Balada Antena Televisi
Kisah ini adalah buah dari keisengan, dan keganjilanku yang lama-kelamaan semakin terasa mengerikan. Bagaimana tidak, hari minggu sekitar beberapa bulan yang lalu, aku berbincang dengan antena televisi yang banyak sekali di dekat jemuran baju.
"Halo, para antenas (ditambah es biar sejuk, ya ...). Apa kabar kalian di ketinggian?" tanyaku riang.
"Oh, baik-baik saja, Aa' Dhany. Anda sendiri bagaimana setelah di Bandung?" UHF bertanya dengan mantap.
"Biasa saja, kadang sedih dan seringkali tertawa sendiri," jawabku taktis.
"Lo, emang ada apa, sih?" kali ini antena cap Kastro ikutan berbicara.
"Yah, mikirin kalian itu!" jawabanku terkesan sebal.
Kedua antena saling berpandangan dan menyipitkan matanya. Mereka garuk-garuk kepala, lalu pantatnya yang korengan, dan berlanjut dengan tertawaan lepas mereka yang hampir bersamaan dengan nada dasar C minor.
"Ealah, mas Dhany. Zaman gini masih mikirin orang lain ... Heran!" sontak kalimat itu terlontar dari mulut si Kastro.
"Ada apa, sih, Mas. Mbok, ya cerita!" UHF menawarkan diri sebagai kantung sampah.
Aku masih menahan geli mendengar celotehan mereka. Ingin rasanya mencubit pipi mereka yang tembem. Aku berdehem dan mulai berkata-kata.
"Wahai, para antena, dengarkanlah!" suaruk merdu tidak, ya?
Ganti saja kata ini ...
"Begini, lho. Aku itu kasihan sama kalian. Kok mau-maunya kalian berdiri sepanjang hayat kalian menerima sinyal. Apa tidak capek?" cerocosku.
"Wah, itu sudah menjadi tugas kami!" jawab antena di rumah seberang.
"Tapi, kalian tahu tidak, kalau acara televisi kita sudah tak nyaman buatku," ceramahku makin menjadi-jadi.
"Punya telivisi gitu, mas Dhany?" tanya UHF
Aku berpikir sejenak, menajamkan perasaan, dan menangguhkan emosiku.
"Mmm ... tidak," jawabku polos.
Tawa mereka lepas kembali mendengarkan jawaban atas pertanyaan yang tak pernah aku kira itu. Aku lemas ...
"Zaman gini, tak punya TV!" kalimat itu kembali lagi terdengar.
Apa yang salah dengan tak mempunyai TV, batinku menyeruak seakan tak ikhlas dengan cemoohan itu. Sebetulnya, maksudku ingin berbagi pada para antena sekadar mengingatkan. Lanjut cerita begini.
"Hai, kalian. Ingatkah kalian dengan nasib antena VHF? Jangan-jangan kalian akan bernasib seperti ia?!" aku mencoba menegaskan.
"Kok bisa?!" jawab mereka penuh kebingungan.
"Lihat saja, apa guna VHF. Dulu, ia pernah berjaya dengan acara-acara yang ditawarkannya. Salurannya juga masih relatif mendidik, membekas, dan sedikit nilai erotisnya. Aku khawatir, kalian akan bernasib serupa. Tatap mereka kosong dan terlihat seperti mau minta penjelasan kepadaku. "Apalagi kalian. Acara tak bermutu, penuh berisi dengan acara luar negeri, yah ... beberapa tahun lagi akan gulung tikar,"
"Masak, sih?" bantah Kastro.
"Apalagi kamu, Tro. Kamu cenderung lebih bebas! Mau menunggu berapa hari lagi?" gertakku.
"Ya, terserah pemirsa di negeri Rindunesia, dong! Kan mereka tak tahu, kami sedang mengibuli mereka," jawab ketus UHF.
"Kalau aku, sih, jadi bersyukur tak punya TV." jawabku sambil ngeloyor pergi.
"Bersyukur apa karena tak mampu membeli!" teriak mereka .
