Hujan Besar, Kumis Fauzi Bowo, dan Bahaya Laten Banjir
Hujan. Bukan hanya cerita tentang air yang memenuhi got. Tapi, ada orang orang berlarian. Juga saat payung payung dibuka. Menahan air hujan. Ya, air hujan. Melulu berpikir sekadar air, tak ubahnya Fauzi Bowo yang kelimpungan menahan demonstrasi para penuntut banjir segera diakhiri. Oleh penguasa negeri kecil bernama Jakarta. Yang tengah depresi tak memiliki akal lagi membebaskan kota dari bencana laten banjir.
Hujan. Menikmatinya di teras rumah. Bersama segelas kopi panas, dicampur susu. Pisang goreng bertabur keju, atau singkong rebus disiram cairan gula jawa. Anak anak kecil berlarian, menyambut hujan. Tertawa tawa setelah seharian dimarah oleh guru ajaib berkacak pinggang bak monster tak berampun. Karena sang murid tidur di tengah pelajaran. Guru beranggapan itu adalah penghinaan teramat keji bagi dunia pendidikan di tanah air. Konfrontasi tak hanya antara Malaysia dan Indonesia. Tapi nyata di sini pertikaian antara murid dan guru. Seperti anjing dan kucing yang tak pernah akur sepanjang zaman.
Hujan. Pesan yang kau tawarkan, berhasil ditangkap. Kau seakan menyindir para pengguna internet. Mencemooh mereka yang telah ketagihan tak bisa lepas dari gurita teknologi tingkat tinggi. Dan, kau ingin berkata kepada kami:
'Hai, kapal kapal koyak. Nelayan mati hidup di tengah badai yang kubuat!'
Sementara, lelaki dan perempuan di depan komputer, hanya bisa merasakan dari jarak maya. Membayangkan bagaimana hujan bisa terjadi. Hujan adalah hal nyata, Kawan.
Hujan. Berikan kami tanda lebih banyak lagi. Agar kami bangun dari mimpi mimpi yang membuai ini. Yang menarik kami dari kesederhanaan yang dulu pernah ada. Menyeret kami pada kesenangan sebentar saja. Menutupi lubang kekurangan dengan cara bercongkak ria. Di dunia teknologi, ya teknologi internet. Candu, candu, hilangkan dengan deras airmu wahai Hujan. Karena kami butuh basuhmu.
Hujan. Teruskan kerjamu. Aku main internet dulu. Mohon maaf jika obrolan saya tadi sunggu munafik. Karena itu ciri khas kami. Yang sukar untuk dihilangkan. Dikurang pun kami sangat tak rela.
Dan, internet marak membahas topik panas: Kumis Fauzi Bowo copot hanyut oleh banjir Jakarta.
Hujan. Menikmatinya di teras rumah. Bersama segelas kopi panas, dicampur susu. Pisang goreng bertabur keju, atau singkong rebus disiram cairan gula jawa. Anak anak kecil berlarian, menyambut hujan. Tertawa tawa setelah seharian dimarah oleh guru ajaib berkacak pinggang bak monster tak berampun. Karena sang murid tidur di tengah pelajaran. Guru beranggapan itu adalah penghinaan teramat keji bagi dunia pendidikan di tanah air. Konfrontasi tak hanya antara Malaysia dan Indonesia. Tapi nyata di sini pertikaian antara murid dan guru. Seperti anjing dan kucing yang tak pernah akur sepanjang zaman.
Hujan. Pesan yang kau tawarkan, berhasil ditangkap. Kau seakan menyindir para pengguna internet. Mencemooh mereka yang telah ketagihan tak bisa lepas dari gurita teknologi tingkat tinggi. Dan, kau ingin berkata kepada kami:
'Hai, kapal kapal koyak. Nelayan mati hidup di tengah badai yang kubuat!'
Sementara, lelaki dan perempuan di depan komputer, hanya bisa merasakan dari jarak maya. Membayangkan bagaimana hujan bisa terjadi. Hujan adalah hal nyata, Kawan.
Hujan. Berikan kami tanda lebih banyak lagi. Agar kami bangun dari mimpi mimpi yang membuai ini. Yang menarik kami dari kesederhanaan yang dulu pernah ada. Menyeret kami pada kesenangan sebentar saja. Menutupi lubang kekurangan dengan cara bercongkak ria. Di dunia teknologi, ya teknologi internet. Candu, candu, hilangkan dengan deras airmu wahai Hujan. Karena kami butuh basuhmu.
Hujan. Teruskan kerjamu. Aku main internet dulu. Mohon maaf jika obrolan saya tadi sunggu munafik. Karena itu ciri khas kami. Yang sukar untuk dihilangkan. Dikurang pun kami sangat tak rela.
Dan, internet marak membahas topik panas: Kumis Fauzi Bowo copot hanyut oleh banjir Jakarta.
saya salah satu penikmat hujan.. bagi saya dari huan ada banyak cerita dan isah.. lagi pula hujan itu berkah dan salah satu saat dimana doa seseorang diijabah..
BalasHapusYa. Dan topeng hitam diri Anda bisa dijadikan tadah hujan. Hehe.
BalasHapusBenarkah saat hujan, doa kita diijabah?
Mmmm ... sebentar saya berpikir.
Saya tidak setuju.
Menurut saya, saat hujan, manusia cenderung menyelamatkan diri mereka. Berteduh.
Dan ketika petir menyambar nyambar, itulah waktu manusia mulai tergerak untuk sekadar mengingat Tuhan.
Mereka berdoa. Tak jarang mereka menangis memelas, berharap banjir tak datang.
Ijabah memang hak prerogratif Tuhan. Tapi, tanpa adanya rayuan kita kepadaNya, niscaya mustahil.
Hehe.
Bagaimana dengan Anda?