. Dengan mercu suar seperti itu, pelakon seni akan terpacu untuk menembus dan menunjukkan eksistensi dirinya. Russel Crowe dan Nicole Kidman adalah contoh nyata bagaimana peran teater dibutuhkan untuk menyangga perfilman.
6. Kurangnya ajang festival film yang berkualitas.
Tak bisa disangkal, film Rindunesia sebetulnya belum mempunyai ciri khas yang bisa ditawarkan. Alih-alih menembus festival internasional, menjadi tuan rumah di negeri sendiri saja sepertinya kesulitan. Memang ada beberapa film yang berhasil di pasar luar negeri, besutan sutradara idealis yang tak diakui keberadaannya. Tapi jika digelontorkan di dalam negeri, sudah pasti hasilnya akan mengecewakan.
Banyak persoalan yang melatarbelakangi keterpurukan perfilman nasional. Sineas sebagai pelaku utama, tak patut dipersalahkan sepenuhnya akan kegagalan ini. Kita coba urai satu persatu permasalahan ini sehingga kita bisa memandang jernih dan menghasilkan solusi yang baik.
1. Kurangnya daya imajinasi
Modal kuat untuk membuat film bermutu adalah imajinasi. Mustahil jika film-film sekelas Hollywood, katakanlah, bertahan hingga sekarang tanpa adanya imajinasi. Tapi apa yang terjadi dengan perfilman Nusantara? Para pelaku perfilman di negeri ini kurang bisa membedakan antara imajinasi dan melantur. Seni yang dipertontonkan sekarang cenderung berbau 'melantur'. Hasilnya bisa ditebak, standar dan tidak membumi.
Salah satu hal yang bisa mendorong para penulis skenario kuat secara imajinasi adalah adanya kerjasama dengan penerbit. Penerbit yang menjadi institusi penghasil naskah-naskah berkualitas harus digandeng sehingga sineas tidak akan kehilangan inspirasi. Idealnya, belajar dari Venezuela yang memiliki sekolah kecantikan penghasil Miss Universe, Rindunesia selayaknya membuat sekolah imajinasi.
2. Eksplorasi tema yang seakan di permukaan saja
Kita tidak akan bisa mengungguli film-film Mandarin yang sangat kaya tema. Harus kita akui karena budaya mereka sudah tua dan pernah menguasai dunia. Tapi ini bukanlah harga mati. Banyak tema Nusantara yang bisa diangkat. Keanekaragaman budaya lokal dengan kompleksitas permasalah negeri jika diolah secara apik akan menghasilkan karya besar. Masalahnya, para penulis yang juga termarginalkan secara profesi enggan untuk mengembangkan sayap imajinasinya. Mereka lebih cenderung menghamba kepada sebuah nilai kebendaan, uang menjadi cermin mereka.
3. Dukungan pemerintah yang minim.
Agak apatis jika mengandalkan dukungan pemerintah untuk memajukan perfilman di tanah air. Dari waktu ke waktu, peran pemerintah agaknya hanya menjadi semacam simbol. Ucapan mereka selalu retoris dan tak pernah menjadi kenyataan. Campur tangan yang tidak sehat sering kali dilakukan, contohnya adanya Badan Sensor Film. Gunting mereka sangat diskriminatif dan membabi buta. Ini menjadi permasalahan serius dan kadang saling berbenturan. Film Rindunesia menjadi tumpul secara intelektualitas.
Solusi terbaik, jika benar-benar pemerintah terlalu sibuk dengan permasalahan bangsa, adalah membekukan Badan Sensor Film. Biarkanlah sineas muda lebih bebas untuk mengeksplorasi dirinya secara bebas dan independen tanpa takut terkaman singa dalam bentuk BSF.
4. Pengaruh komersialisme di segala lini kehidupan negeri.
Tak hanya proses politik saja, perfilman nasional juga telah dikendalikan oleh pihak kapitalis. Terpusatnya modal pada lingkungan pengusaha a la Bollywood menjadikan laju perfilman mandeg. Idealnya seluruh elemen masyarakat yang mencintai film diajak serta dan mewadahi ide-ide mereka.
5. Tidak kuatnya budaya teater di tanah air.
Teater seakan menjadi cabang seni yang dianaktirikan. Cikal bakal para aktor berkarakter dimulai dari tempat ini. Kita ambil contoh Australia dengan Opera Sydney-nya. Dengan mercu suar seperti itu, pelakon seni akan terpacu untuk menembus dan menunjukkan eksistensi dirinya. Russel Crowe dan Nicole Kidman adalah contoh nyata bagaimana peran teater dibutuhkan untuk menyangga perfilman.
6. Kurangnya ajang festival film yang berkualitas.
poin no.3 itu lhoh..
BalasHapuswalah.. adanya badan sensor film aja masih banyak film2 berbumbu esek2 yg tetep beredar.. apalagi klw dihilangin..
paling ngga bentuk tanggungjawab thd moral masyarakat-lah..
Halah, ada BSF aja film hantu aja banyak sekali. Film esek-esek ama hantu ga ada bedanya hahahaha
BalasHapusAku sih pengin, pendapatku ya, BSF itu dibubarkan! Berikut Departemen sosial yang hanya bisa ngedukung iklan REG spasi blablabla
Moral itu bukan dari BSF donggg .... Pribadi masing-masing!
Hahahahhaa
Aku juga gak suka sama LSF. Film-film favoritku jadi terpaksa tak lulus tayang.
BalasHapusFilm hantu atau Unyil Kucing?
BalasHapusAda kok di Pasar Glodag
Wah! Bawalah aku tamasya ke sana!
BalasHapusPasar Glodag, Mangga Kembar ya? Daerah itu memang legendaris sebagai sentra film-film favoritku, namun belum kubuktikan langsung.
BalasHapusKalau di Paris mah Pasar Kembang
BalasHapusAku kemarin ke sana.
Lumayan ... buat cari ide
(Dasar mentalku mah mental pencuri. Tuhan ampunilah diriku)
Ya, kuampuni kau.
BalasHapusSorry, no comment.
BalasHapusAdd a Comment.
BalasHapusAku mau njenguk anak sakit dlu ya ....
BalasHapusSalam dari Om Alfa untuk Andhy Junior, jangan error seperti ayahmu ya.
BalasHapusYa ... ntar kusampaikan salammu.
BalasHapus