Angelo si Anak Butir Hujan
Angelo duduk dalam tenang di bangku
di Taman Bunga Kota. Ia sesekali mengusap wajahnya yang basah oleh keringat
karena panas mentari. Tersenyum hanya sesekali saat ada orang melintas di
depannya, ia banyak menunduk sambil menggoreskan pena di buku hariannya. Ia
tengah mengadu, tampak dari wajahnya yang menggurat sedih, bercerita tentang
kejadian beberapa hari lalu yang ia alami.
Aku di taman pula saat itu. Sudah jadi agendaku, tiap Minggu aku dan dua sahabatku--Daru dan Widi--bersepeda melepas penat. Kami bertiga paling suka adu balap. Kebetulan sepeda kami sama, Poligon, hanya warna berbeda. Papa kami satu kantor di perusahaan besar jadi kompak membelikan sepeda. Kesolidan mereka ditularkan pada kami.
'Aku haus, Danie!' seru Daru sambil mengelus lehernya. Tangan di setangnya mencengkeram kuat seolah ingin segera melesat ke warung di sekitar taman.
'Kita beli es, yuk!' balas Widi. 'Ayo, Danie!'
Bukan karena alasan malas aku menolak tawaran Daru dan Widi. Mataku tadi sempat melihat seorang bocah sekira lima tahun di bawahku. Kulitnya hitam legam, ia duduk sendiri mencatat di bukunya. Bocah itu kelak kukenal sebagai Angelo.
'Kalian duluan saja.' jawabku.
'Beneran nih? Ciyus nggak haus?' kata Daru. Satu dari kami, Daru lah yang paling mudah dipengaruhi tren alay. Terutama ucapan artis Julia Perez, ia selalu bela habis habisan dengan memakainya terus. Tapi Daru sekarang sedang gandrung kata 'ciyus' yang ia anggap kata sakral bin jenius.
'Nanti aku susul!' seruku sambil melempar senyum. 'Warung seperti biasa kan?'
Daru dan Widi memancal pedal yang sebelumnya minta aku berjanji untuk tidak ingkar janji. Ketika mereka sudah tak tampak dari mataku, aku mendekati bocah lelaki yang duduk di bangku sendiri itu. Kutuntun sepedaku menujunya.
***
'Hai, apa kabar?' sapaku.
Ia tak tahu aku di dekatnya, sejarak lima langkah, karena sibuk dengan menulisnya. Kutelengkan kepalaku, kuamati kacamatanya yang tebal. Batinku, anak di depanku kutu buku yang parah, penyendiri, dan tak punya teman. Saat kulangkahkan kaki mendekatinya, ada seekor belalang menubrukku lalu kabur. Aku kaget dan berteriak:
'Kadal buntung!'
Aku sebetulnya tahu itu belalang. Tapi karena emosi tinggi, nama binatang lain yang kuletupkan. Sebentar! Aneh sekali dengan ledakan suaraku, bocah lelaki di jarak yang semakin dekat denganku tak bereaksi. Ia diam.
Langsung kududuk di dekatnya dan ia menoleh padaku, tersenyum lalu menunduk lagi. Aku bersyukur karena pikiranku jika ia siluman tidak terbukti.
'Sedang apa?' tanyaku.
Ia kembali melihatku. 'Menulis.'
'Apa yang kau tulis?'
'Kisah hidupku.'
Karena penasaran, kulongokkan kepalaku dan mendapati tulisan dia rapi. Untuk ukuran anak sekecil dia langka.
'Boleh aku tahu?' Pintaku. 'Oya, namamu siapa?'
'Angelo.' Ia menjawab dan menutup bukunya. Tatapannya padaku aneh. Seolah ada kekalutan dalam dirinya. 'Namamu?'
'Danie.'
'Kuceritakan apa yang kualami, Mas Danie.'
Aku membenarkan posisi dudukku. Kutajamkan dua kupingku siap menyimak.
***
Angelo memulai kisahnya dengan suara tertahan. Kuanggukan kepala melegakan hatinya buat ia tak ragu. Ia batuk dua kali.
'Aku tak punya ibu bapak. Tinggalku sama ibu angkat. Aku tak pernah tahu bagaimana wajah orang tuaku.' Angelo bercerita.
'Ibu angkatmu galak?' tanyaku.
Ia meneruskan jika ibunya yang sekarang sangat baik. Apa yang ia minta diberikan seketika. Mainan, makanan, semua. Terutama buku, ia punya ratusan buku di lemarinya.
'Aku tahu ibuku sekarang bukan asli. Kutanya ibu, "Bu, bolehkah saya lihat foto bapak ibu kandung saya?"' lanjut Angelo.
'Apa jawaban ibumu?'
Angelo menelan ludahnya. Suara jelas kudengar dan ekspresinya rusuh. Kuselingi dengan senandungku 'Libur Telah Tiba' punya Tasya Kamila penyanyi cilik tempo dulu.
'Ibu bilang aku lahir dari sebutir air hujan.' katanya.
'Air hujan? Bagaimana bisa?' seruku bingung.
'Ya, di antara jutaan tetes air hujan, ibu bilang aku yang unik. Warnanya hitam tidak sama dengan lainnya. Ibu bilang lagi, "Walau kamu hitam, kamu sama dengan yang lain, Ngel!"'
'Lalu kau percaya apa kata ibumu?'
'Ya juga tidak.'
Angelo menatap bukunya. Ia mengusap sampulnya.
'Kau boleh baca bukuku ini.' Ia mengulurkannya padaku.
'Itu buku harianmu. Tak boleh aku barang menyentuhnya!' tolakku.
'Tidak apa apa. Bacalah dan minggu depan kita bertemu lagi mau, Mas Danie? Di sini?'
