Indonesia Anggota Terbaru Negeri Persemakmuran Commonwealth
Generasi berkata, 'Dijajah Inggris adalah jaminan kemajuan.' Dan ini diturunkan seakan menjadi kalimat alibi jika negeri jajahan Belanda atau Jepang mutlak menjadi negeri tersisih. Alangkah ini membelenggu diri, serasa tak bernalar.
Guru guru berwejang jika 'Anak anak, selama tiga setengah abad kita dijajah Belanda. Negeri kita dikuras habis. Tak ada yang bersisa.'
Lain lagi, seorang pujangga berakting memerankan diri sebagai insan bak pahlawan, 'Dai Nippon mengisap darah dari leher bangsa kita. Yang diaku mereka sebagai sobat tua. Tak nyana, itu ucapan bohong belaka. Sejatinya, mereka mendorong kita ke jurang kematian.'
Jika guru guru dan pujangga benar, selanjutnya apa yang dilakukan? Mereka membuat monster bagi bangsa sendiri. Seperti menceritakan dunia pocong dan suster ngesot kepada anak anak didik. Membuat ngeri dan cemas, dan kisah itu menghantui seumur hidup generasi. Dendam dijalarkan ke seluruh tubuh. Itu yang musti dipikirkan kembali. Apakah benar. Jika kejadian dahulu ada, apakah tidak seharusnya kita enyahkan saja. Sejarah untuk belajar, tidak untuk menjadi alasan untuk membalas dendam.
Mari kita membayangkan jika Indonesia adalah Negeri Commonwealth.
Dengan Kerajaan Inggris Raya sebagai Tuan kita. Di masa sekarang. Bersama dengan India, Malaysia, Singapura, Pakistan, atau negeri negeri lain yang sampai saat ini masih berhubungan baik dengan negeri penjajahnya. Tidak lagi mempunyai kisah sejarah dibantai oleh pasukan Belanda selama tiga setengah abad.
Konferensi Persemakmuran Negeri Commonwealth tengah berlangsung di London. Dihadiri oleh Ratu Inggris, Perdana Menteri, jajaran tokoh penting, dan tentunya negera negara yang tergabung di persemakmuran. Membahas bagaimana strategi memakmurkan persemakmuran bersama.
Suasana tidak tegang. Penuh dengan aura persahabatan. Sang Ratu sesekali tergelak sembari menutupi mulutnya dengan tangan kanannya yang bersarung mengilat. Lobi lobi hangat tampak dilakukan oleh para pejabat negara seberang dengan petinggi Kerajaan Inggris. Tak ada ajang pukul memukul, karena pertemuan ini dirancang bergaya kebangsawanan. Jika ada keluhan, sesegera mungkin ditampilkan dengan elegan: Menunjukkan tangan, memberikan ulasan yang bernalar, selanjutnya dibahas dengan kepala dingin. Ini bukan arena pacuan kuda yang bebas berteriak teriak mendorong si kuda segera memutus kain garis finish.
Sontak pertemuan terhenti. Akibat satu hal. Apakah itu?
Delegasi Indonesia berada di luar gedung. Berteriak teriak, mengucap kata dengan amat keras:
'Gabungkan kami. Masukkan kami ke Persemakmuran!'
Suara pemimpin delegasi memandu koor, 'Lebih kencang lagi. Biar Ratu mendengar kita!'
'Gabungkan kami. Masukkan kami ke Persemakmuran!'
Ratu Inggris bertanya ke ajudannya. Dijelaskan dengan amat detail, apa yang terjadi di luar sana.
Delegasi Indonesia bercampur dengan FPI (Front Pancasila Indehoy), Kumpulan Jaksa, Masyarakat Peduli Kemakmuran, Persekutuan Buruh Migran, dan masih banyak yang lain. Mereka merengek, memasang muka melas agar ide mereka ditampung dan diterima oleh Pertemuan Persemakmuran.
Membawa oleh oleh khas Nusantara; ketupat, hasil olah bumi jagung dan beras, dan tak ketinggalan baju baju batik. Mereka mempersembahkan kepada rakyat Inggris, biar Indonesia diterima sebagai anggota terbaru. Ya, karena tidak bisa disangkal Inggris juga pernah menjajah Indonesia meski hanya sebentar.
Suasana di luar gedung pertemuan terus riuh. Yel yel dipekikkan oleh delegasi Indonesia.
Di dalam, agenda pembahasan terpaksa dialihkan: Segera membahas niat baik Indonesia bergabung menjadi Negeri Persemakmuran.
