Bermain Judi Bersama Yang Terhormat Pak Mentri
Bermain judi bersama Pak Mentri. Dia terlalu pandai, sok tahu, merasa perjudian juga ia mampu mengalahkan saya. Padahal, harap diketahui, saya sudah ke luar masuk penjara. Terkena garuk petugas satpol PP, tak jarang pula lari terbirit birit dikejar hansip. Tapi dasar Pak Mentri tak tahu diuntung, tetap saja ia sesumbar akan menguras habis dompet saya.
'Baiklah, Pak Mentri. Ini adalah pertaruhan ketrampilan. Di otak Anda memang berjejal teori. Entah probabilitas, peluang, atau paham statistika terbaru. Yang ada, saya punya kelicikan. Yang nanti akan Anda rasakan. Menghunjam jantung Anda, wahai Bapak Mentri yang terhormat.'
Saya tidak mengungkap kekurangan dia; Pak Mentri. Tak mengungkit jika ia diangkat oleh Presiden karena rasa iba. Sebagai imbalan menyerahkan suara massa pendukungnya untuk sang Presiden. Ini tak ubahnya, menyerahkan keperawanan kepada seorang lelaki bangka impoten. Ya, Presiden itu. Tidak sekali sekali mengorek kebejatan politis Pak Mentri. Biar saja ia melaporkannya nanti kepada Tuhan, di hadapan Sang Pemberi Jabatan sesungguhnya. Satu yang saya sangsi, pada Pak Mentri, mengapa untuk urusan judi, ia dengan amat ketus melabrak saya.
'Hai, Anak Ingusan. Sini!'
Dia menyebut saya dengan sebutan yang tidak pantas. Untuk ukuran pejabat teras, yang seluruh tindak tanduknya diteropong oleh buasnya media.
Saya melangkah gontai. Takut sebentar lagi kena damprat. Percik liur akan menempel di muka saya. Atau, ia akan mengatai saya dengan kalimat penusuk hati. Dikata asal usul saya yang tak jelas ayah siapa.
'Duduk di meja situ,' Ia menunjuk dengan muka kecut. 'Kita main kartu sekarang.'
Saya menjawab, 'Untuk apa Pak? Saya masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.'
'Tunda saja!' bentak dia. 'Apakah kau tak tahu, aku MENTRI.'
Dengkul saya bergabung. Suara pak Mentri di hadapan saya tajam.
'Mengerti Pak.'
'Mengerti apa?' semprot dirinya lagi. 'Tahu bukan mengerti!'
'Ya Pak. Saya tahu.'
'Kalau tahu, duduk dan ikuti perintahku! Segera!'
Menurut adalah tindakan yang bijaksana. Untuk masa genting sekarang. Tak ada tunda. Tak ingin lebih lama lagi tersiksa, saya menundukkan kepala.
'Tegakkan kepalamu. Pandang aku!'
Ia tengah mengocok kartu. Tangannya kaku. Satu dua tiga kartu lepas, dipungut, dan si Pak Mentri berusaha mengocok dengan sembarang aksi. Ingin saya melepaskan tawa, saya tahan. Benar benar tak boleh keluar dari mulut.
'Aku bagi kartu ini.'
Ia membagi. Tapi ... ups. Berat sebelah. Saya lebih sedikit satu kartu.
'Pak, saya kurang sa ....'
'Cerewet. Sengaja. Aku tugaskan kau untuk kalah.'
Dasar edan, umpat saya dalam hati. Bagaimana bisa saya dikibuli dan seperti dijadikan sasaran tembak kebodohan Pak Mentri.
Saya menggebrak meja.
'Pak Mentri. Harap diingat. Saya pernah jambret. Maling dua rumah sehari dapat.' Mata saya pelototkan. Berakting dengan sangat meyakinkan. Suara saya kuatkan.
'Makan orang kalau halal, saya bisa lakukan. Tapi, judi bukan begini caranya. Harus FAIR. Mengerti?'
Lima detik lepas saya muntahkan kalimat sakti, mata Pak Mentri berkaca kaca. Ia memohon maaf. Berjanji tak mengulangi tindakan barbar yang ia lakukan.
'Nah, begitu. Jadi pimpinan harus tahu tempat. Tempat bejat, judi, tidak mesti sarangnya para pembohong.'