Biarkan saja ...
"Halo, para antenas (ditambah es biar sejuk, ya ...). Apa kabar kalian di ketinggian?" tanyaku riang.
"Oh, baik-baik saja, Aa' Dhany. Anda sendiri bagaimana setelah di Bandung?" UHF bertanya dengan mantap.
"Biasa saja, kadang sedih dan seringkali tertawa sendiri," jawabku taktis.
"Lo, emang ada apa, sih?" kali ini antena cap Kastro ikutan berbicara.
"Yah, mikirin kalian itu!" jawabanku terkesan sebal.
Kedua antena saling berpandangan dan menyipitkan matanya. Mereka garuk-garuk kepala, lalu pantatnya yang korengan, dan berlanjut dengan tertawaan lepas mereka yang hampir bersamaan dengan nada dasar C minor.
"Ealah, mas Dhany. Zaman gini masih mikirin orang lain ... Heran!" sontak kalimat itu terlontar dari mulut si Kastro.
"Ada apa, sih, Mas. Mbok, ya cerita!" UHF menawarkan diri sebagai kantung sampah.
Aku masih menahan geli mendengar celotehan mereka. Ingin rasanya mencubit pipi mereka yang tembem. Aku berdehem dan mulai berkata-kata.
"Wahai, para antena, dengarkanlah!" suaruk merdu tidak, ya?
Ganti saja kata ini ...
"Begini, lho. Aku itu kasihan sama kalian. Kok mau-maunya kalian berdiri sepanjang hayat kalian menerima sinyal. Apa tidak capek?" cerocosku.
"Wah, itu sudah menjadi tugas kami!" jawab antena di rumah seberang.
"Tapi, kalian tahu tidak, kalau acara televisi kita sudah tak nyaman buatku," ceramahku makin menjadi-jadi.
"Punya telivisi gitu, mas Dhany?" tanya UHF
Aku berpikir sejenak, menajamkan perasaan, dan menangguhkan emosiku.
"Mmm ... tidak," jawabku polos.
Tawa mereka lepas kembali mendengarkan jawaban atas pertanyaan yang tak pernah aku kira itu. Aku lemas ...
"Zaman gini, tak punya TV!" kalimat itu kembali lagi terdengar.
Apa yang salah dengan tak mempunyai TV, batinku menyeruak seakan tak ikhlas dengan cemoohan itu. Sebetulnya, maksudku ingin berbagi pada para antena sekadar mengingatkan. Lanjut cerita begini.
"Hai, kalian. Ingatkah kalian dengan nasib antena VHF? Jangan-jangan kalian akan bernasib seperti ia?!" aku mencoba menegaskan.
"Kok bisa?!" jawab mereka penuh kebingungan.
"Lihat saja, apa guna VHF. Dulu, ia pernah berjaya dengan acara-acara yang ditawarkannya. Salurannya juga masih relatif mendidik, membekas, dan sedikit nilai erotisnya. Aku khawatir, kalian akan bernasib serupa. Tatap mereka kosong dan terlihat seperti mau minta penjelasan kepadaku. "Apalagi kalian. Acara tak bermutu, penuh berisi dengan acara luar negeri, yah ... beberapa tahun lagi akan gulung tikar,"
"Masak, sih?" bantah Kastro.
"Apalagi kamu, Tro. Kamu cenderung lebih bebas! Mau menunggu berapa hari lagi?" gertakku.
"Ya, terserah pemirsa di negeri Rindunesia, dong! Kan mereka tak tahu, kami sedang mengibuli mereka," jawab ketus UHF.
"Kalau aku, sih, jadi bersyukur tak punya TV." jawabku sambil ngeloyor pergi.
"Bersyukur apa karena tak mampu membeli!" teriak mereka .
Biarkan saja ...
Kamu terlalu banyak makan nasi timbel yak?
BalasHapusJadi mabuk, yak? MM ... memang menor ... Yang penting asyik ... terorejing, terojing, wekekekekek
BalasHapus