SAVING PRIVATE RENY
Punya sahabat lulusan jurusan Peternakan mengasyikkan. Wili nama teman saya itu. Ia berperawakan tinggi besar, rambutnya penuh uban yang kata dia tanda seorang yang dekat dengan Tuhan. Paling khas dari Wili, frekuensi kedipan matanya yang sangat kerap. Saya dulu menyangka ia sengaja melakukannya untuk populer, ternyata tidak.
Pertemuan kami tak disengaja. Di gang masuk Sarkem Jogja. Ya, tempat lokalisasi tepat jam dua belas malam. Kalau ingat kejadian itu, saya bisa tertawa menjurus gila. Selalu jika Wili dan saya bikin janji bertemu, obrolan Sarkem jadi pembuka.
'Sudah cukup kau membuka aibku, Dan! Plis, jangan sebar ....' pinta Wili.
Saya meledakkan tawa di ujung telepon. Tak pernah saya menyebarkan cerita itu. Wili waktu itu melakukan penelitian ringan tentang penurunan populasi banteng Jawa dibandingkan melesatnya jumlah lelaki hidung belang.
'Dan kau menggagalkan rencana penelitianku!' tambahnya.
'Aku cuma mengatakan itu berisiko diamuk penghuni Sarkem!' kata saya.
'Tapi kau meruntuhkan semangatku waktu itu. Seharusnya hasil penelitianku akan jadi perbincangan ilmuwan dunia!'
'Sudahlah, Wil. Aku minta maaf.'
Pun kami tadi pagi bertemu di sebuah kafe biasa dengan AC tak nyala. Dindingnya penuh foto biduanita musik dangdut dari masa ke masa. Bau kafenya pesing. Sengaja kami pilih kafe seperti itu untuk mengusik zona nyaman kami. Keyakinan kami; Hidup lebih menarik jika kita cipta sejuta tantangan.
Di pagi Jogja yang sejuk saat para mahasiswa masih banyak yang di kampung halaman mereka, seorang Danie yaitu saya berbincang dengan Wili. Kami menyeruput kopi andalan kafe berjuluk 'Kedai Pesing 24 Jam Non Stop' membahas hal yang sangat penting: Reny.
Inilah kisah kami.
Post a Comment