TULLY yang BUKAN TULI
Awalnya saya menganggap Tully seorang difabel tuli. Ternyata bukan. Ia memiliki kelainan kromosom yang menyebabkan dirinya super aktif dan tak pernah berhenti bicara sepanjang waktu. Kunjungannya ke Jogja bersama ayahnya, Stuart Kohlhagen, yang seorang doktor di sebuah universitas di Canberra, Australia, dalam rangka membagi pengalamannya tentang difabelnya.
Tully menurut saya bukan orang sembarangan. Dalam pandangan saya, difabel selalu menyimpan energi berlebih yang siap ditumpahkan kepada siapa saja yang berdekatan dengan mereka. Di antara ramai para difabel di Balai Kota Jogja, saya mendengarkan antusias kisah Tully.
Poin paling keren dari Tully yaitu ia mampu berbicara dalam 30 bahasa selain ia suka berkebun, gemar bersepeda, dan pengkritik film. Secara penampakan memang ia seperti orang kurang satu ons otaknya, namun saya menilai justru Tully terlalu pintar sehingga kecepatan berpikirnya di atas rata rata orang umum.
Namun dari acara ini saya kurang sreg dengan informasi jika Tully dan ayahnya mendapatkan dana hibah dari Pemerintah Negara Bagian Ibukota Canberra sebesar $12.000. Uang sebesar itu digunakan mereka untuk melakukan perjalanan ke Jakarta dan Jogja selama sepuluh hari untuk mempelajari budaya Indonesia terutama bertukar pengalaman dengan para difabel. Mungkin ini karena Pemerintah Canberra cukup banyak uang sehingga terkesan hanya memberikan uang tanpa memberi pancingan untuk mandiri. Memang pemikiran saya masih lemah untuk hal ini. Dalam bayangan saya, para difabel adalah orang orang hebat. Mereka butuh dorongan dahsyat dari kita untuk bersemangat mandiri.
Secara total, acara berlangsung sangat baik. Para difabel, volunteer, dan panitia sangat solid sehingga acara yang hanya dipersiapkan "lima" hari mampu memberi asupan energi kebaikan bagi semua. Selamat, ya!
Post a Comment