Saya dan sang Biduanita
Susu mocca siap di meja. Ingin menyeruput tapi malas. Saya hanya ingin duduk, duduk di meja. Tak ingin di kursi. Duduk sambil memelototi TV yang menampilkan sosok artis yang mirip setan. Genderuwo. Meneror massa melalui tingkah penuh pesonanya yang tak ubah seperti Zombie. Mengisap darah para bodoh yang siap untuk dikirim ke alam barzah.
'Ini saya, nama Dewi. Bersisik di dalam, di luar saya mulus.' ucap penuh tawa si pesona hidup di masa 2009 akhir.
'Bu Dewi. Saya dari CNN cabang Indonesia. Bisa dijelaskan, duduk permasalahan Ibu hingga dituntut sampai ke persidangan.' Seorang wartawan dengan pakaian resmi tanpa dasi memulai perbincangan.
'Saya memukul suami yang saya nikahi beberapa minggu lalu.'
'Bagaimana itu bisa terjadi, Bu?' Desak mendesak, itulah jurus para wartawan. Ini adalah perintah atasan media. Yang ingin mengguritakan pengaruh pemikirannya.
'Saya kalap. Khilaf. Saya menginginkan show di sana. Suami saya, yang manajer saya juga, ingin saya manggung di kota Surabaya. Saya marah. Karena saya pernah di deportasi oleh para Kyai Langitan.' cerocos si biduanita berapi api. Membara seakan harga dirinya terpancung.
'Lalu, apa yang ibu akan lakukan dengan penuntutan oleh suami ibu?' Wartawan terus merangsek. Moncong mike hampir menyentuh bibir si artis. Tapi dengan kejeniusan si artis, ia mampu manahan amarah, berharap popularitasnya tetap terjaga.
'Saya minta cerai!'
'Sejauh mana kans ibu berhasil mencerai suami ibu?'
'50 : 50. Kita lihat hasilnya nanti. Oke.'
Dan ini adalah drama tragis kehidupan kita.
Saya menarik diri dari kuasa meja. Duduk beralih ke kursi, memandang lemari es, foto kenangan saat saya bersama istri saya. Masih memadu cinta di kala bahagia. Ia kini jauh. Setelah pertengkaran hebat yang memisahkan kami. Perceraian. Dan itu adalah keputusan saya yang paling tidak menguntungkan. Andai saja, saya mampu menahan emosi, tak berlakulah kisah laiknya Cinderella dalam format gurauan. Pasti indah. Dan itu tak terjadi untuk sekarang. Saya sendiri. Menyisiri hidup, rambut, dengan keinginan untuk memperbaiki masa lalu. Kontemplasi.
'Ini saya, nama Dewi. Bersisik di dalam, di luar saya mulus.' ucap penuh tawa si pesona hidup di masa 2009 akhir.
'Bu Dewi. Saya dari CNN cabang Indonesia. Bisa dijelaskan, duduk permasalahan Ibu hingga dituntut sampai ke persidangan.' Seorang wartawan dengan pakaian resmi tanpa dasi memulai perbincangan.
'Saya memukul suami yang saya nikahi beberapa minggu lalu.'
'Bagaimana itu bisa terjadi, Bu?' Desak mendesak, itulah jurus para wartawan. Ini adalah perintah atasan media. Yang ingin mengguritakan pengaruh pemikirannya.
'Saya kalap. Khilaf. Saya menginginkan show di sana. Suami saya, yang manajer saya juga, ingin saya manggung di kota Surabaya. Saya marah. Karena saya pernah di deportasi oleh para Kyai Langitan.' cerocos si biduanita berapi api. Membara seakan harga dirinya terpancung.
'Lalu, apa yang ibu akan lakukan dengan penuntutan oleh suami ibu?' Wartawan terus merangsek. Moncong mike hampir menyentuh bibir si artis. Tapi dengan kejeniusan si artis, ia mampu manahan amarah, berharap popularitasnya tetap terjaga.
'Saya minta cerai!'
'Sejauh mana kans ibu berhasil mencerai suami ibu?'
'50 : 50. Kita lihat hasilnya nanti. Oke.'
Dan ini adalah drama tragis kehidupan kita.
Saya menarik diri dari kuasa meja. Duduk beralih ke kursi, memandang lemari es, foto kenangan saat saya bersama istri saya. Masih memadu cinta di kala bahagia. Ia kini jauh. Setelah pertengkaran hebat yang memisahkan kami. Perceraian. Dan itu adalah keputusan saya yang paling tidak menguntungkan. Andai saja, saya mampu menahan emosi, tak berlakulah kisah laiknya Cinderella dalam format gurauan. Pasti indah. Dan itu tak terjadi untuk sekarang. Saya sendiri. Menyisiri hidup, rambut, dengan keinginan untuk memperbaiki masa lalu. Kontemplasi.
BalasHapusKalo kau diumpan ke Sang Biduanita itu gimana jadinya ya? Mesti tambah kurus...
tambah geboy lah.
BalasHapus