Diputuskan: Indonesia diterima dengan tangan terbuka. Dan 5 tahun sesudahnya, Indonesia menjadi makmur.
SELAMAT.
Guru guru berwejang jika 'Anak anak, selama tiga setengah abad kita dijajah Belanda. Negeri kita dikuras habis. Tak ada yang bersisa.'
Lain lagi, seorang pujangga berakting memerankan diri sebagai insan bak pahlawan, 'Dai Nippon mengisap darah dari leher bangsa kita. Yang diaku mereka sebagai sobat tua. Tak nyana, itu ucapan bohong belaka. Sejatinya, mereka mendorong kita ke jurang kematian.'
Jika guru guru dan pujangga benar, selanjutnya apa yang dilakukan? Mereka membuat monster bagi bangsa sendiri. Seperti menceritakan dunia pocong dan suster ngesot kepada anak anak didik. Membuat ngeri dan cemas, dan kisah itu menghantui seumur hidup generasi. Dendam dijalarkan ke seluruh tubuh. Itu yang musti dipikirkan kembali. Apakah benar. Jika kejadian dahulu ada, apakah tidak seharusnya kita enyahkan saja. Sejarah untuk belajar, tidak untuk menjadi alasan untuk membalas dendam.
Mari kita membayangkan jika Indonesia adalah Negeri Commonwealth.
Dengan Kerajaan Inggris Raya sebagai Tuan kita. Di masa sekarang. Bersama dengan India, Malaysia, Singapura, Pakistan, atau negeri negeri lain yang sampai saat ini masih berhubungan baik dengan negeri penjajahnya. Tidak lagi mempunyai kisah sejarah dibantai oleh pasukan Belanda selama tiga setengah abad.
Konferensi Persemakmuran Negeri Commonwealth tengah berlangsung di London. Dihadiri oleh Ratu Inggris, Perdana Menteri, jajaran tokoh penting, dan tentunya negera negara yang tergabung di persemakmuran. Membahas bagaimana strategi memakmurkan persemakmuran bersama.
Suasana tidak tegang. Penuh dengan aura persahabatan. Sang Ratu sesekali tergelak sembari menutupi mulutnya dengan tangan kanannya yang bersarung mengilat. Lobi lobi hangat tampak dilakukan oleh para pejabat negara seberang dengan petinggi Kerajaan Inggris. Tak ada ajang pukul memukul, karena pertemuan ini dirancang bergaya kebangsawanan. Jika ada keluhan, sesegera mungkin ditampilkan dengan elegan: Menunjukkan tangan, memberikan ulasan yang bernalar, selanjutnya dibahas dengan kepala dingin. Ini bukan arena pacuan kuda yang bebas berteriak teriak mendorong si kuda segera memutus kain garis finish.
Sontak pertemuan terhenti. Akibat satu hal. Apakah itu?
Delegasi Indonesia berada di luar gedung. Berteriak teriak, mengucap kata dengan amat keras:
'Gabungkan kami. Masukkan kami ke Persemakmuran!'
Suara pemimpin delegasi memandu koor, 'Lebih kencang lagi. Biar Ratu mendengar kita!'
'Gabungkan kami. Masukkan kami ke Persemakmuran!'
Ratu Inggris bertanya ke ajudannya. Dijelaskan dengan amat detail, apa yang terjadi di luar sana.
Delegasi Indonesia bercampur dengan FPI (Front Pancasila Indehoy), Kumpulan Jaksa, Masyarakat Peduli Kemakmuran, Persekutuan Buruh Migran, dan masih banyak yang lain. Mereka merengek, memasang muka melas agar ide mereka ditampung dan diterima oleh Pertemuan Persemakmuran.
Membawa oleh oleh khas Nusantara; ketupat, hasil olah bumi jagung dan beras, dan tak ketinggalan baju baju batik. Mereka mempersembahkan kepada rakyat Inggris, biar Indonesia diterima sebagai anggota terbaru. Ya, karena tidak bisa disangkal Inggris juga pernah menjajah Indonesia meski hanya sebentar.
Suasana di luar gedung pertemuan terus riuh. Yel yel dipekikkan oleh delegasi Indonesia.
Di dalam, agenda pembahasan terpaksa dialihkan: Segera membahas niat baik Indonesia bergabung menjadi Negeri Persemakmuran.
Diputuskan: Indonesia diterima dengan tangan terbuka. Dan 5 tahun sesudahnya, Indonesia menjadi makmur.
SELAMAT.
Post a Comment