Sarjana dengan Obsesi "Pembantu"
Entah apa yang membuatku sangat terobsesi untuk sekadar menulis tentang kehidupan para pembantu. Bukan apa-apa, dan tak ada latar percintaan yang membuat aku suka pada hal tersebut. Tak ada maksud untuk menjelek-jelekkan mereka. Namun semua itu hanyalah sebuah keinginanku untuk menciptakan kondisi ideal seperti apa sih juragan sama pembantu. Atau nantinya bisa kita praktikan di lain tempat; bos dan bawahan, sopir dengan penumpang; presiden dengan tukang cukurnya, atau lain sebagainya.
Semua itu adalah karena Mbak Lastri. Ya, pembantu bertubuh gemuk itu telah mengisi hatiku untuk waktu yang terhitung cukup lama. Dua setengah tahun. Dan itu cukup membuatku menjadi tahu bagaimana isi hati seorang lemah dan selalu menjadi orang ketiga di dunia ini.
Perawakannya sungguh tidak ideal di mata perempuan modis saat ini. Badan langsing? Mmm ... kalau kita melihatnya dari Tugu Yogya ya bisa dikatakan seperti ini. Tapi kalau disimak di Monumen Yogya Kembali, aduh ... bisa dikatakan tumpukan lemaknya sudah harus diangkat. Maaf Mbak Lastri tidak untuk menghina, namun itulah sesungguhnya dirimu. Janda muda, satu anak, dengan ukuran tubuh di atas rata-rata.
Aku mengenalnya secara tidak sengaja, kami dipertemukan oleh waktu dan kesempatan. Ceilah ... bahasa macam apa ini? Yang pasti, kami awalnya adalah seorang "atasan" dan "bawahan". Secara aku dulu baru lulus kuliah dan masih hangat-hangat tahi ayam menjadi karyawan sebuah kontraktor. Kesan "aku adalah sarjana" dan "engkau adalah babu" pasti ada dalam dadaku. Dadaku yang busung, atau membusung ya, karena sering berenang.
Sekali lagi maafkan aku, ya, Mbak Lastri. Aku dulu mengenalmu hanya sebatas fisik saja.
"Babu gembrot dengan lilitan varises di mana-mana."
Seiring waktu, proses pertemanan kami menjadi mengada-ada. Ada kesan tabu dalam hubungan kami. Ada juga kesan nakal dalam jalinan itu. Semua membelenggu. Dan akhirnya kami bersahabat. Seperti apa hubungan persahabatan itu? Aku lanjutkan di tulisan selanjutnya.
Semua itu adalah karena Mbak Lastri. Ya, pembantu bertubuh gemuk itu telah mengisi hatiku untuk waktu yang terhitung cukup lama. Dua setengah tahun. Dan itu cukup membuatku menjadi tahu bagaimana isi hati seorang lemah dan selalu menjadi orang ketiga di dunia ini.
Perawakannya sungguh tidak ideal di mata perempuan modis saat ini. Badan langsing? Mmm ... kalau kita melihatnya dari Tugu Yogya ya bisa dikatakan seperti ini. Tapi kalau disimak di Monumen Yogya Kembali, aduh ... bisa dikatakan tumpukan lemaknya sudah harus diangkat. Maaf Mbak Lastri tidak untuk menghina, namun itulah sesungguhnya dirimu. Janda muda, satu anak, dengan ukuran tubuh di atas rata-rata.
Aku mengenalnya secara tidak sengaja, kami dipertemukan oleh waktu dan kesempatan. Ceilah ... bahasa macam apa ini? Yang pasti, kami awalnya adalah seorang "atasan" dan "bawahan". Secara aku dulu baru lulus kuliah dan masih hangat-hangat tahi ayam menjadi karyawan sebuah kontraktor. Kesan "aku adalah sarjana" dan "engkau adalah babu" pasti ada dalam dadaku. Dadaku yang busung, atau membusung ya, karena sering berenang.
Sekali lagi maafkan aku, ya, Mbak Lastri. Aku dulu mengenalmu hanya sebatas fisik saja.
"Babu gembrot dengan lilitan varises di mana-mana."
Seiring waktu, proses pertemanan kami menjadi mengada-ada. Ada kesan tabu dalam hubungan kami. Ada juga kesan nakal dalam jalinan itu. Semua membelenggu. Dan akhirnya kami bersahabat. Seperti apa hubungan persahabatan itu? Aku lanjutkan di tulisan selanjutnya.
Post a Comment