Header Ads

Ujung Berung Pestipal ke-3

   Lamat-lamat aku mendengar bunyi yang asing sekali di telingaku. Suaranya terdengar dari jarak kira-kira satu kilometer dari kosku. Awalnya, aku tak begitu memperhatikan, tapi serasa rugi jikalau dilewatkan pada malam itu.
   Malam Sabtu sekitar pukul 19.00, di saat perutku berbunyi memelas, aku berjalan menyusuri jalanan yang padat akan kendaraan bermotor. Tujuan utamaku memang mau mencari makanan untuk santap malam, tapi nantinya aku juga menambahnya dengan "menu" lainnya.
   Tunggu dulu, ada yang terlupa ... kuingat dulu apa yang harus kubawa. Ups, dompetku hampir ketinggalan! Untung saja, aku teringat. Kalau tidak, bisa-bisa pengalaman mencuci piring selangit seperti di sinetron-sinetron kita terjadi pada diriku. Jangan sampai!
   Bersiul-siul, menertawakan diri sendiri pula, menyanyikan lagu perjuangan buatan sendiri. Begini teksnya:
  
   Sepandai-pandai tupai melompat
   Aku tak akan menjadi ia
   Aku berlari ke sana ke mari
   Melengkapi hari
   Dengan menyusuri kota kembang
   Alangkah indah bila dompetku tebal
   Hati riang membeli buah

   Waduh, benar-benar dalam syair di atas, ya? Seperti gubahan Merry Goeslaw saja. Liriknya juga dalam sedalam gunung Tangkuban Perahu, setinggi Samudera biru.  Menyesakkan!
   Nyanyian itu kuulang beberapa kali, yang kadang baris ketiga beralih ke baris lima. Sementara, kata tupai berubah-ubah menjadi rubah atau kucing. Tak apalah, toh mereka juga binatang yang amat lucu.
  
Mendekati Tempat H
   Kalau biasanya kita mendengar kalimat "Mendekati hari-H pernikahan si Buyung" dengan terimaan yang pasrah,  selayaknya Anda harus memberi tepukan kepadaku dengan pengenalan kata Tempat-H. Sebetulnya, tak jelas juga apa arti H sesudah kata hari ataupun tempat. Tebakanku mengarah kepada Harimau! Soalnya harimau itu buas, dan ketika hajatan selesai maka akan dilakukan perilaku ganas. Atau, apalagi ya?
   Mungkin ... Hamil! Yah, betul dan ini bisa dipertanggungjawabkan (sama mempelai lelaki, kan?). Ujung-ujungnya bukannya hal itu yang diharapkan. Dan, ujungnya lagi kita bergerak kembali ke Ujung Berung.
   Suara itu makin nyaring, bisikku pelan. Kian menarik saja suasana di Ujung Berung ini.
   Alun-alun itu ramai dengan orang-orang yang berkumpul untuk menyaksikkan sebuah tarian. Oh, ternyata ada perlombaan tari Jaipong. Aku mendekat lebih dekat, makin mendekati keramaian itu ... Dan, kulihat:
    Ujung Berung Pestipal ke-3
Pakai hurup P semua, sih, kata pestipalnya. Soalnya, orang Sunda sulit membedakan antara F, P, dan V. Semua dipukul rata dengan ucapan P. Pernah aku menanyakan kepada temanku
berkaitan dengan hal ini, dan jawabannya Demi sebuah kepraktisan. Tak apalah.
   Sebelumnya, aku sudah makan malam dengan menu gulai kambing. Wow, rasanya mantap sekali! Kepala jadi ringan ketika makan daging kambing. Jadi perjalanan malamku ke alun-alun menjadi enak-enak saja. Tanpa kelaparan yang berarti.
    Baru kali ini, aku melihat secara langsung pagelaran jaipongan dengan peserta anak-anak. Dan, mengejutkan! Di tengah budaya konsumerisme, ada sebagian orang yang ingin kembali ke akar budaya kita sendiri. Mungkin sudah jengah dengan situasi seperti ini.

Jaipong nan Erotis?
  
Dandanan para penari cilik di atas panggung menurutku terkesan menor sekali. Kostum yang digunakan juga berwarna mencolok. Diselingi hiasan bunga-bungaan di kepalanya. Aku anggap itu hal yang biasa. Kalau kita membandingkan dengan dandanan artis dangdut mesum di TV, karakter mereka tak sama. Lebih sopan menurutku. Kita beralih ke musik pengiringnya.
   Hampir sama dengan instrumen gamelan di Jawa Tengah, musik pengiring tarian cenderung lebih lebih sederhana. Tak selengkap memang. Tapi, kuperhatikan ternyata ada perbedaan dalam cita rasa musik sunda. Ia lebih enerjik, menghentak-hentak, dan mengajak kita untuk bersenang-senang. Mendekati gamelan Bali.
   Alat yang paling menonjol adalah rebab, kendang, dan kencrengan. Pertama mendengarnya, telinga ini terasa sakit. Tapi, karena niat awalku ingin mencoba menggali keadaan maka kubiarkan saja musik itu akrab di telingaku.
   Tentang tariannya, aku juga belum mengerti banyak. Ada tarian dengan judul tablo, sekar panggung, dan entah apa lagi. Aku menanyakan ibu di sebelahku, tablo itu berarti tarian meratapi kematian. Sedangkan, sekar panggung menceritakan tentang gadis remaja yang digandrungi banyak orang. Lumayan juga!
   Masih menurut ibu di sebelahku, peserta paling tua berumur sebelas tahun. Anehnya, mereka kelihatan dewasa dengan tampilan seperti itu.
   Kuperhatikan lagi, tarian itu mirip pencak silat atau aerobik. Kalau penari tidak terbiasa berlatih, dijamin nafas habis di tengah tarian. Dibutuhkan stamina yang betul-betul prima. Berbeda sekali dengan tarian Jawa yang cenderung kalem dan kadang membuat orang tidur. Halah, alasan! Sebetulnya, siapa yang berhak mengapresiasi budaya kita? Ya, kita sendiri. Jadi, kata membuat orang tidur harus dihilangkan!
   Masih banyak yang menarik di acara Ujung Berung Pestipal ke-3.Satu yang aku tak menyangka adalah mengapa tak ada permainan dadu di alun-alun itu? Waktu aku kecil, jika ada perhelatan macam ini pasti ada orang main judi dadu. Alhamdulillah semua itu tak ada.
    Sepertinya perjalanan ini terus kulakukan. Apalagi, ya?
 



















 














2 komentar:

  1. bukan orang sunda aja kok. salah seorang ex-tapol cinambo yang batak-betawi juga nggak bisa bedain ep, pe, sama pi. coba tanya aja bulek windu. hahahahahaha ...

    BalasHapus
  2. Bulek Windu mah ga jelas ... dia orang Jawa ngaku Sunda, Sunda tapi Jawa. Jadi pusiiiing. Tapi inilah Indonesia!

    BalasHapus