Kenapa kau tolak lamaranku, Marlina? (Buka-bukaan A la Artis Sinetron Rindunesia): Bagian Sedih
Hingga kutuliskan kisah ini, otakku terus melayang tak tahu mau ke mana. Serasa kepala ini sudah tak mau lagi menerimanya. Impianku kembali buyar oleh keadaan yang sama kuulangi. Aku tak mampu lagi menata rangkaian kataku sampai cerita ini tak jelas arahnya. Aku sebal dan tak bergairah untuk sekadar menuliskan keluh kesahku.
Aku larut ke dalam pikiran bahwa kutaksanggup lagi melangkah. Tak ada cahaya yang kutuju. Semua gelap dan mencekam. Mataku tak mampu lagi mengenali sesuatu pun. Aku buta karena terjebak ke dalam pekatnya hati. Membungkamku hingga tak mampu lagi menyerukan suara hati. Aku terduduk lesu dan tak bergairah lagi.
Maafkan aku jika kumemutuskan sesuatu yang berseberangan dengan orang pada umumnya. Aku hanya ingin mendidik diriku untuk tidak terlalu menuntut dan menerima hidup ini apa adanya. Aku tak mau menjadi orang yang haus kekuasaan dan materi. Aku lelah dan tak sanggup lagi insan yang terus mengejar keindahan dunia. Jujur aku sudah tak mampu lagi.
Aku memutuskan untuk menjadi seperti ini agar kutahu penderitaan orang yang tak beruntung di luar diriku. Bukan bermaksud menjadi layaknya seorang penebus, tapi aku menuruti kata hati. Aku tak mampu menjadi orang yang seperti mesin pengeruk uang.
Maafkan aku sekali lagi. Susunan kalimatku sangat rapuh hingga susah sekali orang lain mencari maknanya. Aku minta maaf atas segala kekuranganku. Maafkan aku.
Post a Comment