Barak Pengungsian dan Eksodus Mahasiswa Kecut Mental
Berkumpul para pengungsi. Dengan depresi yang pekat. Mendalam. Bercampur antara kalut memikirkan ternak yang masih tertinggal, benda yang tersisa, juga anak pinak yang terpencar. Ini adalah waktu teramat mencekam. Mengurusi para pengungsi menjadi tantangan yang tak lumrah. Sementara para relawan juga berjibaku menyelamatkan diri mereka. Tak ada yang tahu pasti kelanjutan hidup. Tidak sekali sekali bagi manusia.
Di barak penuh sesak. Berbujur manusia yang entah tak mandi dengan rambut kaku penuh debu. Bayi bayi merengek meminta minum, batuk karena mulut dimasuki abu Merapi. Atau seorang bapa renta terserang stroke terlampau kaget bunyi gemuruh. Hilir mudik, perawat, dokter, atau ustaz yang berusaha menenangkan batin. Semua rusuh, tapi masih bisa diatasi dengan baik.
Kampus diliburkan untuk seminggu. Mahasiswa berbondong bondong, bermigrasi ke tempat paling nyaman. Agar nyawa mereka tak tercabut oleh Malaikat. Panik, ingin cepat bertemu dengan orangtua, selanjutnya melaporkan kondisi teraktual Yogyakarta. Dan, lupa, jika mereka memiliki tanggungjawab sosial. Untuk sekadar memahami kondisi para pengungsi. Apakah menjadi relawan, menyumbang dana, membagikan masker, dan sejuta empati lain. Tidak untuk melarikan diri dari Yogya. Ah, semua adalah pilihan.
Kamar mandi berjumlah tiga. Untuk ribuan pengungsi. Jika sehari harus mandi semua, bisa dikatakan satu orang mendapat jatah satu menit. Belum jika ingin membuang hajat. Dipastikan antrean pengungsi lain menggedor pintu. Lalu, seorang wanita murung. Sepertinya hasrat berahinya tertahan. Setres. Ingin bercinta dengan suami, di mana ada tempat. Banyak orang. Dan, semua mua menjadi penat. Karena tempat telah berganti. Tak seperti biasa. Yang bebas bercanda, bekerja, bersenang senang. Kini ....
Post a Comment