Undang-undang Anti Kemelorotan Celana
Anggota Dewan tengah menggodok sebuah rencana besar. Membuat alim bangsa ini. Mereka bertekad untuk membuat peraturan yang mengikat dengan lembut. Menawarkan sejuta ide, seribu harapan, agar bangsa ini menjadi bangsa terhormat. Seluruh hal jorok harus disingkirkan, tak ada di muka negeri Rindunesia. Betapa mulia pekerjaan mereka, membentengi bangsa dari godaan terkutuk bernama "Setan selangkangan dan paha terburai".
Ini sebuah parodi, tapi sarat makna dalam. Kumpulan manusia multi talenta, teguh pendirian, hebat intelektualitas, berlagak menjadi pahlawan dan berjiwa mualim. Mereka bermuka dua, berharap orang lain berubah, tapi mereka entah. Sayang seribu sayang, malang sejuta malang. Sudah hampir diputuskan, sebuah aturan yang kelakuan barbar. Tak boleh bersolek, jangan memamerkan anggota tubuh, dilarang bercinta di depan umum, dan segenap keinginan bak rengekan anak kecil.
Di dalam gedung parlemen, mereka membuat Undang-undang itu. Agar aroma kesantunan melingkupi, seluruh anggota dewan bertelanjang ria. Mata mereka tertutup, agar hati tak tergoda dengan anggota tubuh teman atau musuhnya. Percakapan dilakukan dengan lirih, sebisa mungkin menyentuh hati, kejernihan pikiran harus tetap terjaga. Peraturan besar harus dihasilkan secepat mungkin, agar kebejatan bangsa bisa dihentikan. Menuju bangsa besar, bersih dari segala kemunafikan.
Peluh bercucuran tak kuat menahan amarah. Badan yang telanjang sudah menggeliat ingin kembali menyandang baju kebesaran dewan lengkap dengan lencana. Akumuluasi pendapat sudah ditetapkan, aturan ketat siap diketok. Manusia bawah harus melaksanakan tanpa kecuali. Bukan bagi para pembuat aturan itu.
Di luar ruang rapat, di pelataran parkir gedung dewan, sekelompok orang menyembulkan perasaannya. Mereka tak sudi memakai baju, sudah nyaman dengan ketelanjangan, menolak aturan yang segera disahkan. Goyangan erotir, tepuk tangan membahana dipertontonkan kepada anggota dewan yang segera ke luar kandang. Berharap undang-undang kesejatian tidak jadi diberlakukan. Makan apa nanti mereka, bar akan gulung tikar, diskotik tanpa pengunjung, bisnis prostitusi jarang pembeli, hidup mereka terpenggal. Beberapa menit lagi.
Masyarakat pencinta kesopanan tersenyum puas, hasrat mereka tersalurkan. Dari rumah-rumah mereka, aneka pujian disalurkan dan diucapkan dengan terbata-bata, air mata haru mengalir deras. Inilah saatnya negeri bangkit dari keterpurukan, pikir mereka. Tinggal tunggu waktu saja, roda ekonomi akan melaju pesat. Sudah ada jaminan, undang-undang anti kemelorotan celana dalam.
Negeri ini menghangat. Politik, hukum, sosial, pekat dalam rasa. Tak jelas mana dahulu yang ingin dituntaskan. Bingung dan tak bertujuan. Satu masalah selesai, tugas berat menunggu. Sekarang giliran anggota dewan beraksi seperti polisi pamong praja. Mengobrak-abrik segala kemungkaran di bumi Rindunesia.
Kita tunggu sejarah akan berpihak kepada siapa. Kebaikan akan muncul dan menyinari negeri ini. Apakah Undang-undang Bandot itu yang menyebabkan? Tak yakin.
Ini sebuah parodi, tapi sarat makna dalam. Kumpulan manusia multi talenta, teguh pendirian, hebat intelektualitas, berlagak menjadi pahlawan dan berjiwa mualim. Mereka bermuka dua, berharap orang lain berubah, tapi mereka entah. Sayang seribu sayang, malang sejuta malang. Sudah hampir diputuskan, sebuah aturan yang kelakuan barbar. Tak boleh bersolek, jangan memamerkan anggota tubuh, dilarang bercinta di depan umum, dan segenap keinginan bak rengekan anak kecil.
Di dalam gedung parlemen, mereka membuat Undang-undang itu. Agar aroma kesantunan melingkupi, seluruh anggota dewan bertelanjang ria. Mata mereka tertutup, agar hati tak tergoda dengan anggota tubuh teman atau musuhnya. Percakapan dilakukan dengan lirih, sebisa mungkin menyentuh hati, kejernihan pikiran harus tetap terjaga. Peraturan besar harus dihasilkan secepat mungkin, agar kebejatan bangsa bisa dihentikan. Menuju bangsa besar, bersih dari segala kemunafikan.
Peluh bercucuran tak kuat menahan amarah. Badan yang telanjang sudah menggeliat ingin kembali menyandang baju kebesaran dewan lengkap dengan lencana. Akumuluasi pendapat sudah ditetapkan, aturan ketat siap diketok. Manusia bawah harus melaksanakan tanpa kecuali. Bukan bagi para pembuat aturan itu.
Di luar ruang rapat, di pelataran parkir gedung dewan, sekelompok orang menyembulkan perasaannya. Mereka tak sudi memakai baju, sudah nyaman dengan ketelanjangan, menolak aturan yang segera disahkan. Goyangan erotir, tepuk tangan membahana dipertontonkan kepada anggota dewan yang segera ke luar kandang. Berharap undang-undang kesejatian tidak jadi diberlakukan. Makan apa nanti mereka, bar akan gulung tikar, diskotik tanpa pengunjung, bisnis prostitusi jarang pembeli, hidup mereka terpenggal. Beberapa menit lagi.
Masyarakat pencinta kesopanan tersenyum puas, hasrat mereka tersalurkan. Dari rumah-rumah mereka, aneka pujian disalurkan dan diucapkan dengan terbata-bata, air mata haru mengalir deras. Inilah saatnya negeri bangkit dari keterpurukan, pikir mereka. Tinggal tunggu waktu saja, roda ekonomi akan melaju pesat. Sudah ada jaminan, undang-undang anti kemelorotan celana dalam.
Negeri ini menghangat. Politik, hukum, sosial, pekat dalam rasa. Tak jelas mana dahulu yang ingin dituntaskan. Bingung dan tak bertujuan. Satu masalah selesai, tugas berat menunggu. Sekarang giliran anggota dewan beraksi seperti polisi pamong praja. Mengobrak-abrik segala kemungkaran di bumi Rindunesia.
Kita tunggu sejarah akan berpihak kepada siapa. Kebaikan akan muncul dan menyinari negeri ini. Apakah Undang-undang Bandot itu yang menyebabkan? Tak yakin.
Ah....... Tergagap aku. Pe-er-ku bertumpuk!!!
BalasHapuspe-er?
BalasHapusjangan dikerjain saja
mending ngerjain guru ...
BalasHapusOuch!
Takjub ya?
BalasHapusOleh?
BalasHapusOleh bu guru bertubuh aduhai itu....
Oke ... siapkan wajan. Masukkan minyak goreng. Didihkan.
BalasHapusSiap diproses!
BalasHapusAh, aku suka memasak.
Mari memasak.
BalasHapus