Memang benar. Sekali sekali Pak Mentri harus disadarkan. Oleh orang orang laknat seperti saya. Kalau tidak, bisa jadi kesombongannya memuncak. Melebihi hasil kerja dirinya yang tak jelas apakah bermanfaat bagi masyarakat ataukah tidak.
Mentri melawan saya seorang penjudi. Kalap kalapan.
'Baiklah, Pak Mentri. Ini adalah pertaruhan ketrampilan. Di otak Anda memang berjejal teori. Entah probabilitas, peluang, atau paham statistika terbaru. Yang ada, saya punya kelicikan. Yang nanti akan Anda rasakan. Menghunjam jantung Anda, wahai Bapak Mentri yang terhormat.'
Saya tidak mengungkap kekurangan dia; Pak Mentri. Tak mengungkit jika ia diangkat oleh Presiden karena rasa iba. Sebagai imbalan menyerahkan suara massa pendukungnya untuk sang Presiden. Ini tak ubahnya, menyerahkan keperawanan kepada seorang lelaki bangka impoten. Ya, Presiden itu. Tidak sekali sekali mengorek kebejatan politis Pak Mentri. Biar saja ia melaporkannya nanti kepada Tuhan, di hadapan Sang Pemberi Jabatan sesungguhnya. Satu yang saya sangsi, pada Pak Mentri, mengapa untuk urusan judi, ia dengan amat ketus melabrak saya.
'Hai, Anak Ingusan. Sini!'
Dia menyebut saya dengan sebutan yang tidak pantas. Untuk ukuran pejabat teras, yang seluruh tindak tanduknya diteropong oleh buasnya media.
Saya melangkah gontai. Takut sebentar lagi kena damprat. Percik liur akan menempel di muka saya. Atau, ia akan mengatai saya dengan kalimat penusuk hati. Dikata asal usul saya yang tak jelas ayah siapa.
'Duduk di meja situ,' Ia menunjuk dengan muka kecut. 'Kita main kartu sekarang.'
Saya menjawab, 'Untuk apa Pak? Saya masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.'
'Tunda saja!' bentak dia. 'Apakah kau tak tahu, aku MENTRI.'
Dengkul saya bergabung. Suara pak Mentri di hadapan saya tajam.
'Mengerti Pak.'
'Mengerti apa?' semprot dirinya lagi. 'Tahu bukan mengerti!'
'Ya Pak. Saya tahu.'
'Kalau tahu, duduk dan ikuti perintahku! Segera!'
Menurut adalah tindakan yang bijaksana. Untuk masa genting sekarang. Tak ada tunda. Tak ingin lebih lama lagi tersiksa, saya menundukkan kepala.
'Tegakkan kepalamu. Pandang aku!'
Ia tengah mengocok kartu. Tangannya kaku. Satu dua tiga kartu lepas, dipungut, dan si Pak Mentri berusaha mengocok dengan sembarang aksi. Ingin saya melepaskan tawa, saya tahan. Benar benar tak boleh keluar dari mulut.
'Aku bagi kartu ini.'
Ia membagi. Tapi ... ups. Berat sebelah. Saya lebih sedikit satu kartu.
'Pak, saya kurang sa ....'
'Cerewet. Sengaja. Aku tugaskan kau untuk kalah.'
Dasar edan, umpat saya dalam hati. Bagaimana bisa saya dikibuli dan seperti dijadikan sasaran tembak kebodohan Pak Mentri.
Saya menggebrak meja.
'Pak Mentri. Harap diingat. Saya pernah jambret. Maling dua rumah sehari dapat.' Mata saya pelototkan. Berakting dengan sangat meyakinkan. Suara saya kuatkan.
'Makan orang kalau halal, saya bisa lakukan. Tapi, judi bukan begini caranya. Harus FAIR. Mengerti?'
Lima detik lepas saya muntahkan kalimat sakti, mata Pak Mentri berkaca kaca. Ia memohon maaf. Berjanji tak mengulangi tindakan barbar yang ia lakukan.
'Nah, begitu. Jadi pimpinan harus tahu tempat. Tempat bejat, judi, tidak mesti sarangnya para pembohong.'
Memang benar. Sekali sekali Pak Mentri harus disadarkan. Oleh orang orang laknat seperti saya. Kalau tidak, bisa jadi kesombongannya memuncak. Melebihi hasil kerja dirinya yang tak jelas apakah bermanfaat bagi masyarakat ataukah tidak.
Mentri melawan saya seorang penjudi. Kalap kalapan.
Post a Comment