Antara Berahi Berfotografi dan Bersaudara TKI
Saudaraku punya kegemaran baru. Fotografi. Ia mengatakan, 'Ini hobi baruku!' Ya, kegemaran termutakhirnya hingga membawa ia berada di tempat paling eksotis di Nusantara. Lalu ia menjelaskan tentang apa saja. Tentang seluk beluk foto. Aku mendengar tanpa harus berkomentar dahulu.
***
Tak terlalu dekat hubunganku dengannya. Sebut saja Bunga. Sepuluh tahun lebih tua dariku, tentu pengalamanku jauh tertinggal. Apalagi kekayaan. Jauh melesat ia dengan mobil bermesin jet, rumah bak istana tanpa perampok bisa masuk, atau betapa elit profesinya. Pekerja minyak bumi. Ya, bisa kita bayangkan, uang saudaraku bertumpuk tumpuk. Sepupuku, lebih tepatnya.
'Aku dulu masuk pekerjaanku ini susah payah lo Dik.' Ia berkata. 'Sainganku ribuan. Dan aku berhasil.'
Masih aku diam mendengar.
Waktu merambat. Haji sudah tersemat. Pundi pundinya menggunung. Dan saatnya tiap akhir pekan bersenang senang. Berfotografi.
Ia sangat antusias. Berguru ke fotografer ternama, jiwa seninya terasah. Teknik pemotretan ia lahap. Maju pesat perkembangan dirinya.
'Eh sapa tahu bisa dijual Dik.' Katanya.
Ia memajang karyanya di Facebook. Masterpiece nya. Makin banyak saja pujian. Dia suka. Tapi akhirnya itu membuat ia lupa.
Di luar sana, saudaranya menjadi TKI. Adiknya menjadi babu di negeri orang.
Aku tak harus bertanya mengapa ada TKI pada darah keluarga kami. Tak ada didikan dari moyang agar kami jadi babu. Memang, aku tahu Bunga sudah maksimal membantu saudaranya. Tapi apa lacur, takdir membuat coreng. Tanpa menyalahkan Tuhan, aku prihatin.
Eyang eyang kami memberi contoh. Tentang ketangguhan bermandiri. Tidak boleh takluk.
'Nasib kita buat. Allah merestui.' Pesan eyang.
Tapi jika ada satu anggota keluarga yang membiarkan adiknya menjadi TKI, sepertinya ia sangat tidak bijaksana. Apalagi ia bersenang dengan wisata dan foto. Sedangkan adiknya membabu.
TKI bukan pekerjaan hina. Tapi jika ada pilihan bekerja mandiri, mengapa tidak dilakukan? Meski bergaji kecil. Tapi yakinlah, waktu yang membesarkannya. Bunga tak berpikir jauh.
Meribut di www.andhysmarty.multiply.com
Terbaru di www.duniasirkusdannie.wordpress.com
Menggaul di www.facebook.com/Dannie Travolta
***
Tak terlalu dekat hubunganku dengannya. Sebut saja Bunga. Sepuluh tahun lebih tua dariku, tentu pengalamanku jauh tertinggal. Apalagi kekayaan. Jauh melesat ia dengan mobil bermesin jet, rumah bak istana tanpa perampok bisa masuk, atau betapa elit profesinya. Pekerja minyak bumi. Ya, bisa kita bayangkan, uang saudaraku bertumpuk tumpuk. Sepupuku, lebih tepatnya.
'Aku dulu masuk pekerjaanku ini susah payah lo Dik.' Ia berkata. 'Sainganku ribuan. Dan aku berhasil.'
Masih aku diam mendengar.
Waktu merambat. Haji sudah tersemat. Pundi pundinya menggunung. Dan saatnya tiap akhir pekan bersenang senang. Berfotografi.
Ia sangat antusias. Berguru ke fotografer ternama, jiwa seninya terasah. Teknik pemotretan ia lahap. Maju pesat perkembangan dirinya.
'Eh sapa tahu bisa dijual Dik.' Katanya.
Ia memajang karyanya di Facebook. Masterpiece nya. Makin banyak saja pujian. Dia suka. Tapi akhirnya itu membuat ia lupa.
Di luar sana, saudaranya menjadi TKI. Adiknya menjadi babu di negeri orang.
Aku tak harus bertanya mengapa ada TKI pada darah keluarga kami. Tak ada didikan dari moyang agar kami jadi babu. Memang, aku tahu Bunga sudah maksimal membantu saudaranya. Tapi apa lacur, takdir membuat coreng. Tanpa menyalahkan Tuhan, aku prihatin.
Eyang eyang kami memberi contoh. Tentang ketangguhan bermandiri. Tidak boleh takluk.
'Nasib kita buat. Allah merestui.' Pesan eyang.
Tapi jika ada satu anggota keluarga yang membiarkan adiknya menjadi TKI, sepertinya ia sangat tidak bijaksana. Apalagi ia bersenang dengan wisata dan foto. Sedangkan adiknya membabu.
TKI bukan pekerjaan hina. Tapi jika ada pilihan bekerja mandiri, mengapa tidak dilakukan? Meski bergaji kecil. Tapi yakinlah, waktu yang membesarkannya. Bunga tak berpikir jauh.
Meribut di www.andhysmarty.multiply.com
Terbaru di www.duniasirkusdannie.wordpress.com
Menggaul di www.facebook.com/Dannie Travolta
Post a Comment