MATINYA BU GURU WAHJU
Tiap tanggal 25 November, saya melakukan ritual persembahan pada arwah Bu Wahju. Wahju dengan huruf J bukan Y karena ia manusia cetakan lama. Bu Wahju bagi saya pribadi seorang pahlawan yang dulunya, kembali menurut saya, garong terbengis yang sulit ditaklukkan.
Seluruh sekolah tunduk padanya. Perawakannya yang tinggi besar, otot ototnya tampak nyata meski ia perempuan berusia empat puluhan, membikin tiap murid keder untuk sekadar mau tanya. Bu Wahju guru olahraga yang seram banyak anak menyebutnya.
'Kalian terlambat pemanasan pas pelajaran saya, akan ada hukuman ME-MA-LU-KAN?!' sengat Bu Wahju di antara tatap mata kosong murid kelas saya dulu. Kami tak diperbolehkan menunduk karena itu tanda seorang pengecut begitu perintah Bu Wahju.
Bentuk hukuman yang diterpkan Bu Wahju macam macam; mulai skotjam banyak kali sampai ada murid yang mengeluh didiagnosis hernia, kayang di depan kelas sepuluh menit, bahkan sempat pula Bu Wahju mengancam kalau kami tidak disiplin akan disetrum di kursi listrik. Untungnya tidak terlaksana keburu Bu Wahju meninggal di depan kelas 2C.
***
Sontak semua syok waktu Bu Wahju meninggal mendadak. Apalagi waktu itu Bu Wahju bersikap sangat manis membawakan rangkaian bunga warna warni buat anak anak kelas 2C yang terkenal brutal.
'Bunga bunga ini buat kalian, Manisku Cintaku.'
Habis bilang seperti itu Bu Wahyu langsung meninggal dalam posisi duduk. Kabarnya, Bu Wahju disantet orang yang tak menyukainya. Namun saya sangsi karena tiga minggu sebelum itu saya mengakrabkan diri padanya.
***
Tepatnya Jumat Wage lepas istirahat saya menghampiri Bu Wahju. Geliatnya waktu itu sangar seperti biasa. Saya menguatkan hati untuk melangkah masuk sembari membawa sesuatu di dalam kresek.
'Apa KAU?!' bentak Bu Wahju.
'Saya mau konsultasi, Bu.' kata saya sembari membuka kresek dan menyodorkan kaos warna hijau muda menyala. 'Ini buat ibu.'
'Kau sogok saya?!'
'Tidak, Bu. Ini buat ibu.'
Sebelumnya saya sudah membagi kaos yang sama pada seluruh ibu guru. Ayah saya mengamanahi saya untuk menyampaikan bingkisan kasih pada ibu ibu guru yang menyuporteri Lomba Hari Guru.
Bu Wahju yang sebelumnya muram berubah mimiknya menjadi hangat bersahabat. Ia jujur pada saya rindu seorang murid yang berani mengajaknya mengobrol karena selama ini tidak ada yang mau melakukannya. Pujian mengalir pada saya namun saya tetap mengontrol diri agar tidak larut emosi.
Ngobrol ngalor ngidul, Bu Wahju mengakui jika dirinya salah mendidik muridnya termasuk saya. Tidak penting mengajar dengan gaya otoriter alih alih menjadikan murid disiplin, ujungnya bikin mereka tambah stres.
***
Bu Wahyu mengomandoi ibu ibu suporter sekolah kami. Suaranya yang keras mengatrol suasana, menciptakan daya magis yang membakar semangat para pelaga; kasti, voli, futsal, dan banyak macam perlombaan yang dipertandingkan antar guru.
'Suporter kita kudu menang! Itu kuncinya ....' ucap Bu Wahju berapi api.
Beberapa kami yang turut jadi suporter merasa ada yang lain dari sosok Bu Wahju. Sempat ada yang berbisik jika Bu Wahju ini mutan. Tapi saya meyakinkan jika tak ada apa apa dengan Bu Wahju. Mungkin saja pola dan strategi mendidiknya berubah ubah.
Walhasil, tim guru sekolah kami menyapu bersih medali. Sekolah lain gigit jari. Inilah kali pertama sekolah kami memenangi perlombaan. Kami merayakannya dengan penuh suka cita.
Dan Bu Wahju mendadak meninggalkan kami setelah mencuri hati kami dengan perubahan wataknya yang lebih nyaman pada diri kami. Kenangan itu masih membekas terutama saya yang masih pengin bertukar pikiran dengannya.
Terima kasih atas galakmu, Bu Wahju. Sampai jumpa lagi.
Post a Comment