Berkirim Selimut dan Surat kepada Simbah di Alam Kubur
Simbah di sana pasti baik baik saja kan? Di pusaramu, pastilah dirimu sedang bermain main dengan nenek nenek jompo. Yang mereka sudah berpisah lama dengan anak dan cucu cicit. Entah karena frustasi anak cucu bawel, atau berpikiran tak mau menyusahkan orang orang. Simbah, aku bapa ibu dan adik adik tak pernah berpikir memasukkan dirimu ke Panti Wredha. Dan, diujung perpisahan kita, tetaplah Simbah bersama kami. Hidup dan mati bersama kami.
Simbah, kukirim satu selimut melalui mimpiku. Berstrip strip merah muda, tebal, untukmu tidur di saat hujan seperti ini. Atap kijing sepertinya masih tak mampu menahan air hujan. Dan tanah masih bisa meluluskan air dan membasahi badanmu di dalam rumahmu. Di alam yang lain dariku Simbah. Anggaplah selimut ini sebagai sekadar penahan dingin. Dan, air hujan aku yakin tak sampailah ke tubuhmu Simbah.
Simbah, bersama selimut itu, aku kirim pula selembar surat tanpa amplop dan perangko. Tapi, bukankah Simbah buta huruf di dunia? Tapi lagi Simbah, aku yakin jika di dalam peraduanmu telahlah para malaikat menemanimu. Mengajari macam macam huruf, membuatmu bisa membaca, dan kini dirimu sudah bisa membuat nota jual beli. Karena aku masih ingat, dirimu adalah penjual ulung. Meski kami sudah menjamin kehidupan tuamu, tetap dirimu memberi kami contoh. Jika hidup adalah bergerak. Yang tak boleh berhenti, selalu berbuat tanpa harus meminta pamrih atasnya. Simbah, aku yakin dirimu pandai di sana.
Terlalu banyak cerita bahagia bersamamu Simbah. Dan membuat kekurangan dirimu tak lagi layak untuk diceritakan. Karena itu memang tidak perlu diungkit lagi. Kelemahan adalah untuk diperbaiki bagi mereka penyambung semangatmu; yaitu aku bapa ibu dan adik adik.
Menuju setahun kembalinya Simbah.
Simbah, kukirim satu selimut melalui mimpiku. Berstrip strip merah muda, tebal, untukmu tidur di saat hujan seperti ini. Atap kijing sepertinya masih tak mampu menahan air hujan. Dan tanah masih bisa meluluskan air dan membasahi badanmu di dalam rumahmu. Di alam yang lain dariku Simbah. Anggaplah selimut ini sebagai sekadar penahan dingin. Dan, air hujan aku yakin tak sampailah ke tubuhmu Simbah.
Simbah, bersama selimut itu, aku kirim pula selembar surat tanpa amplop dan perangko. Tapi, bukankah Simbah buta huruf di dunia? Tapi lagi Simbah, aku yakin jika di dalam peraduanmu telahlah para malaikat menemanimu. Mengajari macam macam huruf, membuatmu bisa membaca, dan kini dirimu sudah bisa membuat nota jual beli. Karena aku masih ingat, dirimu adalah penjual ulung. Meski kami sudah menjamin kehidupan tuamu, tetap dirimu memberi kami contoh. Jika hidup adalah bergerak. Yang tak boleh berhenti, selalu berbuat tanpa harus meminta pamrih atasnya. Simbah, aku yakin dirimu pandai di sana.
Terlalu banyak cerita bahagia bersamamu Simbah. Dan membuat kekurangan dirimu tak lagi layak untuk diceritakan. Karena itu memang tidak perlu diungkit lagi. Kelemahan adalah untuk diperbaiki bagi mereka penyambung semangatmu; yaitu aku bapa ibu dan adik adik.
Menuju setahun kembalinya Simbah.
Post a Comment