Aku mengiyakan bareng Daru dan Widi yang dari jauh kembali. Angelo pamit dan bukunya ada padaku sekarang.
_________________________________
Aku di taman pula saat itu. Sudah jadi agendaku, tiap Minggu aku dan dua sahabatku--Daru dan Widi--bersepeda melepas penat. Kami bertiga paling suka adu balap. Kebetulan sepeda kami sama, Poligon, hanya warna berbeda. Papa kami satu kantor di perusahaan besar jadi kompak membelikan sepeda. Kesolidan mereka ditularkan pada kami.
'Aku haus, Danie!' seru Daru sambil mengelus lehernya. Tangan di setangnya mencengkeram kuat seolah ingin segera melesat ke warung di sekitar taman.
'Kita beli es, yuk!' balas Widi. 'Ayo, Danie!'
Bukan karena alasan malas aku menolak tawaran Daru dan Widi. Mataku tadi sempat melihat seorang bocah sekira lima tahun di bawahku. Kulitnya hitam legam, ia duduk sendiri mencatat di bukunya. Bocah itu kelak kukenal sebagai Angelo.
'Kalian duluan saja.' jawabku.
'Beneran nih? Ciyus nggak haus?' kata Daru. Satu dari kami, Daru lah yang paling mudah dipengaruhi tren alay. Terutama ucapan artis Julia Perez, ia selalu bela habis habisan dengan memakainya terus. Tapi Daru sekarang sedang gandrung kata 'ciyus' yang ia anggap kata sakral bin jenius.
'Nanti aku susul!' seruku sambil melempar senyum. 'Warung seperti biasa kan?'
Daru dan Widi memancal pedal yang sebelumnya minta aku berjanji untuk tidak ingkar janji. Ketika mereka sudah tak tampak dari mataku, aku mendekati bocah lelaki yang duduk di bangku sendiri itu. Kutuntun sepedaku menujunya.
***
'Hai, apa kabar?' sapaku.
Ia tak tahu aku di dekatnya, sejarak lima langkah, karena sibuk dengan menulisnya. Kutelengkan kepalaku, kuamati kacamatanya yang tebal. Batinku, anak di depanku kutu buku yang parah, penyendiri, dan tak punya teman. Saat kulangkahkan kaki mendekatinya, ada seekor belalang menubrukku lalu kabur. Aku kaget dan berteriak:
'Kadal buntung!'
Aku sebetulnya tahu itu belalang. Tapi karena emosi tinggi, nama binatang lain yang kuletupkan. Sebentar! Aneh sekali dengan ledakan suaraku, bocah lelaki di jarak yang semakin dekat denganku tak bereaksi. Ia diam.
Langsung kududuk di dekatnya dan ia menoleh padaku, tersenyum lalu menunduk lagi. Aku bersyukur karena pikiranku jika ia siluman tidak terbukti.
'Sedang apa?' tanyaku.
Ia kembali melihatku. 'Menulis.'
'Apa yang kau tulis?'
'Kisah hidupku.'
Karena penasaran, kulongokkan kepalaku dan mendapati tulisan dia rapi. Untuk ukuran anak sekecil dia langka.
'Boleh aku tahu?' Pintaku. 'Oya, namamu siapa?'
'Angelo.' Ia menjawab dan menutup bukunya. Tatapannya padaku aneh. Seolah ada kekalutan dalam dirinya. 'Namamu?'
'Danie.'
'Kuceritakan apa yang kualami, Mas Danie.'
Aku membenarkan posisi dudukku. Kutajamkan dua kupingku siap menyimak.
***
Angelo memulai kisahnya dengan suara tertahan. Kuanggukan kepala melegakan hatinya buat ia tak ragu. Ia batuk dua kali.
'Aku tak punya ibu bapak. Tinggalku sama ibu angkat. Aku tak pernah tahu bagaimana wajah orang tuaku.' Angelo bercerita.
'Ibu angkatmu galak?' tanyaku.
Ia meneruskan jika ibunya yang sekarang sangat baik. Apa yang ia minta diberikan seketika. Mainan, makanan, semua. Terutama buku, ia punya ratusan buku di lemarinya.
'Aku tahu ibuku sekarang bukan asli. Kutanya ibu, "Bu, bolehkah saya lihat foto bapak ibu kandung saya?"' lanjut Angelo.
'Apa jawaban ibumu?'
Angelo menelan ludahnya. Suara jelas kudengar dan ekspresinya rusuh. Kuselingi dengan senandungku 'Libur Telah Tiba' punya Tasya Kamila penyanyi cilik tempo dulu.
'Ibu bilang aku lahir dari sebutir air hujan.' katanya.
'Air hujan? Bagaimana bisa?' seruku bingung.
'Ya, di antara jutaan tetes air hujan, ibu bilang aku yang unik. Warnanya hitam tidak sama dengan lainnya. Ibu bilang lagi, "Walau kamu hitam, kamu sama dengan yang lain, Ngel!"'
'Lalu kau percaya apa kata ibumu?'
'Ya juga tidak.'
Angelo menatap bukunya. Ia mengusap sampulnya.
'Kau boleh baca bukuku ini.' Ia mengulurkannya padaku.
'Itu buku harianmu. Tak boleh aku barang menyentuhnya!' tolakku.
'Tidak apa apa. Bacalah dan minggu depan kita bertemu lagi mau, Mas Danie? Di sini?'
Aku mengiyakan bareng Daru dan Widi yang dari jauh kembali. Angelo pamit dan bukunya ada padaku sekarang.
_________________________________
Sumber gambar: mediationplus.co.uk
Mengobrol teduhlah kita di
www.rumahdanie.blogspot.com
Post a Comment