~The Adventure of Big Riezky~ Pantai Seruni & A Beauty Capoeirista Monster
Giliran aku bercerita ke Toni. Kisah Operasi Lilin Lilin Mesum punyanya kucermati membuat bibirnya yang dasarnya sudah tebal bertambah volumenya. Wajahnya memucat mungkin akibat kekurangan oksigen saking bersemangatnya ia berkisah.
'Oke, aku akan tampilkan Riezky!' seruku sambil meninju udara.
'Perjalanan capoeira ke Pantai Seruni kemarin kan?' tanya Toni.
'Wah sayang banget Mas Toni nggak ikut!'
'Gimana lagi, Mas Danie ... Tugas negara! Ada seorang ibu potong penis suaminya yang selingkuh! Setim kami cari di mana itu burung dibuang.'
'Ketemu?'
'Boro boro. Si ibu diam seribu bahasa dengan marahnya yang ampun deh! Suaminya mati dia cuek!'
Zaman sudah berubah. Waktu kecil, kala TVRI satu satunya stasiun televisi, tak ada berita sadis seperti itu. Masa beliaku dicekok oleh acara kelompencapir. Itu, lomba cerdas cermat Kelompok Petani Nelayan ... Capir, ah lupa! Calo dan Tukang Parkir mungkin.
Dulu, aku sangat senang program itu. Tapi sebal kalau Presiden Soeharto pidato di sela acara. Kaya ustaz ustaz muda sekarang yang sok tahu. Kurenungi, niat Pak Harto kuyakin baik; membangkitkan semangat pelaku usaha menengah ke bawah. RIP, Bapak Pembangunan.
'Ayo segera, Mas Danie.' ucap Toni menggaruk ketiaknya. 'Berapa orang yang berangkat?'
'Lima!' kujawab bersemangat. 'Riezky ketua, aku, Bayu, Luna, sama Rosa.'
'Luna Rosa ikut? Tahu begitu aku izin. Tapi sudahlah.'
'Kita ke luar ke angkringan yuk, Mas Ton! Asyik kayanya sambil cerita minum wedang jahe.'
Mas Toni mau dan bangkit menuju garansi. Kuikuti dan ia menunjukkan sepeda jengkinya. Kami pun tanpa memakai motor. Sedikit membantu pekerja Green Peace. Minimal membungkam kecerewetan mereka karena gatal merasai Bumi yang rusak.
***
Dalam boncengan, bersama kayuhan Toni, aku terbayang sosok Riezky teman capoeiraku. Ia tinggi gemuk dengan perut sedrum minyak. Mukanya kalau Anda boleh tahu, berjerawat parah. Uniknya, giginya berbehel. Kombinasi yang aneh; gemuk dan gigi beraksesoris menjijikkan.
Bahasan fisikku tentu tidak adil. Toh badannya membesar akibat tangannya pernah patah waktu latihan, dirawat di rumah sakit, dan dokter salah kasih obat. Jadinya, ia kalap makan.
'Sebelum tanganku patah, aku ganteng.' kata Riezky.
Kutelisik memang masih ada sisa ketampanannya. Kulitnya kuning, yang membuatku menyangka ia anak bandar judi Tionghoa. Juga sikapnya mencerminkan ia dari keluarga berada.
Memang benar, ia anak juragan hebat di Jogja. Harta keluarganya membuatku takjub sekaligus iri positip. Jujur, seringkali aku minder dekat dengan Riezky.
'Mas Danie, rezeki orang beda beda.'
Ia berkata padaku saat aku turut di mobilnya yang mewah dan harum lengkap dengan perabotan musik. Aku, berusia satu setengah kali darinya, belum merasakan punya mobil. Menyetirpun belum bisa.
Satu kelebihan Riezky, ia tak sombong. Tak canggung ia berkumpul dengan anak anak dari golongan menengah ke bawah. Tak segan pula ia mentraktir atau menomboki acara capoeira. Ia tulus tampak dari pemikirannya yang sering kuresapi saat mengobrol.
'Sampai!' Toni berseru sembari mengerem dan menjejakkan kakinya. 'Mas Danie turun! Ayo kita njahe.'
'Oh, ah, eh.' Aku tersadar dari lamunan. 'Oke!'
Kami menikmati suasana Kota Jogja yang bersahabat. Ketenangan dan kenyamanan kurasakan saat berbaur dengan orang orang di angkringan ini. Menuju bangku, aku berkata dalam hati.
'Tuhan, terima kasih atas JogjaMu.'
~~~~~~
Mengobrol teduhlah kita di www.rumahdanie.blogspot.com
Sumber foto: Daniera
Post a Comment