IA yang TANPA MEDALI
Seorang ibu duduk gelisah di bangku tempat latihan anaknya. Ia mencermati setiap gerakan capoeira anaknya yang berusia delapan tahun. Lusy nama ibu berkaos ketat dan bercelana jin ketat. Aroma minyak kayu putih dari tubuhnya menguar ke mana mana. Ia tinggi besar, sepertinya indo dengan campuran pusar ke atas Barat dan ke bawah citarasa Indonesia. Seperti orang ambeien, duduk geser sana sini, tak tenang dan matanya jelalatan, saya menghampirinya.
'Selamat pagi, Bu!' sapa saya.
'Jangan duduk di samping saya?!' serunya.
'Kenapa, Bu?'
'Kita bukan muhrim!'
Saya menjelaskan padanya tidak ada maksud negatip padanya. Tidak ingin saya menubruk, menjambak, atau menamparinya. Itu tindakan tidak jantan bagi seorang capoeirista. Seorang pelaku capoeira musti mengasihi perempuan dalam penerimaan apa adanya terhadapnya. Ibu itu mengenalkan dirinya pada saya setelah emosinya terkontrol.
'Saya Lusy!' ia menjabat tangan saya antara erat dan tidak. 'Bukan "Lu Sinting!", ya'
'Saya pikir "Lupa Sikatan", Bu!' saya menjawab.
Bu Lusy tertawa menunjukkan giginya yang berbehel warna pink yang mencolok mata saya. Saya sebagai penggemar pink terkesima olehnya.
'Mas, saya mau curhat!' serunya sembari matanya melirik kanan kiri memastikan orang tak mendengar perbincangan kami. 'RHS, ya ....'
'Siap, Bu!' jawab saya.
'Eh, tapi jangan panggil Bu ya .... Tante saja! Lebih akrab!'
'Baik, Tante Lusy.'
***
Kelas capoeira hari ini anak anak. Mereka fokus mengikuti instruksi sang pelatih. Ada satu bocah perempuan tangkas berakrobatik. Ketika ia kayang dengan lenturnya, teman teman lain memberi tepuk tangan.
'Itu anak saya. Karmila namanya.' kata Bu Lusy.
'Kepanjangannya?' tanya saya.
'Pentingkah?'
'Sapa tahu kaya nama Tante Lusy yang Lu Sinting tadi!'
Karmila punya kepanjangan juga: Karena Mistik jadi Gila. Memang saat mengandung Karmila, Bu Lusy hampir gila karena suaminya main serong. Tapi itu masa lalu untuk pengalaman berharga. Sekarang suami Bu Lusy sudah jinak karena jika ketahuan selingkuh akan disalib di depan rumah.
'Karmila suka capoeira. Banget. Menurut Tante, dia berbakat. Tapi saya tidak pengin anak saya terus di capoeira!' kata Bu Lusy galau.
'Kenapa, Tan?' tanya saya.
'Karena capoeira tidak ada medali. Percuma tiap hari latihan. Apa yang dicari? Tapi Karmila keburu senang. Jadi malu sama ibu ibu kompleks! Anak anak mereka yang ikut taekwondo, karate, judo, silat, atau beladiri lain ada penghargaannya!'
'Boleh saya kasih pendapat, Tan?'
Bu Lusy mempersilakan saya menjelaskan sudut pandang tentang capoeira kenapa tidak bermedali. Saya berkata meskipun capoeira tidak sama dengan beladiri lain, tetapi persahabatan, kesolidan, rasa seni, semua terpoles di sini. Ada musik, tarian, pertarungan, fairplay, filosofi, dan semuanya.
'Saya nggak pengin anak saya jadi filsuf! Pusing itu ....' ucap Bu Lusy sewot.
'Tidak begitu, Tan. Nanti kita lanjutkan lagi diskusi kita ya, Tan? Kebelet pipis ....' kata saya.
'Kok? Kita belum tuntas. Tapi okelah .... Berapa nomor telepon, Adik?'
'0896 xxxx xxxx. Miskol ya, Tan!
'Nggak punya pulsa?! Saya punya HP buat mejeng doang! Nggak bisa pakainya saya, Dik?!'
-------------------
Mari merapat di www.rumahdanie.blogspot.com
Post a Comment