Korban, Penikmat, dan Tumbal Sistem Pendidikan Nasional
Seberapa besar rasa humor di kala gundah hadir?Hampir nol. Ibu guru pasti menampar, dan memberi nilai berupa umpatan. Inilah pendidikan moral yang didapat dari para panutan. Menyalurkan pemikiran pemikiran yang berat, berjam jam di depan kelas, tanpa memperhatikan isi. Ya, isi di balik segala beban belajar.
Saya adalah korban. Dari pendidikan yang berat. Selama hampir dua puluh tahun, mengejar target khas para karyawan yang sudah jenuh akibat tak kunjung kontrak dipatenkan menjadi pegawai tetap. Dan saya juga sadar, dengan sistem pendidikan inilah membuat diri berbakat di berbagai lini.
Oh Tuhan, andai saya boleh memilih, pilihkan saya kepada sistem pendidikan yang membuat saya lugas, tidak kaku, tapi masih berkarakter. Bukan seperti sekarang. Tergopoh gopoh untuk sekadar menerjemahkan seperti apa saya ini. Saya korban sekaligus penikmat.
Jika saya menjadi pendidik untuk beberapa tahun mendatang, bisakah saya mengemban tugas? Menerjemahkan silabus tebal berdebu, menurut saya? Apakah itu tidak berbahaya, karena saya cenderung abstrak membaca. Serampangan dan ingin mencipta suatu hal yang kadang di mata orang tak populer? Sementara, nilai nilai yang sudah saya peroleh menginginkan saya menurunkan doktrin dogma para moyang. Memamerkan kepada generasi generasi setelah saya, menjadikan mereka seperti saya. Ya, saya.
Pang pang pang.
Dut dut dut.
Sudilah mereka menunjukkan bagaimana sistem mendidik yang ideal. Tak membebani anak didik, memberi ruang luas kepada para guru, juga memajukan seluruh potensi.
Semoga ada jalan.
Saya adalah korban. Dari pendidikan yang berat. Selama hampir dua puluh tahun, mengejar target khas para karyawan yang sudah jenuh akibat tak kunjung kontrak dipatenkan menjadi pegawai tetap. Dan saya juga sadar, dengan sistem pendidikan inilah membuat diri berbakat di berbagai lini.
Oh Tuhan, andai saya boleh memilih, pilihkan saya kepada sistem pendidikan yang membuat saya lugas, tidak kaku, tapi masih berkarakter. Bukan seperti sekarang. Tergopoh gopoh untuk sekadar menerjemahkan seperti apa saya ini. Saya korban sekaligus penikmat.
Jika saya menjadi pendidik untuk beberapa tahun mendatang, bisakah saya mengemban tugas? Menerjemahkan silabus tebal berdebu, menurut saya? Apakah itu tidak berbahaya, karena saya cenderung abstrak membaca. Serampangan dan ingin mencipta suatu hal yang kadang di mata orang tak populer? Sementara, nilai nilai yang sudah saya peroleh menginginkan saya menurunkan doktrin dogma para moyang. Memamerkan kepada generasi generasi setelah saya, menjadikan mereka seperti saya. Ya, saya.
Pang pang pang.
Dut dut dut.
Sudilah mereka menunjukkan bagaimana sistem mendidik yang ideal. Tak membebani anak didik, memberi ruang luas kepada para guru, juga memajukan seluruh potensi.
Semoga ada jalan.
Post a Comment