Menjadi Zombie Bagi Sahabat Sendiri
Separuh tempurung kepala saya membuka. Otak berdenyut, seakan mengisap udara dengan keangkuhan yang menaik. Sebatas mata kepala terbagi. Dua bola mata jatuh menggelinding di lantai. Bersama angka dan huruf yang meluber. Dan ini terjadi dalam hitungan detik. Setelah itu kembali menutup rapat, beserta ketaktahuan mengapa bisa kepala begini.
Tertegun. Saya mengingat masa lampau. Mengoreksi kesalahan kesalahan yang pernah saya lakukan. Berbohong, bersilat lidah, merugikan insan lain, mencuri ayam, mengerjai teman dengan mengklik kunci kamar mandi dari luar, atau membuat fitnah bagi sahabat sendiri. Ya, pernyataan yang terakhir. Saya telah melakukan kesalahan yang teramat sadis. Berusaha menghancurkan pertalian saudara yang sudah kami rintis, hanya dengan kalimat tak sepantas. Bernama fitnah. Dan itu mengubah kehidupan sahabat saya.
'Dia bekerja karena membayar.' Kalimat ini saya embuskan pertama kali kepada John, pesaing sahabat saya.
'Oh, berapa juta dia bayar?' selidik John.
'Sepuluh juta. Rupiah.' Semangat saya berbohong mengobar.
'Padahal dia pandai. Kenapa harus menyogok?' John bertanya sembari matanya memastikan tak ada orang lain yang mengusik kegemaran baru kami.
'Dunia sekarang sudah gila. Kau tak punya duit, kelibas.' Tangan saya membuat simbol seolah algojo menebas leher seorang pengacau keamanan negara.
'Oh begitu,' John mengangguk dengan muka kecut.
Kesalahan terbesar saya. Saya mengetahui jika John bermuka dua. Paham sekali semenjak dia melemparkan tanggung jawab saat inspeksi memojokkan dirinya. Dan yang menjadi kambing hitam adalah Ahmad, sobat kental saya. Ini memang permasalahan rumit. Saya tidak menyukai karakter John, tapi saya tersudut karena karir Ahmad begitu melesat. Sedangkan saya biasa biasa saja. Perlahan namun pasti, kebusukan yang saya timbun siap dipanen. Menghajar tanpa ampun sahabat yang selama ini memberi dorongan saya untuk maju.
'Ahmad sekarang terserang kram otak,' saya terkekeh di dalam batin. 'Biar saja dia rasakan. Aku akan menggantikan posisinya.'
Aneh. Sungguh tak masuk di akal saya. Mengapa perilaku Ahmad tidak berubah. Malah semakin hangat. Ia tak pernah mengungkit pembicaraan isu sogokan. Sama sekali. Justru dia menyuguhkan cerita cerita yang membuat saya semakin kagum dan menyesal. Merasa kecewa mengapa saya bisa berpikir kolot untuk sekadar menjatuhkan Ahmad.
'Minggu depan kita makan bareng lagi ya, Dan.' ajak Ahmad. 'Ada sedikit sisa gaji untuk kita makan di warung sate langganan kita.'
Mulut saya terngaga. Sepersekian detik tak mampu mencerna ajakan dia yang ada di hadapan saya. Ahmad. Padahal Ahmad sudah tahu jika yang menyebarkan fitnah itu, tak lain dan tak bukan, adalah sahabat dia: AKU.
'Mm ... oke Mad,' kelabakan saya menjawab. 'Hari Jumat lepas Jumatan, seperti biasa?'
'Iya.'
Dia menepuk pundak saya. Lalu meninggalkan saya menuju ruang kerjanya.Semakin jauh dia berjalan. Saya melihat kakinya berjalan agak terseret. Sepatu yang dia kenakan masih yang dulu. Belum berubah. Ahmad tak pernah berubah. Saya yang berubah. Menjadi buruk. Hanya karena niat biadab yang saya bina di dalam jiwa saya.
'Maafkan aku Mad.' sesal saya.
Dan itulah pertemuan kami yang terakhir. Ahmad ditemukan tewas di dekat sumur dengan busa keluar dari mulutnya.
Post a Comment